Judul: Bridge to Terabithia
Pengarang: Katherine Paterson
Penerjemah: Rina Wulandari
Tebal: 236 hlm
Cetakan: 1, Desember 2016
Penerbit: Noura Books
Membaca Bridge to Terabithia untuk yang kedua kalinya tetap menghadirkan rasa haru atas indahnya persahabatan antara Jess dan Leslie. Versi filmnya juga sudah berulang kali diputar di TV, tetapi sebagaimana bukunya, Jembatan ke Terabithia selalu mampu menghadirkan kembali perasaan haru biru ketika kita membaca atau menonton kisahnya. Kini, diterbitkan ulang oleh Noura Books, buku anak legendaris ini hadir kembali dengan sampul yang lebih segar. Sampul hijaunya mengingatkan kita pada hutan ajaib tempat Jess dan Leslie membangun Kerajaan Terabithia mereka. Tali ayunan di atas sungai sebagai penghubung menuju Terabithia juga dilukiskan dengan indahnya. Ahhh ... menatap kehijauan di sampul buku ini serasa mendengar para penghuni Terabithia memanggil-manggil kita untuk turut larut dengan cerita di dalamnya.
"... mungkin Terabithia semacam kastel yang kau datangi untuk diberi gelar. Setelah kau tinggal sejenak dan tumbuh kuat, kau harus pergi." (hlm. 230)
Jesse
Aarons tinggal di sebuah peternakan keluarganya sebuah
keluarga dengan 4 orang saudari. Ia adalah anak lelaki satu-satunya, dengan dua kakak perempuan yang beranjak
remaja dan dua adik perempuan yang masih kanak-kanak. Saat itu ia berusia 10 tahun, masa-masa menjelang remaja di mana
seharusnya ia lebih sering bermain dengan anak laki-laki atau saudara
laki-laki. Ayahnya pergi pagi dan pulang malam, bekerja komuter
dari Washington. Dan saat akhir pekan, ayahnya sudah terlalu lelah bahkan untuk sekadar mengobrol bersama anak cowoknya. Jesse pun melampiaskan
rasa galaunya dengan berlatih berlari. Ia ingin menjadi yang tercepat,
yang terhebat, anak lelaki yang benar-benar cowok di kelasnya. Ia berlatih lari setiap hari sementara dua adik perempuannya terus-menerus merenggek dan mengganggunya. Banyak hal di buku ini yang mengingatkan kita akan indahnya masa kecil.
"Nenekku mengirimkannya. kau tahu, kan, para nenek selalu lupa kalau kau sudah bertambah besar." (hlm. 68)
Sayangnya, usaha dan
impian Jesse mendadak buyar ketika suatu hari ada anak pindahan dari kota
bernama Leslie Burke. Anak cewek yang kelakuannya kayak cowok itu telah mengalahkannya dalam
perlombaan lari. Bahkan, dia juga berhasil mengalahkan semua anak lelaki di kelas. Jesse awalnya merasa marah. harga dirinya sebagai cowok terusik karena kalah lari dengan cewek. Untungnya, Leslie adalah anak cewek
yang unik sehingga tidak butuh lama bagi keduanya untuk bisa bersahabat. Lewat Leslie, Jess belajar tentang menghargai keunikan, tentang menjadi diri sendiri, tentang tetap lurus mengejar impian meskipun orang-orang menertawakannya. Dan, yang lebih utama, Leslie mengajak Jess untuk tidak takut berimajinasi. Keduanya pun mendirikan Kerajaan Terabithia, tempat
khayalan dan imajinasi adalah batu bata penyusunnya. Negeri di mana mereka bisa
melarikan diri dari tugas sekolah yg membosankan, masalah-masalah dalam
keluarga, dan kegalauan-kegalauan lain yang muncul menjelang masa remaja.
"Semua orang kadang-kadang merasa takut. Kau tak perlu malu. Semua orang pernah takut." (hlm. 223)
Membaca buku
ini, kita akan dibawa kembali ke indahnya masa kanak-kanak tempo dulu, tepatnya tahun 1970-an di pedalaman Amerika Serikat. Waktu itu belum ada telepon genggam dan internet, walau sudah ada TV. Jesse sendiri digambarkan berasal dari keluarga sederhana yang sekedar membelikan anak-anak putrinya gaun yang pantas untuk Paskah pun tak sanggup. Jadi, anak-anak di buku ini bermain dengan apa saja yang tersedia gratis di sekitar. Jesse dan teman-temannya asyik lomba lari dan main bola ketimbang sibuk PS-an. Mereka terlalu asyik
mencari tempat-tempat seru untuk berpetualang di hutan, bikin markas rahasianya, melompati sungai, berayun
dengan dahan pohon, lari-lari dengan anjing sehingga tidak sempat mengeluhkan sinyal yang jelek atau hutan yang datang tiba-tiba. Alam benar-benar menjadi sahabat sejati anak-anak. Setting novel ini sangat indah dan sederhana,
mengingatkan kita pada film Little House on the Prairie. Benar-benar
perayaan dari masa kanak-kanak yang sesungguhnya.
"Terkadang, kau harus memberikan kepada orang lain sesuatu yang mereka sukai, bukan sesuatu yang membuatmu senang karena telah memberikannya." (hlm. 229)
Pernah ada yang bilang bahwa buku bisa membuat pembacanya terluka. Dan, saya memang
terluka setelah membaca buku. Tapi terluka yang indah, yang membuat saya
langsung terhenyak saat sampai di endingnya. Sebuah ending yang cukup
menyayat hati tapi meninggalkan pelajaran moral yang luar biasa bagi
kita, para pembaca yang telah diberi anugerah untuk tumbuh dan melalui
masa-masa kecil yang begitu indah. Lewat buku kecil ini, pembaca akan belajar banyak hal besar tentang tumbuh dewasa, menjadi dirimu sendiri, juga menjadi manusia yang lebih peduli pada alam sekitar. Kisah indah dalam buku ini selamanya akan tertanam di hati para pembacanya.
"Dan untuk teror yang kelak ada, yah kau hanya perlu menghadapinya dan tidak membiarkannya menakutimu hingga pucat. Benar, kan Leslie?" (hlm. 230)
Ini yg di trans kemaren 😂 tapi gak sampai selesai nontonnya
ReplyDeleteIya, betul. Gara-gara nonton semalam trus jadi terpacu baca novelnya hahaha
DeleteWah, sampe dibaca dua kali.
ReplyDeleteBaca dua versi terjemahan, Mas?
Iya mbak, soalnya buntelan sih eh
DeleteTapi yang terjemahan Pak Sapardi kurang unyu sampulnya.
Aku sedih tiap nonton pilm ini. Sedih endingnya :(
ReplyDeleteHiks iya Vin, apalagi dulu aku baca bukunya pas belum nonton filmnya, aseli shock banget sampai berhenti baca dan merenung.
Deleteterabithia dari dulu sudah ada di rcti tapi mungkin kurang penontonya maka tidak di tanyakan sama rcti.
ReplyDeletesaya berharap semua televisi menayangkan lagi bridge to terabithia, mumbuat ku tak bosan gan hahaha