Pengarang: Fransesca Haig
Penerjemah: Reni Indardini
Tebal: 572 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2016
Penerbit: Mizan Fantasi
Sekitar empat ribu tahun di masa depan, dunia porak-poranda
akibat perang nuklir yang membakar habis peradaban. Seluruh kebudayaan musnah beserta
sebagian manusia penghuninya. Sisanya, manusia-manusia yang selamat harus memulai
semuanya dari nol sambil menghiruo udara serta meminum air yang penuh radiasi nuklir.
Sejarah bumi lenyap, orang-orang hanya tahu masa Sebelum Detonasi dan Sesudah
Detonasi. Selain menghancurkan peradaban, perang nuklir juga menghasilkan efek
samping yang sangat mengerikan. Semua bayi yang lahir Setelah Detonasi terlahir
kembar. Satu bayi sempurna dan satu bayi yang mengalami cacat. Bayi yang
terlahir sempurna ini lalu disebut kaum Alfa sementara kembarannya yang tak
sempurna masuk golongan Omega. Uniknya, setiap kembaran dipersatukan oleh
ikatan yang sangat erat. Alfa dan Omega lahir dan mati secara bersamaan. Ketika
yang satu mati, maka kembarannya akan ikut mati. Jika si Omega mati karena
dibunuh atau sakit atau kecelakaan, maka kembarannya si Alfa juga akan
ikut-ikutan mati—meskipun saat itu fisiknya dalam kondisi prima. Hal yang sama
juga berlaku sebaliknya: si Alfa mati, maka kembaran Omeganya juga ikut mati.
“Keberanian jenisnya macam-macam.” (hlm 535)
“Kekerasan tidak
menghasilkan perubahan nyata yang permanen.” (hlm. 302)
Cass dan kaum Omega lainnya sudah muak ditindas. Dan di The Map of Bones ini mereka melanjutkan
perlawanannya di dunia yang sudah terlalu dikuasai kaum Alfa. Bersama Piper dan
Zed, ketiganya bertualang mencari para Omega yang tersisa untuk kembali
mengobarkan perlawanan terhadap tirani Alfa. Mesin tabung temuan Zach semakin
menguatkan tekad mereka. Kaum Omega harus melawan, lebih baik mati dalam
pertempuran ketimbang dibiarkan sekarat dalam tabung. Perjuangan belum berakhir. Diawali dengan
menemukan Sally, mantan anggota Resistance yang legendaris karena berhasil
menyusup ke lingkaran dalam Dewan Alfa dan masih bisa kabur hidup-hidup dari
sana. Sally ini walau sudah sepuh, tetapi legendanya menjadikan kaum Omega
hormat kepadanya. Sally juga yang membantu Cass dkk dalam menjalankan
rencana-rencana mereka melawan Dewan Alfa.
“Tidak ada salahnya
diperhatikan oleh orang lain.” (hlm 130)
Banyak ulasan menyebut buku kedua trilogi The Fire Sermon ini muram dan datar.
Kisahnya memang cenderung datar, dengan begitu banyak peristiwa sederhana yang
diceritakan berpanjang-panjang sementara adegan perangnya hanya muncul satu dua
kali. Muram juga karena pembaca terus menerus disodori Cass yang galau berat akibat
terawangan yang diterimanya, serta beban rasa bersalah yang menghimpitnya.
Tetapi, novel ini ditulis dengan luwes. Kalimat dan paragrafnya—kalau bukan
indah—terasa rapi dan halus. Meluncur halus mungkin ungkapan yang tepat untuk novel ini. Alurnya lambat tetapi
tidak membosankan, bisa dinikmati. Nyatanya saya hanya butuh dua hari
membacanya, padahal baca Magnus Chase 2 saja sampai seminggu. Dan walau adegan
perkelahiannya sedikit, tetapi penulis tidak tanggung-tanggung dalam
mendeskripsikannya. Adegan pertempuran seperti digelar seutuh-utuhnya di depan
mata pembaca. Darah tumpah, tebasan pedang, tusukan anak panah, darah yang
membanjir. Ini buku kalau nggak muram ala musim dingin ya berdarah-darah ala
peperangan—tetapi dalam artian yang seru untuk dibaca.
“Sama sekali tak ada
unsur keindahan dalam berkelahi.” (hlm. 71)
Ada alasan mengapa buku ini lambat. Banyak pertanyaan yang
muncul di buku pertama coba dijawab penulis. Tentang bagaimana Zach bisa membuat
tabung-tabung mengerikan itu, tentang apa yang sebenarnya menimpa Bumi pada
masa Sebelum, tentang adanya Tempat Lain, tentang ledakan yang terus menerus
muncul dalam terawangan Cass, juga tentang Bahtera yang konon menyimpan
informasi dari masa Sebelum. Cass juga akhirnya menemukan jawaban atas sikap dingin
Zoe kepadanya. Hubungan Piper dan Cass
juga makin tegas di sini. Akankah Piper menjadi pengganti Kip? Membaca buku ini
membawa rasa kepuasan tersendiri, sulit untuk tidak jatuh cinta pada
karakter-karakternya, juga pada dunia paskaapokaliptik, serta cara menulis
penulis yang halus. Romancenya terhitung minimal untuk buku setebal ini. Dan,
yang terpenting, nilai-nilai kemanusiaan yang tersirat dalam ceritanya akan
mengubah persepsi pembaca tentang menjadi manusia dan bagaimana memanusiakan manusia.
Terjemahannya juga apik sekali. Saya selalu suka sama model terjemahan ala mbak
Reni Indardini yang kayak gini.
“Kau mau bertarung,
sekalipun kau melihat kita kalah. Kau sudah tahu sedari awal dan kau tetap saja
berdiri di sini, siap untuk berjuang. Itu dia yang namanya harapan.” (hlm.
263)
Baru selesai baca seri pertama dan emang lambat, tapi seru. Tipe" novel yang latarnya bagus buat difilm-in. Tapi itu Zed apa Zoe sih mas? Aku curiga kalau ada Zoe-Zach couple. Ntar si Zoe berperan banyak buat ngubah mindset Zach
ReplyDeleteZoe hahaha maaf kelupaan namanya wkwkwk. Nah bisa jadi, rada-rada setipe ya si Zoe dan Zach ini. Eh tapi dua-duanya sama-sama Alfa kan ya? Bisa jadi tebakanmu betul.
DeleteIya sama" keras kepala
DeleteSeri ini di sana udah tamat belum mas? Jadi penasaran akut wkwk
Belum, buku ketiga masih ditulis kayaknya.
Delete