Penyusun: Albert Camus, dkk
Penerjemah: Adhe
Penyunting: Dewi K. Michelia
Tebal: 257 hlm
Cetakan: Pertama, 2016
Penerbit:Octopus
goodreads.com |
Judul buku ini agak misleading, sungguh judul yang terlalu unyu untuk buku yang isinya ternyata berat seperti ini. Apakah menulis itu lalu kemudian tidak indah? Bukan, keindahan menulis sebagaimana keindahan yang lain-lain sifatnya relatif. Bagi seseorang, menulis bisa saja sesuatu kegiatan yang menyenangkan, tetapi bagi orang lainnya bisa jadi sebuah siksaan. Padahal dua-duanya sama-sama penulis (atau sama-sama ingin jadi penulis). Saya jadi ingat kata seorang penulis kawakan yang namanya entah saya kok lupa, bahwa menulis tidak semakin mudah seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi semakin cepat ini. Jadi sepertinya memang menulis yang baik itu adalah tentang ketekunan dan tentang praktik menulis itu sendiri. Dan, hal-hal terkait menulis seperti inilah yang awalnya saya harapkan akan saya dapatkan dari buku ini, ternyata bukan.
“Marquez pernah
berkata: ‘Cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah
menulis sebaik apa yang dapat dia lakukan.” (hlm ix)
Apa yang dibahas oleh para sastrawan besar dunia di buku ini
memang tentang menulis, tetapi menulis versi dunia mereka sendiri. Dalam
bab-bab di buku ini (mungkin lebih tepat disebut esai), Virginia Woolf dkk
membahas tentang dunia tulis menulis dan juga dunia kesusastraan kekinian.
Tepatnya kekinian di era mereka yang akhirnya jadi kekunoan saat saya baca.
Sebagian besar sastrawan di buku ini adalah mereka yang jaya dan berkarya pada
era antara akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke-20. Mereka adalah
suara-suara literasi ketika dunia masih dikuasai mesin ketik, telepon, dan
buku-buku cetak. Nama-nama mereka adalah legenda dalam pikiran kita: Albert
Camus, Virginia Woolf, Jorge Luis Borges, Jose Saramago, hingga Salman Rushdie
nan kontroversial itu. Dan di buku ini, mereka seolah sibuk dengan diri mereka
sendiri, menuliskan dalam esai-esai ini terkait gagasan dan pendapat mereka
terkait suatu hal—dan bukan tentang proses kreatif mereka dalam menulis.
“Novelis menghancurkan
rumah kehidupannya dan menggunakan batu-batunya untuk membangun rumah bagi
novelnya.” (Milan Kundera, hlm 154)
Memang, tentang begitu campurbaurnya isi buku ini sudah
diwanti-wanti penerbit lewat blurb di sampul belakangnya. Tetapi, tetap saja
subjudul ‘Pengalaman Para Penulis Dunia’ di sampul depan agak rancu menurut
saya. Bukan berarti esai-esai di buku ini tidak menarik, tapi mungkin kurang
sesuai dengan yang pembaca harapkan jika melihat judul buku ini. Yang saya
tangkap, tidak semua penulis di buku ini bahagia dengan menulis, banyak di
antara mereka yang malah sibuk mengomel. Misalnya saja Virginia Woolf yang
sibuk mengkritik para kritikus sastra yang mengkritik karyanya. Memang ada yang
berkisah tentang pengalamannya menulis buku, seperti Mark Twain dalam ;Kisah
Terbitnya Buku Saya’ serta Gabriel Garcia Marquez yang mengisahkan pertemuannya
dengan Ernest Hemingway. Tetapi, beberapa esai yang lain sedemikian ‘egoisnya’
sehingga pembaca awam seperti saya sulit mencernanya. Esai Jean Paul Sartre
tentang ‘Apakah Menulis Itu?’ benar-benar bernuansa filsafat yang di penghujung
tulisan malah balik bertanya: “Mengapa
seseorang menulis?”
“Bagi penulis, kerja
menulis adalah petualangan menuju kedalaman bahasa.” (Octavio Paz, hlm.
183)
Sebagai sebuah buku manual menulis, buku ini mungkin kurang
sesuai. Tetapi sebagai sebuah album dokumentasi tentang menulis ala para
sastrawan dunia, nah mungkin lebih tepatnya seperti itu. Jika pembaca ingin
mencari tahu gimana cara nulis novel yang realis magis kayak punya Marquez atau
bikin buku spiritual tapi ngak mengurui kayak Paulo Coelho; jawabannya tidak
akan pembaca temukan di buku ini. Tetapi, jika pembaca tertarik mengetahui
bagaimana corak karya Carlos Fuentes atau ingin menguak misteri semiotik
Umberto Eco; buku ini mungkin bisa sedikit menjawab kekangenan Anda pada
mereka. Kepada pembaca pemula, buku ini mungkin kurang cocok. Tetapi untuk
pembaca-penulis yang ingin berdekatan lebih lanjut dengan para penulis
idolanya; buku ini untuk Anda.
“Dalam sastra, saya
mencari kata-kata sebagai suara.” (Gao Xingjian)
Tetapi, setiap buku selalu menyimpan pengetahuan, sekecil
apa pun. Setidaknya, Bertrand Russel sedikit membagikan tips praktis menulisnya.
Pertama, jangan menggunakan kata yang
panjang jika kata yang pendek bisa digunakan; kedua, taruhlah ide yang berbeda dalam kalimat yang terpisah. Ketiga, jangan membingungkan membaca
dengan anak kalimat yang nada dan arahnya berbeda dengan akhir kalimat yang
hendak Anda tuliskan. Sekali lagi, menulis itu memang soal ketekunan. Tetapi, sebagai
penutup tulisan ini, tak ada salahnya kita renungkan nasihat Marquez di buku ini:
“... kesejahteraan
ekonomi dan kesehatan yang terjaga baik merupakan situasi yang kondusif untuk
menulis.” (hlm. 40)
No comments:
Post a Comment