Search This Blog

Monday, August 15, 2016

Belajar Mengajar dari Negeri-negeri Timur

Judul: Metode Mengajar ala Tiongkok dan Jepang*
Penulis: Nikola Dickyandi
Tebal: 191 halaman
Cetakan: Pertama, Maret 2016
Penerbit: DIVA Press

 






Tiongkok dan Jepang adalah dua negara di kawasan Asia yang reputasinya telah mendunia. Kedua sama-sama disegani sebagai kekuatan baru di dunia karena kemajuan yang mereka tunjukkan di berbagai bidang. Kemajuan kedua bangsa ini tentu tak bisa dilepaskan dari tingginya kualitas pendidikan yang diterapkan di sana. Sejak lama, kualitas pendidikan di kedua negeri ini memang telah disejajarkan dengan di negara-negara di Barat. Lalu,  faktor-faktor apa yang menjadikan kualitas pendidikan di dua negara ini sangat baik dan bermutu tinggi? Buku ini mencoba menjawabnya.

Baik Jepang maupun Tiongkok, keduanya ternyata menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju. Walau begitu, ada perbedaan antara keduanya. Ini tentunya terkait dengan sejarah kedua bangsa yang juga berbeda. Bangsa Tiongkok yang memiliki peradaban berusia ribuan tahun sejak dulu telah termasyhur sebagai salah satu pusat pendidikan terbaik di dunia. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pun menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tiongkok. Ini menandakan bangsa Tiongkok memang telah terbukti kualitas pendidikannya. Bagi rakyat Tiongkok, pendidikan merupakan hal wajib karena kesesuaiannya dengan filsafat yang mereka anut. Mereka belajar harus dilakukan sepanjang hayat. Proses belajar hanya bisa terhenti ketika seseorang telah meninggal. "Pendidikan ibarat mesin yang mengarahkan dunia kepada kebenaran sehingga harus dikejar sampai mati," demikian sabda Kong Hu Cu. Karena sebagian besar warganya adalah penganut Kong Hu Cu, tidak heran jika pendidikan mendapatkan posisi istimewa di Tiongkok.

Sejak ribuan tahun lalu, bangsa Tiongkok telah mengadakan seleksi pegawai negeri untuk mendapatkan calon pejabat yang benar2 berkualitas. Di Tiongkok kuno, siapa pun bisa menjadi pegawai kekaisaran sepanjang mereka bisa lolos dalam ujian penyaringan pegawai negeri. Semua pemuda yang cerdas (tidak peduli dari golongan masyarakat kaya atau miskin) berhak mengikuti ujian pegawai negeri di Tiongkok kuno. Ini sejalan dengan ajaran Konfusius yang tidak memperbolehkan seseorang memandang asal-usul, strata sosial, atau pangkat. Keunikan sistem pendidikan di Tiongkok kuno adalah siswa wajib belajar dari kitab-kitab Konfusius yang berisi aneka topik pembahasan. Kitab-kitab ini berisi beragam prinsip keilmuan yang disajikan dalam bentuk kisah dan tulisan sastra, termasuk ilmu pasti dan ilmu perang. Konon, ketika seorang siswa lolos dalam seleksi tahap pertama, dia akan dibebaskan dari membayar pajak. Demikian di Tiongkok kuno. Ini menunjukkan betapa bangsa Tiongkok sudah menyadari pentingnya pendidikan, bahkan sejak zaman Dinasti Han, lebih dari 2000 tahun lalu. Keunikan lain, siswa dianjurkan untuk menghafalkan kitab-kitab tersebut dan didorong untuk menuangkan kembali dalam bentuk puisi. Ini rupanya mengapa di film-film silat Tiongkok kita sering melihat adegan siswa menghafal sambil memutar kepalanya, seraya berpuisi. Unik!

Bagaimana dengan sistem pendidikan di Tiongkok di era modern? Apakah masih menerapkan sistem hafalan seperti ribuan tahun sebelumnya? Agak berbeda dengan di zaman kuno, pendidikan di era Tiongkok modern lebih mengedepankan pada penguasaan materi dan keterampilan. Kurikulumnya lebih berorientasi pada siswa melalui diskusi, mendorong cara berpikir yang inovatif, serta lebih mengedepankan kualitas. Sistem pendidikan lewat hafalan dan PR dalam jumlah banyak sudah mulai ditinggalkn di Tiongkok, siswa diarahkan pada materi bersifat praktik. Sejumlah sekolah di Tiongkok juga mewajibkan siswa untuk berolah raga fisik, paling tidak satu jam sebelum pelajaran dimulai. Keseimbangan lahir dan batin, pikiran dan tubuh, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis, yin dan yang selalu menjadi perhatian mereka.
Bagaimana dengan Jepang? Jika dibanding Tiongkok, awal kemajuan pendidikan di Jepang tertinggal jauh, yakni saat Restorasi Meiji (1886). Sebelum Restorasi Meiji, Jepang adalah bangsa yang menutup diri pada dunia luar, kuno, miskin, dan gelap di bawah rezim Tokugawa. Setelah Restorasi Meiji, Jepang membuka diri pada bangsa luar--terutama Barat--langsung tergerak untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Hanya dalam waktu 50 tahun setelah Restorasi Meiji, Jepang menjelma menjadi sebuah negara maju dan disegani dunia. Kemajuan ini tentu tidak bisa lepas dari sistem pendidikan bangsa Jepang yang khas sekaligus unik, berbeda dari bangsa-bangsa lain. Setelah Restorasi Meiji, Jepang mulai giat mengirimkan pelajarnya ke luar negeri untuk mendalami beragam ilmu pengetahuan. Para pemuda Jepang ini kemudian kembali ke Jepang setelah lulus untuk menerapkan dan bahkan menyempurnakan ilmu yg mereka dapat. Upaya ini terbukti berhasil dengan bangkitnya Jepang menjadi negara yang setara dengan negara-negara Barat hanya dalam waktu 50 tahun.

Walaupun terbilang terlambat bila dibanding pendidikan di Tiongkok, namun kualitas pendidikan mereka juga tidak kalah. Pendidikan di Jepang mulai bangkit lewat gerakan Restorasi Meiji tahun 1866-69 yang menyadarkan mereka untuk bergerak mengejar Barat. Restorasi Meiji ini ibarat Renaisance bagi bangsa Barat, yang mendorong bangsa Jepang bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Salah satu efek positif Restorasi Meiji tampak pada sistem pendidikan mereka yang semakin maju, menjadikan warganya kreatif dan cerdas. Amerika Serikat bahkan mendatangkan guru2 dari Jepang. Keunggulan pendidikan di Jepang dibuktikan dengan produk-produk mereka yang bisa ditemukan di hampir semua penjuru dunia. Jepang juga terkenal sebagai bangsa berteknologi tinggi, kreatif, juga inovatis. Tingkat pengangguran pun sangat rendah di sana. Sampai saat ini, sudah ada 22 warga Jepang yang tercatat sebagai penerima hadiah Nobel dari berbagai bidang. Kunci keberhasilan pendidikan di Jepang salah satunya adalah siswa dikenalkan juga dengan beragam bidang pengetahuan dan penerapannya. Tahun 1990, tingkat melek huruf bangsa Jepang mencapai 98% sebelum akhirnya negeri itu terbebas dari buta huruf pada tahun 2000. Rahasia majunya pendidikan Jepang: Wajib belajar 9 tahun, satu sekolah untuk setiap 600 penduduk, dan membangun 32 sekolah, 1 Perguruan Tinggi tiap daerah.

Bangsa Jepang juga sangat menghargai profesi guru. Hanya guru-guru yang benar-benar berkualitas saja yang dibolehkan mengajar. Ketika Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang mengalami kerusakan dan kekalahan yang hampir total. Hal pertama yang ditanyakan Kaisar Hirohito setelah Jepang di bom atom adalah "masih ada berapa orang guru yang selamat dari perang?" Kaisar bahkan langsung bergerilya untuk mendatangi guru-guru yang masih selamat, memberikan arahan untuk bangkit dari keterpurukan. Salah satu titah Kaisar Hirohito saat itu adalah para guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu kepada bangsa Jepang seusai perang. Titah Kaisar ini benar-benar dipatuhi, para guru sedemikian bersemangat membangun kembali negaranya lewat jalur pendidikan. Pemerintah pun menjamin kesejahteraan para guru, dan semua rakyat mendapatkan pendidikan terbaik dengan biaya murah. Jepang juga menerapkan Rainbow Plan, yang salah satunya membatasi jumlah siswa per kelas yang tidak boleh lebih dari 20 anak.

Keberhasilan pendidikan di Jepang tidak bisa dilepaskan juga dari minat baca mereka yang tinggi. Masyarakat Jepang gemar sekali membaca. Untuk siswa-siswi yang kurang suka membaca buku teks, Pemerintah Jepang berbuat kreatif dengan meluncurkan komik buku pelajaran. Luar biasa. Selain siswa tidak mudah bosan, buku pelajaran berbentuk komik juga menyajikan efek visual yang mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Inilah salah satu sebab mengapa bangsa Jepang gemar sekali membaca, karena pemerintahnya memang mendorong rakyatnya gemar membaca. Sekolah-sekolah di Jepang sejak dini mewajibkan siswa membaca buku apa saja di perpustakaan sekolah selama 10 menit sebelum pelajaran. Kewajiban membaca ini awalnya memang dipaksakan, tapi kemudian menjadi sebuah kebiasaan baik yang terbukti sangat bermanfaat bagi Jepang. 

 *Dimuat di Tribun Jogja edisi 14 Agustus 2016.

2 comments: