Penulis: Nikola Dickyandi
Tebal: 191 halaman
Cetakan: Pertama, Maret 2016
Penerbit: DIVA Press
Tiongkok
dan Jepang adalah dua negara di kawasan Asia yang reputasinya telah mendunia.
Kedua sama-sama disegani sebagai kekuatan baru di dunia karena kemajuan yang
mereka tunjukkan di berbagai bidang. Kemajuan kedua bangsa ini tentu tak bisa
dilepaskan dari tingginya kualitas pendidikan yang diterapkan di sana. Sejak
lama, kualitas pendidikan di kedua negeri ini memang telah disejajarkan dengan
di negara-negara di Barat. Lalu,
faktor-faktor apa yang menjadikan kualitas pendidikan di dua negara ini
sangat baik dan bermutu tinggi? Buku ini mencoba menjawabnya.
Baik
Jepang maupun Tiongkok, keduanya ternyata menerapkan sistem pendidikan yang
cukup maju. Walau begitu, ada perbedaan antara keduanya. Ini tentunya terkait
dengan sejarah kedua bangsa yang juga berbeda. Bangsa Tiongkok yang memiliki
peradaban berusia ribuan tahun sejak dulu telah termasyhur sebagai salah satu
pusat pendidikan terbaik di dunia. Bahkan, Nabi Muhammad Saw. pun menganjurkan
umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tiongkok. Ini menandakan bangsa
Tiongkok memang telah terbukti kualitas pendidikannya. Bagi rakyat Tiongkok,
pendidikan merupakan hal wajib karena kesesuaiannya dengan filsafat yang mereka
anut. Mereka belajar harus dilakukan sepanjang hayat. Proses belajar hanya bisa
terhenti ketika seseorang telah meninggal. "Pendidikan ibarat mesin yang
mengarahkan dunia kepada kebenaran sehingga harus dikejar sampai mati,"
demikian sabda Kong Hu Cu. Karena sebagian besar warganya adalah penganut Kong
Hu Cu, tidak heran jika pendidikan mendapatkan posisi istimewa di Tiongkok.
Sejak
ribuan tahun lalu, bangsa Tiongkok telah mengadakan seleksi pegawai negeri
untuk mendapatkan calon pejabat yang benar2 berkualitas. Di Tiongkok kuno,
siapa pun bisa menjadi pegawai kekaisaran sepanjang mereka bisa lolos dalam
ujian penyaringan pegawai negeri. Semua pemuda yang cerdas (tidak peduli dari
golongan masyarakat kaya atau miskin) berhak mengikuti ujian pegawai negeri di
Tiongkok kuno. Ini sejalan dengan ajaran Konfusius yang tidak memperbolehkan
seseorang memandang asal-usul, strata sosial, atau pangkat. Keunikan sistem
pendidikan di Tiongkok kuno adalah siswa wajib belajar dari kitab-kitab
Konfusius yang berisi aneka topik pembahasan. Kitab-kitab ini berisi beragam
prinsip keilmuan yang disajikan dalam bentuk kisah dan tulisan sastra, termasuk
ilmu pasti dan ilmu perang. Konon, ketika seorang siswa lolos dalam seleksi
tahap pertama, dia akan dibebaskan dari membayar pajak. Demikian di Tiongkok
kuno. Ini menunjukkan betapa bangsa Tiongkok sudah menyadari pentingnya
pendidikan, bahkan sejak zaman Dinasti Han, lebih dari 2000 tahun lalu.
Keunikan lain, siswa dianjurkan untuk menghafalkan kitab-kitab tersebut dan
didorong untuk menuangkan kembali dalam bentuk puisi. Ini rupanya mengapa di
film-film silat Tiongkok kita sering melihat adegan siswa menghafal sambil
memutar kepalanya, seraya berpuisi. Unik!
Bagaimana
dengan sistem pendidikan di Tiongkok di era modern? Apakah masih menerapkan
sistem hafalan seperti ribuan tahun sebelumnya? Agak berbeda dengan di zaman
kuno, pendidikan di era Tiongkok modern lebih mengedepankan pada penguasaan
materi dan keterampilan. Kurikulumnya lebih berorientasi pada siswa melalui
diskusi, mendorong cara berpikir yang inovatif, serta lebih mengedepankan
kualitas. Sistem pendidikan lewat hafalan dan PR dalam jumlah banyak sudah
mulai ditinggalkn di Tiongkok, siswa diarahkan pada materi bersifat praktik.
Sejumlah sekolah di Tiongkok juga mewajibkan siswa untuk berolah raga fisik,
paling tidak satu jam sebelum pelajaran dimulai. Keseimbangan lahir dan batin,
pikiran dan tubuh, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis, yin dan yang
selalu menjadi perhatian mereka.
Bagaimana
dengan Jepang? Jika dibanding Tiongkok, awal kemajuan pendidikan di Jepang
tertinggal jauh, yakni saat Restorasi Meiji (1886). Sebelum Restorasi Meiji,
Jepang adalah bangsa yang menutup diri pada dunia luar, kuno, miskin, dan gelap
di bawah rezim Tokugawa. Setelah Restorasi Meiji, Jepang membuka diri pada
bangsa luar--terutama Barat--langsung tergerak untuk belajar dan mengejar
ketertinggalan. Hanya dalam waktu 50 tahun setelah Restorasi Meiji, Jepang
menjelma menjadi sebuah negara maju dan disegani dunia. Kemajuan ini tentu
tidak bisa lepas dari sistem pendidikan bangsa Jepang yang khas sekaligus unik,
berbeda dari bangsa-bangsa lain. Setelah Restorasi Meiji, Jepang mulai giat
mengirimkan pelajarnya ke luar negeri untuk mendalami beragam ilmu pengetahuan.
Para pemuda Jepang ini kemudian kembali ke Jepang setelah lulus untuk
menerapkan dan bahkan menyempurnakan ilmu yg mereka dapat. Upaya ini terbukti
berhasil dengan bangkitnya Jepang menjadi negara yang setara dengan
negara-negara Barat hanya dalam waktu 50 tahun.
Walaupun
terbilang terlambat bila dibanding pendidikan di Tiongkok, namun kualitas
pendidikan mereka juga tidak kalah. Pendidikan di Jepang mulai bangkit lewat
gerakan Restorasi Meiji tahun 1866-69 yang menyadarkan mereka untuk bergerak
mengejar Barat. Restorasi Meiji ini ibarat Renaisance bagi bangsa Barat, yang
mendorong bangsa Jepang bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Salah satu
efek positif Restorasi Meiji tampak pada sistem pendidikan mereka yang semakin
maju, menjadikan warganya kreatif dan cerdas. Amerika Serikat bahkan
mendatangkan guru2 dari Jepang. Keunggulan pendidikan di Jepang dibuktikan dengan
produk-produk mereka yang bisa ditemukan di hampir semua penjuru dunia. Jepang
juga terkenal sebagai bangsa berteknologi tinggi, kreatif, juga inovatis.
Tingkat pengangguran pun sangat rendah di sana. Sampai saat ini, sudah ada 22
warga Jepang yang tercatat sebagai penerima hadiah Nobel dari berbagai bidang.
Kunci keberhasilan pendidikan di Jepang salah satunya adalah siswa dikenalkan
juga dengan beragam bidang pengetahuan dan penerapannya. Tahun 1990, tingkat
melek huruf bangsa Jepang mencapai 98% sebelum akhirnya negeri itu terbebas
dari buta huruf pada tahun 2000. Rahasia majunya pendidikan Jepang: Wajib
belajar 9 tahun, satu sekolah untuk setiap 600 penduduk, dan membangun 32
sekolah, 1 Perguruan Tinggi tiap daerah.
Bangsa
Jepang juga sangat menghargai profesi guru. Hanya guru-guru yang benar-benar
berkualitas saja yang dibolehkan mengajar. Ketika Sekutu menjatuhkan bom atom
ke Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang mengalami kerusakan dan kekalahan
yang hampir total. Hal pertama yang ditanyakan Kaisar Hirohito setelah Jepang
di bom atom adalah "masih ada berapa orang guru yang selamat dari
perang?" Kaisar bahkan langsung bergerilya untuk mendatangi guru-guru yang
masih selamat, memberikan arahan untuk bangkit dari keterpurukan. Salah satu
titah Kaisar Hirohito saat itu adalah para guru harus melaksanakan pendidikan
yang bermutu kepada bangsa Jepang seusai perang. Titah Kaisar ini benar-benar
dipatuhi, para guru sedemikian bersemangat membangun kembali negaranya lewat
jalur pendidikan. Pemerintah pun menjamin kesejahteraan para guru, dan semua
rakyat mendapatkan pendidikan terbaik dengan biaya murah. Jepang juga
menerapkan Rainbow Plan, yang salah satunya membatasi jumlah siswa per kelas
yang tidak boleh lebih dari 20 anak.
Keberhasilan
pendidikan di Jepang tidak bisa dilepaskan juga dari minat baca mereka yang
tinggi. Masyarakat Jepang gemar sekali membaca. Untuk siswa-siswi yang kurang
suka membaca buku teks, Pemerintah Jepang berbuat kreatif dengan meluncurkan
komik buku pelajaran. Luar biasa. Selain siswa tidak mudah bosan, buku
pelajaran berbentuk komik juga menyajikan efek visual yang mempermudah siswa
memahami materi pelajaran. Inilah salah satu sebab mengapa bangsa Jepang gemar
sekali membaca, karena pemerintahnya memang mendorong rakyatnya gemar membaca.
Sekolah-sekolah di Jepang sejak dini mewajibkan siswa membaca buku apa saja di
perpustakaan sekolah selama 10 menit sebelum pelajaran. Kewajiban membaca ini
awalnya memang dipaksakan, tapi kemudian menjadi sebuah kebiasaan baik yang
terbukti sangat bermanfaat bagi Jepang.
*Dimuat di Tribun Jogja edisi 14 Agustus 2016.
*Dimuat di Tribun Jogja edisi 14 Agustus 2016.
Keren reviewnya, mas.
ReplyDeleteTrims, Nunu.
Delete