Search This Blog

Friday, August 5, 2016

Babad Tanah Jawi versi Raden Mandasia

Judul: Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana Publishing
Tebal: 450 hlm
Format: Paperback
Terbit: Maret, 2016


 

Sampul dan kualitas tinta di novel ini memang terlihat kurang meyakinkan. Sampulnya cenderung gelap dan kurang kontras, sementara beberapa halaman tintanya tampak seperti fotokopi. Tapi, sejak dulu saya belajar untuk tidak melihat buku dari sampul, penulis, atau penerbitnya. Dan, kali ini, tebakan saya tidak keliru. Novel ini keren. Judulnya yang uniklah yang pertama menarik perhatian saya, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Sungguh judul yang sangat tidak pasaran. Judul seperti ini kalau tidak dibuat oleh anak-anak punk yang setengah seniman, pastilah dibuat oleh seorang penulis yang telah banyak membaca literatur yang tidak biasa. Nama Mandasia itu sendiri, kemudian embel-embel si pencuri daging sapi yang mengikutinya, sungguh susah menghilangkannya dari ingatan. Lebih-lebih setelah Utami Pertiwi melambai-lambaikan buku ini di depan mata, dengan iming-iming diskon khusus, maka jebol jua pertahanan saya. Novel keren ini terbelilah. Saya tidak menyesal membelinya, pengalaman membacanya begitu berbeda dalam arti yang menyenangkan. Banyak hal baru bakal pembaca dapatkan dari membaca novel ini.



Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi menyuguhkan cerita yang tidak pasaran. Settingnya campur aduk antara Nusantara lama zaman Hindu-Buddha, Mataram Islam, Asia Tengah zaman Iskandar Zulkarnain, hingga setting-setting kisah dongeng seperti dikisahkan di sampul belakangnya. Membaca halaman-halaman awal, mungkin pembaca awam kayak saya ini butuh adaptasi dulu karena nama-nama karakter yang unik, juga nama-nama tempatnya yang tak kalah unik. Sungu Lembu, Nyai Manggis, Gilingwesi, Gerbang Agung, Banjaran Waru; kita seperti diajak menyelusuri versi Middle Earth dari Nusantara. Bahasa yang digunakan juga cenderung baku meskipun umpatan demi umpatan tumpah-tumpah di novel ini. Ini memunculkan kesan rapi tapi bebas, bengal tapi tetap taat aturan. Bahasa Indonesia di novel ini membuat kita rindu membaca novel berbahasa Indonesia seperti yang ada di novel ini #halah.

 Secara garis besar, alur besar novel ini adalah perjalanan Raden Mandasia ditemani Sungu Lembu dari Gilingwesi menuju Gerbang Agung. Tapi, di bab-bab awal kita akan diajak mundur ke belakang dalam cerita yang cukup panjang (sampai saya lupa sendiri kalau judulnya ada embel-embel 'pencuri daging sapi') namun penting. Mulai dari sejarah Gilingwesi, perjalanan hidup Mandasia, hingga bagaimana Sunggu Lembu bisa bepergian bersama si raden. Gilingwesi ini samar-samar kayak Majapahit atau Mataram Hindu karena aroma Jawa kunonya masih kental. Nah, Gerbang Agung ini yang agak bingung: apakah di Tiongkok, Yerusalem, atau Konstantinopel. Tapi, abaikan dulu setting latar dan waktu di novel ini karena perjalanannya sendiri itulah yang menarik. Bisa diibaratkan perjalanan mereka adalah perpaduan dari Odysey-nya Homer, epos Mahaharata, dan Lord of the Ring versi lokal. Kepiawaian Mas Yusi merangkai setting dan karakter sungguh luar biasa. 

Memang benar kalau sekali masuk ke dalam buku ini, susah untuk meletakkannya sebelum sampai halaman terakhir. Ada semacam hal-hal unggul dari lokal yang selama ini terlupakan berhasil disuguhkan kembali oleh mas Yusi dengan cara yang khas. Selain makanan-makanan unik khas Negeri Bawah Angin, juga ada eksotisme Nusantara kuno, romantisme berlayar dengan perahu, serta serunya perang tanding. Karakter-karakternya juga manusiawi, tidak ada yang benar-benar baik 100%. Kalimat-kalimat yang layak kutip suka bersembunyi di belantara paragrafnya yang agak rapat, sehingga sering mengejutkan pembaca yang tak siap. Satu kata setelah membaca novel ini adalah: KENYANG. Kenyang dalam arti yang baik, kenyang karena seperti diajak bertualang di negeri antah-berantah, kenyang dengan bahasa Indonesia yang ternyata indah, juga kenyang dengan twist asyik saat menutup buku ini. Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, buku yang isarankan kalau kamu mau membaca buku karya pengarang lokal yang tak biasa.




3 comments:

  1. tolong ya Mz. nama saya bukan Pertiwi tapi Pratiwi. kedjamnya dikau setela dua taon lebi bekerja sekantor tapi salah menyebut nama. hiks.
    ulasannya kurang panjang ih. tapi setuju banget. dalam BELANTARA paragraf bla bla bla... wkwkwkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngoahahahahaha sengaja kok Wik. Aku tahu nama lengkapmu, aku tahu rumahmu, aku tahu pekerjaanmu, aku tahu buku-buku bacaanmu. Yang belum kutahu hanyalah ....error 404

      Delete