Search This Blog

Tuesday, August 9, 2016

Jangan Meribetkan Masalah-Masalah Sepele di Kantor

Judul: Don't Sweat the Small Stuff at Work
Penulis: Ricard Carlson
Penerjemah:
Cetakan: 3, 2006
Penerbit: Gramedia

sumber: gramedia.com








Di antara deretan buku-buku motivasi yang turut membentuk diri saya yang sekarang adalah seri Don’t Sweat Small Stuffs atau Jangan Meributkan Hal-Hal Kecil karya Ricard Carlson. Buku utama ini karena disukai kemudian berkembang menjadi seri-seri dengan segmen khusus namun tetap dengan fokus utamanya: tidak meribetkan hal-hal kecil. Saya lebih dulu membaca yang Don’t Sweat Small Stuffs for Men dan Don’t Sweat Small Stuffs at Work sebelum bisa beli buku utamanya. Biasalah, nunggu diskonan wkwkwk. Yang saya dapati, anak-anak dari seri Don’t Sweat Small Stuffs ini malah lebih lengkap dan rinci, dan menurut saya seri-seri lanjutan inilah yang lebih banyak mempengaruhi saya secara positif. Meskipun fokusnya khusus ke kantor dan juga seputar masalah kehidupan pria, pembaca juga bisa belajar banyak tentang tidak meributkan hal-hal kecil di seri-seri ini. 
 
                Kantor sudah menjadi bagian dari kehidupan orang modern. Tidak bisa dipungkiri, meskipun kantor telah lekat dengan pekerjaan dan sesuatu yang ‘membebani hari,’ di tempat inilah sebagian kita menghabiskan hampir separuh harinya. Minimal 8 jam kita ada di dalamnya, bekerja dan membanting tulang (dan pikiran), bersosialisasi, chattingan, nonton Youtube, mengunduh drama Korea terbaru, … eh STOP! Pokoknya, betapa pun tidak sukanya kita pada yang namanya kantor, tetap saja tempat itu punya andil dalam membentuk kita yang sekarang dan kita di masa depan. Karena itulah—kata Ricard Carlson—sungguh rugi jika ada orang yang ‘tersiksa’ di kantor hanya karena meributkan hal-hal sepele yang seharusnya kita bisa berdamai dengannya.

                Seri Don’t Sweat Small Stuffs memang ditulis dengan ide dasar ‘jangan meribetkan hal-hal kecil demi manfaat yang lebih besar.’ Di buku ini pun demikian. Berada di kantor selama hampir seharian penuh tentu saja berpotensi memunculkan stres, baik karena tekanan pekerjaan, tugas yang menumpuk, rekan sekerja yang bawel, hingga jalanan macet yang siap menghadang setiap karyawan saat pergi-pulang kantor.  Lewat buku ini, penulis kemudian menyarankan kita untuk ‘menerima saja hal-hal yang memang tidak bisa kita tolak.’ Kedengarannya seperti sikap pasrah, sebuah sikap yang dihindari banget di abad ke-21 ini. Pasrah, nggak berbuat apa-apa, hanya bisa diam dan merana; inikah yang hendak diajarkan buku ini? Tidak sama sekali.

                Carlson menyorot pada apa-apa yang tidak bisa kita hindari, maka terimalah. Karena ketika kita menolaknya, masalah-masalah itu tetap saja datang. Begitu pula ketika kita menerimanya, masalah-masalah itu juga tetap datang. Logikanya begini, pulang kantor pasti macet, jadi semarah-marah apa pun kita, jalanan tetap saja macet. Carlson seperti memilihkan satu alternatif yang lumayan baik dari sesuatu yang sudah mentok. Ketimbang marah-marah di mobil karena macet, kenapa tidak ‘menikmati macet’ dengan mendengarkan musik di mobil, atau berbincang dengan rekan? Atau, kenapa tidak pulang lebih lambat dengan pergi ke pusat kebugaran atau ke toko buku, dan menunggu di sana sampai jam macet berlalu? Waktu kita memang sama-sama habis karena macet, tapi ada pilihan bagaimana untuk menghabiskan waktu macet itu. Dan, tidak seperti macet yang tidak bisa kita hindari, kita masih bisa memilih cara untuk menghabiskan waktu macet ini.

                Macet ini hanyalah salah satu bab yang dibahas di buku ini. Lebih banyak bab-bab lain yang telah membuka pandangan saya untuk menerima dan menjalani saja hal-hal yang memang kita tidak bisa menolaknya, kemudian—kalau bisa—berusaha menikmatinya. Penerimaan bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bisa kita hindari ini merupakan langkah awal agar hidup tidak kaku. Seperti pohon bambu, yang ikut meliuk ke kiri dan ke kanan saat kena angin besar, sehingga tidak patah; maka begitu juga sebaiknya manusia. Jika memang bisa, kita sekuat tenaga dan kemampuan akan menghindari masalah-masalah yang akan merepotkan kita. Tetapi, ada kalanya, ketika masalah-masalah kecil itu memang harus ada, maka terima dan jalani saja dulu. Karena menolak atau menerimanya, beberapa masalah itu akan tetap datang menghampiri.

                Buku ini juga mengajarkan kita untuk tidak meributkan hal-hal sepele. Kedengarannya seperti mengajak kita untuk hanya mengalah—padahal mengalah adalah tanda orang kalah. Benarkah demikian? Dengan pandangan yang baru dan lebih meyakinkan, Carlson menghadirkan kepada kita bahwa mengalah tidak selamanya kalah. Kadang, mengalah adalah kemenangan itu sendiri. Kadang, mengalah diperlukan demi kesehatan kita sendiri. Kadang, lebih baik mengalah untuk hal kecil ketimbang menang sendiri tapi mengorbankan hal yang lebih besar—seperti persahabatan. Juga tentang kebahagiaan, Carlson menyebut bahwa tidak ada yang namanya jalan menuju kebahagiaan, yang ada hanyalah bagaimana untuk menjalani hidup dengan bahagia, untuk menghabiskan kehidupan dengan rasa bahagia tak peduli apa pun hal berat yang menanti di depan. Hidup adalah takdir, tetapi bagaimana kita menjalaninya (dengan merasa bahagia) adalah pilihan.

No comments:

Post a Comment