Search This Blog

Thursday, May 12, 2016

Cerita Calonarang

Judul: Cerita Calonarang
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Tebal: 94 hlm
Cetakan: Maret 2009
Penerbit: Lentera Dipantara


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh73kYxwyh0k9hINmuQlHAmCaq0ZhTnIgLDhFTBdwO98zHspXMlwrEII0mfWpZrygJpEnUIEdZGpRQVWde6YzWBv6Gvp7BM8-v5KQa-d_Vmc-mnTZXUMJICcid8dwP7pdpapHsvLYvfOrs/s1600/Calon+Arang+Pramoedya.jpg
blogbukuhelvry.blogspot.com


“Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara.” (hal.21)

Jika mengingat nama besar Pram dengan buku-buku 'beratnya', saya tidak menyangka kalau beliau juga pernah menulis buku anak. Buku Cerita Calonarang ini--sebagaimana dijelaskan di bagian pengantar penerbit--awalnya memang ditujukan sebagai buku anak. Meski demikian, nuansa anak-anak sepertinya sangat minim di buku ini, kecuali dari segi tipisnya. Bahkan, buku ini sempat memantik protes dari kalangan feminis yang menuduh penulis merendahkan kaum wanita karena menempatkan Caloranang--yang seorang janda--sebagai si tokoh jahat dalam cerita ini. Agak kejam memang si Calonarang ini digambarkan di buku ini. Konon, ia dan murid-muridnya hanya berkeramas dengan menggunakan darah manusia sehingga rambut mereka menjadi gimbal dan memerah. Masih banyak lagi adegan-adegan lumayan berdarah-darah di buku ini sehingga sepertinya buku anak ini lebih baik dibaca anak-anak usia SMP ke atas.

Kisah Calonarang, janda sekaligus dukun teluh sakti dari Dusun Girah, merupakan salah satu dongeng terkenal dari era Jawa Hindu, tepatnya ditulis tahun 1462 Saka. Dongeng ini telah beberapa kali dituliskan ulang dalam bentuk buku setelah sebelumnya dituturkan dari mulut ke mulut entah berapa ribu kali. Penulisan buku ini oleh Pram pada tahun 1950-an diakuinya sendiri sebagai bentuk upaya melestarikan dan mendokumentasikan khazanah cerita-cerita asli Nusantara agar tidak punah. Cerita lisan semata bisa hilang, bahkan berubah seiring berjalannya waktu dan semakin seringnya cerita itu dituturkan. Namun, dengan menuliskannya, cerita itu menjadi terdokumentasi secara lebih rapi sehingga pembaca masih bisa mengakses dan membacanya kelak ratusan atau ribuan tahun kemudian.

Konon, Kerajaan Daha yang makmur sentosa tiba-tiba dilanda wabah penyakit mengerikan yang tidak seorang tabib pun mampu menemukan obatnya.  Wabah ini bersumber dari teluh Calonarang, seorang pendeta yang memuja Dewi Durga, Dewi Maut dan Perusak dalam mitologi Hindu. Dengan ilmunya, Calonarang mampu menghasilkan sihir berupa teluh yang mampu menebarkan wabah penyakit maut kepada seluruh rakyat. Para pendeta sudah menghaturkan puja puji kepada dewata untuk memohon perlindungan. Namun, mereka mendapati bahwa Calonarang sendiri adalah seorang pendeta berilmu tinggi. Ilmu para pendeta itu masih kalah jauh dari Calonarang sehingga wabah penyakit itu tetap merajalela di kerajaan. Wanita itu menebarkah wabah karena sakit hati mendapati tidak ada seorang pemuda pun yang mau menikahi anak gadis semata wayang yang sangat ia sayangi.

Melihat rakyatnya menderita, raja Airlangga pun memohon kepada Dewata jalan penyelesaian atas masalah ini. Ilham turun kepadanya dalam bentuk wisikan tentang seorang empu yang mampu mengalahkan tindak jahat Calonarang, Empu Baradah namanya. Seperti kisah-kisah di buku anak, langsung terlihat jelas siapa yang baik dan siapa yang jahat. Calonarang sebagai si penjahat yang nasibnya sudah jelas, bahwa dia harus kalah di ujung cerita di tangan sang empu budiman pilihan dewata. Secara alur, terutama bagi banyak pembaca yang telah membaca atau mendengar versi kisah ini, ending buku ini tentu saja sangat mudah ditebak. Lebih lagi, banyak hal di buku ini yang terlalu ajaib untuk dibaca pembaca dewasa, misalnya tentang kelebihan Empu Baradah yang serupa dewa. Tapi, sekali lagi, buku ini memang ditujukan sebagai buku anak, jadi hal-hal seperti itu sah-sah saja.

Salah satu keunikan dan keistimewaan buku ini mungkin bukan pada ceritanya, tapi pada cara si penulis bercerita. Inti ceritanya sendiri sederhana, bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan. Namun, kadang, cara bercerita si penulis seringkali lebih istimewa dari apa yang dikisahkannya. Pram mampu membawa pembaca bernostalgia kembali ke masa-masa tempoe doloe. Susunan kalimat dan diksinya antik, membuat proses pembacaan novel ini terasa penuh kenangan, mengingatkan kita kembali pada Nusantara yang asli dan asri dengan segala kekayaan, kebijaksanaan, serta keramahan rakyatnya.  

"Negara Daha termasyhur aman. Tak ada kejahatan terjadi, karena tiap orang hidup makmur, cukup makan dan cukup pakaian. Karena makmurnya itu makanan penduduk teratur, dan karena itu pula tak ada penyakit berjangkit." (hal.9) 

No comments:

Post a Comment