Search This Blog

Thursday, March 31, 2016

Agama apa yang Pantas untuk Pohon-Pohon?

Judul: Agama apa yang Pantas untuk Pohon-Pohon?
Penulis: Eko Triyono
Penyunting: Muhajjah Saratini
Ilustrasi dan Sampul: AMo
Tebal: 260 hlm
Cetakan: 1, Maret 2016
Penerbit: DIVA Press




Terus terang, saya sangat bingung mengulas kumcer ini. Ada sesuatu yang indah namun berat dalam buku ini. Keindahan yang tampaknya berat untuk dituliskan ulang karena (mungkin) darah sastrawi saya yang belum bisa sampai ke taraf itu. Jadi, ulasan ini bakal bolong-bolong dan mungkin tidak nyambung, tapi demi @BBI_2011 saya berusaha huhuuhu. Kumcer 'Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon' adalah kumcer kedua #SastraPerjuangan karya penulis lokal setelah 'Reruntuhan Musim Dingin.' Cerpen-cerpen @ekolalutriono ini dipilih untuk diterbitkan karena keunikannya, jelajah imajinasinya yang sangat menakjubkan; mulai dari tema hingga konflik, dari yang sederhana hingga yang pelik.

"Apa sih menariknya hujan yang jernih, tanpa rasa, dan tanpa warna dibandingkan dengan aku yang membawa kopi hangat dengan pahit yang tepat."(hlm. 187)

Dokumentasi redaksi DIVA Press

Keunggulan penulis muda yang satu almamater dengan saya ini (halah) bukan semata karena kerapnya karya-karya menghiasi media; tapi juga karena "kenyelenehan" penulis dalam gaya estetiknya. Maksudnya seperti ini: cerita-cerita pendek Eko Triyono cenderung nyeleneh, tapi nyeleneh yang unik. Ada keindahan di balik kenyelenehannya. Tim kurator #SastraPerjuangan memilih Eko Triyono karena kualitas karyanya yang 'berbeda' dari kebanyakan, tapi berbeda yang estetis. Sastrawan @damhurimuhammad menyebut cerpen-cerpen Eko berupaya memberi nyawa pada sejumlah entitas yang selama ini tidak dianggap hidup.



"Tapi hati mirip lemari es, mengawetkan banyak struktur. Penyimpan kenangan yang kadang menyedihkan." (hlm. 155)

 



Ide dan tema yang diangkat Eko dalam cerpen-cerpennya seringkali sederhana, namun tidak menjadi sederhana karena pendekatan si penulis. Tim kurator #SastraPerjuangan menyebutnya sebagai "differance," yg mendekati hal-hal sederhana dengan cara yang tidak sederhana. Kita tahu betapa pohon adalah mahkluk yang hidup tapi diam, tak berakal; kemudian Eko menyanggah ide umum ini dengan memberikan mereka agama. Dalam pengantar di buku ini, kurator Tia Setiadi mengilustrasikan bahasa cerpen Eko adalah ombak, dan bukan riak.

Dokumentasi redaksi DIVA Press

Sebelum kau bertanya, "Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?" hujan lebih dahulu berwarna tembaga." (hlm. 250)

Dari segi gaya cerita, cerpen-cerpen Eko menjadi cermin dari menguatnya eksplorasi gaya bercerita penulis-penulis lokal. Cerpen-cerpen Eko sekaligus menunjukkan keberuntungan generasi Internet yang diuntungkan oleh teknologi dalam berkarya. Kemudahan teknologi inilah yg menyebabkan penulis kekinian mampu mengakses karya-karya pengarang dunia, makin beragam dan luas pandangannya. Hasilnya, sebuah gaya bertutur yang kaya, berani, unik, beragam, dan nyeleneh (tapi nyeleneh yang indah); seperti cerpen-cerpen Eko ini.

Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau logam hina?
Aku mengangkat bahu.
Itu bukan soal.
(hlm 12)

Keunggulan lain dari cerpen-cerpen Eko adalah eksplorasi gaya bahasanya yang luas dan unik; mulai dari puitik hingga dialog. Eksplorasi ini menghasilkan nuansa keindahan-sastrawi yang tak biasa, unik, dan (meminjam istilah Tim Kurator) menyentak-nyentak.

 "Bukankah benar masa kecil adalah orang tua bagi manusia dewasa?" (hlm. 64)

Pilihan nyeleneh ini mungkin akan membingungkan pembaca awam karena ada kesan njlimet, rumit, dan sulit. Tapi, karya ini layak dicoba baca. Cerpen-cerpen ini sangat sadar dgn teknik dan bentuk; seluruh struktur bangunnya ditata rapi dan terencana sesuai keinginan penulisnya. Keindahan lain buku ini ada pada betapa beragamnya tema yang diangkat, mulai dari cinta hingga politik, kesepian hingga pendidikan dan mimpi. Tia Setiadi dalam pengantarnya di buku ini menyebut Eko sebagai prosais yang reflektif, yang sadar betul degan apa-apa yang ditulisnya. Ciri positf lain dari cerpen-cerpen ini adalah kelincahan si penulis dalam menyusupkan potongan-potongan karya lain dalam karyanya. Akan kita temui di buku ini aroma-aroma karya Goenawan Mohamad, Italo Calvino, hingga legenda Tiongkok dalam bentuk tersembunyi. Corak khas ini adalah bukti keberhasilan penulis dalam mencari dan menyerap berbagai gaya dan budaya sehingga menghasilkan benak yang kaya. Pembaca bisa melihat bagaimana penulis menampilkan cerita dalam cerita (seperti dalam 1001 malam), pembauran cerita dengan mimpi yang absurd.


Dokumentasi redaksi DIVA Press


Ada juga teknik 'Gunung Es Cerita' yang pertama disebut Hemingway sebagai teknik memunculkan 1/8 bagian dari keseluruhan. Teknik ini hanya menghadirkan permukaan kisahnya kepada pembaca seraya menyembunyikan sebagian besar kisahnya. Juga, Akan kita temukan di buku ini, cerita-cerita yang tampaknya entah. Tetapi menjelang ending, jawaban sontak muncul dan membuat kita bersorak. Inilah teknik anastrophic, teknik ketika penulis menyibak jawaban atas teka-teki cerita menjelang akhir kisah. Penasaran kan sama aneka teknik unik dan nyeleneh yang digunakan Eko Triyono? Mari dibaca di buku #SastraPerjuangan ini. Sebagai tambahan untuk diksi dan ceritanya yang wah, buku ini juga dihiasi ilustrasi-ilustrasi yang sangat menawan.



Ulasan ini dalam rangka ikut #BBILagiBaca bulan Maret 2016
Ini salah satu capture tweet selama pembacaan. (^-^)

12 comments:

  1. Wih, mas Dion bacaannya sastra berat begini ya. Aku jadi minder. Btw, itu yang ditampilkan di blog cuma satu tweet doang?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hooh Fii, aku cuma ngetwit dua kali ngoahahaha

      Delete
  2. Ini ilustratornya siapa Dion? Aku pernah beli postcard yang gambar2nya mirip banget sama ilustrasi buku ini, jangan2 orangnya sama XD btw reviewnya keren lhooo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ilustratornya Amalia, Mbak. Sebelum kerja di DIVA memang sempat jual-jual karya grafis gitu. Mungkin orangnya sama.

      Delete
  3. Dari judulnya sudah absurd ya mas. Feeling-ku ini lebih absurd dr Reruntuhan Musim Dingin. Tapi entahlah. Yang jelas ilustrasinya sureal semua, keren..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, ini setengah kali lebih absurd dibanding Sungging Raga, tapi secara tema lebih bervariasi ini

      Delete
  4. Diva sekarang ngelirik sastra ya, kang? Pingin nyoba sekali-kali :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Sulis, menerbitkan kembali karya-karya sastra yang sudah susah di cari di pasaran, atau yang masih terserak dalam lembaran koran Minggu untuk kemudian didokumentasikan dalam wujud buku.

      Delete
  5. Saya baru pernah baca satu cerpen Eko, yaitu yg jadi judul kumcer ini, dan langsung terperangah *lebay*. Sebenarnya, kmrn waktu dpt jatah buku resensor Diva bulan Maret saya berharap dpt ini, tp ternyata nggak. Jiahahaha *sedih*
    Resensinya bagus, Mas, lengkap dan berisi :D

    ReplyDelete
  6. Hoalahhh.... dikau tu ngulas ini toh di acara baca bareng kemaren. Ahahahapik ulasannyah... >_<

    ReplyDelete