Pengumuman Pemenang Blogtour dan Giveaway 'Garnish'

"Seperti juga lukisan dan masakan, yang kau butuhkan hanya menyiapkan peralatan dan bahan-bahan terbaik, kemudian berusaha melukis dan memasak dengan cara terbaik. Seperti apa hasilnya, sama sekali bukan urusanmu. Kau sudah melakukan yang terbaik. Itu lebih dari cukup." (hlm 218)

Novel ini dibuka dengan moment unyu-unyu khas sinetron tapi dibangun dengan alur yang realitis, mengingatkan kita akan kehidupan di masa muda yang terbalut semangat idealisme namun sering kali harus membentur pada kerasnya kenyataan. Seperti kehidupan, Garnish akan mengajak pembaca untuk meraih impian sambil berupaya mencoba berdamai dengan realitas—karena jarang sekali kedua hal ini bisa selalu seiring sejalan. Garnish berkisah tentang dua anak muda, Buni dan Anin, dalam upaya mereka mewujudkan passion yang sayangnya ditentang oleh orang tua masing-masing. Buni, sang chef andal yang jago memasak namun selalu ditentang oleh mamanya yang ingin putra semata wayangnya jadi ekonom. Juga Anin, si pelukis muda berbakat yang dilarang melukis oleh sang ayah yang berpendapat melukis adalah kegiatan yang kotor dan tak berguna. 

"Pada intinya, kita, aku dan kau, harus terus berjuang. Karena manusia punya banyak sekali alasan untuk berhenti dari mimpi yang dikejarnya." (hlm. 196)

Memang, rasanya naïf kalau di abad internet ini masih saja ada orang tua yang terlampau ketat mengatur impian anak-anak mereka. Padahal, baik Buni dan Anin sudah tergolong dewasa (Buni sudah lulus kuliah sementara Anin sudah di semester akhir). Tapi, di luar sana, tidak bisa dipungkiri, masih sering terjadi seperti apa yang dialami oleh Buni dan Anin ini. Realitasnya, ketika sebuah passion dirasa tidak tergolong dalam pekerjaan lahan basah, maka biasanya selalu ada tentangan atau penolakan. Ayah Buni yang seorang ekonom mapan dan terkenal, juga papanya Anin yang sukses dengan usahanya. Kedua orang tua itu tentu menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, yakni dengan memilihkan untuk mereka apa yang menurut para orang tua itu terbaik bagi anak-anaknya (meskipun belum tentu pilihan itu yang terbaik menurut si anak). 

"Yang jelas, tak ada satu pun orang tua di dunia ini yang tidak ingin anaknya bahagia." (hlm. 167)

Alih-alih memikirkan resep untuk mengairahkan bisnis yang lesu, Buni lebih tertarik memikirkan resep minuman berbahan kayu manis kreasinya. Begitu juga dengan Anin, yang lebih suka hidup dalam dunia lukisan ketimbang ikut mewarnai dan meramaikan bisnis ayahnya. Keduanya, pada titik tertentu, akhirnya merasa marah kepada orang tua masing-masing yang dirasa kurang bisa memahami passion mereka. Dan, mereka pun melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh anak-anak muda labil: lari dari rumah. Dua anak muda, dengan dua passion yang berbeda dipertemukan dalam kondisi belepotan: Buni dengan saus dan bumbu di tubuhnya serta Anin dengan aneka warna cat air. Pertemuan lucu yang kemudian menjadi awal dari persahabatan keduanya.

"... hidup adalah perjalanan yang harus terus ditempuh, yang harus terus dijalani." (hlm. 106)

Selanjutanya, alurnya mungkin sudah bisa ditebak. Cerita akan mengalir bak sinetron FTV: Buni dan Anin saling bekerja sama untuk membuktikan kepada orang tua mereka bahwa mereka juga bisa sukses dengan passion kedua. Buni dan Anin kemudian mendirikan Garnish sebagai pengejawantahan impian mereka sekaligus sebagai pembuktian bahwa setiap impian dan hobi yang ditekuni dengan baik akan selalu memberikan hasil. Kisahnya klise? Mungkin akan klise kalau Garnish hanya berhenti sampai di situ. Tapi, Garnish menawarkan cerita yang berbeda: versi realistis dari kisah-kisah manis ala FTV. Selain mengangkat pentingnya perjuangan meraih impian, Garnish juga menyajikan kepada pembaca tentang kekuatan dari kenyataan yang seringkali terbentur dengan indahnya impian. 

"... di dunia ini ada jutaan cara untuk membuat seseorang jadi berguna." (hlm. 194)

Seidealis apa pun sebuah impian, tetap saja benturan dengan kenyataan adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang sepertinya hendak diusung oleh penulis melalui Garnish. Ada kalanya, setiap mimpi harus diperjuangkan. Di kali lain, ada saatnya ketika mimpi harus diajak berdamai dengan kenyataan. Karena, kebahagiaan sejati bukan ketika kita menikmatinya sendiri. Garnish seperti menjadi bukti betapa kebahagiaan adalah ketika impian kita mampu membahagiakan diri dan juga orang-orang yang kita sayangi. Selalu ada harga untuk setiap impian. Namun, seperti setiap kali kita hendak membeli barang, selalu ada peluang untuk menegosiasikan harganya. Inilah yang dipaparkan dengan manis oleh penulis lewat Garnish.

"Jika makanan dan emosi bisa disatukan menjadi semacam menu baru, buatlah LIMA nama menu baru itu. Misalnya: Sate ayam keindahan, sambal kerisauan, gado-gado godaan hati, bakso tusuk kesetiaan, dan bebek ingat mantan."

Siapakah yang beruntung sebagai pemenang blogtour ini? Saya menggunakan jasa random.org karena jujur saya tidak bisa memilih nama-nama menu yang paling asyik--karena semuanya asyik dan unik. Setelah diundi, inilah dia pemenangnya:

Nama: Amirotun Nafisah
Domisili:Bintan, Kepulauan Riau
Twitter/Facebook:@namirotun1
Link share:https://twitter.com/namirotun1/status/717186689609834496
Jawaban kamu:
1. Tahu Gejrot Lubuk Hati
2. Ayam Kosek Ga Bikin Nyesek
3. Pempek Yang Dirindukan
4. Rendang Cinta Balado
5. Otak-Otak Juga Punya Hati
6. Rengginang Kenangan Masa Lalu
7. Lemper Anti Baper

Selamat untuk pemenang, saya akan langsung menghubungi kamu lewat twitter. Teman-teman lainnya yang belum beruntung masih bisa ikutan kuis seru ini di 3 blog lain sepanjang April 2016 ini. Pekan kedua blogtournya sudah dimulai di sini.