Search This Blog

Thursday, February 11, 2016

Aku Bisa Nulis Fiksi

Judul: Aku Bisa Nulis Fiksi
Penyusun: Joni Ariadinata
Penyunting: Addin Negara
Tebal:456 hlm
Cetakan:1, Januari 2016
Penerbit: DIVA Press



“Maka, di mana pun tempatnya, menulis akan senantiasa bergandengan tangan erat dengan membaca. Mustahil bisa menulis tanpa kesukaan membaca.” (hlm. 41)

Buku tebal dengan berbagai pengetahuan istimewa tentang menulis fiksi (terutama cerpen) di dalamnya. Pembahasannya simpel, tidak kebanyakan teori, dan nyata benar ditulis oleh seorang pakar di bidangnya. Mas Joni mengulas beragam teori sastra langsung dengan menghadirkan contoh-contohnya sehingga membaca buku ini tidak membosankan. Terutama, karena gaya penulisan mas Joni yang seperti sedang mengajak para pembaca (muda) untuk mengobrolkan sehingga membaca buku tebal ini nyaman sekali. Walau bertindak sebagai guru menulis, sama sekali tidak ada kesan menggurui. Yang ada, saya terus-terusan manggut-manggut menyimak pemaparan penulis serta menempelkan sticky notes untuk menandai bagian-bagian penting dalam buku ini (yang ternyata banyak sekali). Saya juga baru tahu, ternyata ada cerita pendek yang bisa ‘bernyanyi’ dari buku ini—juga bagaimana cara menulis sebuah cerita pendek yang bernyanyi. Keren!


“Karya sastra memberikan sarana yang komplet—yang tidak dimiliki oleh seni lain—untuk lebih memahami diri kita, lingkungan kita, dan mengintegrasikannya ke dalam wawasan berpikir dari setiap pembacanya.” (hlm. 274)

Ini bisa disebut buku nonfiksi rasa fiksi, karena membacanya laksana kita sedang membaca kumpulan cerpen, lengkap dengan ulasan dan analisisnya. Dan, dari ulasan ini, pembaca akan mendapatkan banyak sekali pelajaran tentang menulis cerpen (dan juga fiksi, bahkan tentang menulis secara umum). Banyak hal-hal umum tentang menulis yang sebenarnya sudha kita ketahui, tapi sering kali kita melupakannya, diulas di sini, tentunya dengan gaya khas Mas Joni yang berakrab-akrab dengan pembaca. Sama sekali tidak seperti senior (padahal beliau adalah redaktur Majalah Sastra Horison nan termasyhur itu), malah kayak seorang kakak yang tengah berbincang dengan adiknya. Kritik adalah baik, begitu katanya, karena setiap penulis memiliki kewajiban untuk terus belajar. Dan kritik adalah salah satu pembelajaran terbaik yang bisa didapatkan penulis.

“Sebuah tulisan bagus memang tidak lahir dari proses yang sederhana. Kadang kala, ia harus melewati sekian banyak kegagalan demi kegagalan.” (hlm. 209)

Mas Joni menggunakan metode mengulas – kritikan/timbangan dalam buku ini. Dalam setiap babnya, beliau mengambil satu contoh cerpen utuh untuk dibaca bersama dan kemudian dibahas kelebihan atau kekurangannya. Setiap cerpen dipilih sesuai dengan keterikatannya pada tema yang tengah dibahas. Misalnya, saat mengulas tentang unsur lokal, penulis mencuplik satu cerpen tentang pesantren sehingga pembaca bisa langsung mengetahui bagaimana penerapan terbaik dari teori ini. Begitu pula saat membahas tentang pentingnya penulis untuk tidak malas membaca, ditunjukkannya contoh cerpen yang digarap dengan riset yang kurang kuat sehingga hasilnya kurang memuaskan. Sebuah cerpen bagus dari sisi teknik, tetapi dangkal dari isi muatan. Bahwa bakat menulis semata tidaklah cukup untuk menulis, harus disempurnakan dengan banyak membaca dan juga mengamati.

“Maka marilah kita bertanggung jawab untuk itu, dengan senantiasa meningkatkan bobot tulisan kita lewat membaca, membaca, membaca. Setelah itu, barulah kita berproses untuk menulis, menulis, dan menulis.” (hlm. 15)

Teknik pemaparan dengan contoh langsung seperti ini memberikan dua keuntungan: pertama, pembaca tidak bosan karena terus dijejali teori, dan kedua , pembaca juga terhibur dengan ‘bonus-bonus’ cerpen di dalamnya. Membaca buku ini seperti membaca kumpulan cerpen dengan bonus teori-teori kepenulisan (atau sebaliknya, membaca teori-teori kepenulisan dengan bonus kumcer-kumcer ciamik). Jadi, sekali membaca, dua-tiga timbunan terlampaui: bisa baca cerpen plus dapat banyak ilmu kepenulisan. Kenyang pokoknya.

“Sastra membuat kita melihat apa yang sesungguhnya sudah akrab da nada di depan kita sehari-hari, serta mengungkapkan kembali apa yang secara konseptual dan nyata, yang sebenarnya sudah kita ketahui dengan pasti.” (Max Eastman)  

Dalam mengulas cerpen-cerpen di buku ini, Mas Joni adalah mentor yang lugas dan tidak basa-basi. Cerpen yang bagus dia bilang bagus, yang kurang dia bilang kurang. Sama sekali tidak ada kesan untuk bersikap subjektif dalam menilai karya karena kritik itu baik, kata beliau. Tentu saja, penulis tidak begitu hanya bilang cerpen ini bagus dan cerpen itu jelek tanpa alasan. Dalam ulasannya, pembaca akan diajak manggut-manggut saat mas Joni memaparkan mengapa cerpen ini kering, mengapa cerpen ini dangkal, mengapa cerpen ini jadi rusak hanya karena ada satu fakta yang terlewat. Entah sudah berapa kali saya salah menebak bagian mana yang ‘keliru’ (lebih tepatnya kurang) dari sebuah cerpen yang tengah dibahas dalam suatu bab. Ilmu baru, pengetahuan baru, yang bahkan tidak memaksa harus dihafalkan di kepala karena Mas Joni memaparkannya dengan bahasa yang nyaman. Tapi, tetap saja saya tebarkan sticky notes dalam ratusan halaman buku ini.

“Sebuah cerita pendek bagus (bermutu) membutuhkan banyak perangkat, di antaranya adalah kemampuan menguasai teknik dan mengetahui betul apa yang ditulis. Menguasai teknik didapat melalui latihan (latihan membaca banyak karya orang lain, kemudian latihan menulis, dan terus menulis tanpa jemu dan putus asa, sedangkan mengetahui apa yang ditulis didapat dari dua hal terpenting, yakni: (1) melihat, mendengar, merasakan dan (2) membaca ilmu. “ (hlm. 423)

Kalau ada yang perlu dikritisi, mungkin corak cerpen di buku ini yang kesemuanya bernuansa Islami. Jadi, seluruh cerpen di buku ini bisa dibilang adalah cerpen-cerpen bertema Islami sehingga bagi sejumlah pembaca mungkin akan terasa digurui. Mengapa bisa begitu? Setelah saya tanyakan ke editornya, ternyata buku ini merupakan terbitan ulang dari buku Aku Bisa Nulis Cerpen #1 dan #2 yang telah terlebih dulu diterbitkan oleh penerbit Gema Insani Press yang adalah penerbit buku-buku Islam. Karena itu, contoh-contoh cerpen yang dipakai pun menggunakan cerpen-cerpen karya penulis Islami. Ini agak membatasi sebenarnya, karena kita jadi tidak tahu bagaimana ulasan Mas Joni untuk cerpen-cerpen bertema nonagama, seperti misalnya cerpen-cerpen Kompas atau Sastra Perjuangan. Namun, terlepas dari itu, buku ini mengandung banyak sekali pengetahuan dan materi mengenai kepenulisan (terutama cerpen). Sangat direkomendasikan bagi kawan-kawan yang mulai belajar atau tengah menekuni dunia menulis.


1 comment:

  1. Buku ini sekarang bisa di beli di mana ya?
    Mohon infonya..thanks.

    ReplyDelete