Judul: Aku Bisa Nulis Fiksi
Penyusun: Joni Ariadinata
Penyunting: Addin Negara
Tebal:456 hlm
Cetakan:1, Januari 2016
Penerbit: DIVA Press
“Maka, di mana pun
tempatnya, menulis akan senantiasa bergandengan tangan erat dengan membaca.
Mustahil bisa menulis tanpa kesukaan membaca.” (hlm. 41)
Buku tebal dengan berbagai pengetahuan istimewa tentang
menulis fiksi (terutama cerpen) di dalamnya. Pembahasannya simpel, tidak
kebanyakan teori, dan nyata benar ditulis oleh seorang pakar di bidangnya. Mas
Joni mengulas beragam teori sastra langsung dengan menghadirkan
contoh-contohnya sehingga membaca buku ini tidak membosankan. Terutama, karena
gaya penulisan mas Joni yang seperti sedang mengajak para pembaca (muda) untuk
mengobrolkan sehingga membaca buku tebal ini nyaman sekali. Walau bertindak
sebagai guru menulis, sama sekali tidak ada kesan menggurui. Yang ada, saya
terus-terusan manggut-manggut menyimak pemaparan penulis serta menempelkan
sticky notes untuk menandai bagian-bagian penting dalam buku ini (yang ternyata
banyak sekali). Saya juga baru tahu, ternyata ada cerita pendek yang bisa ‘bernyanyi’
dari buku ini—juga bagaimana cara menulis sebuah cerita pendek yang bernyanyi.
Keren!
“Karya sastra
memberikan sarana yang komplet—yang tidak dimiliki oleh seni lain—untuk lebih
memahami diri kita, lingkungan kita, dan mengintegrasikannya ke dalam wawasan
berpikir dari setiap pembacanya.” (hlm. 274)
Ini bisa disebut buku nonfiksi rasa fiksi, karena membacanya
laksana kita sedang membaca kumpulan cerpen, lengkap dengan ulasan dan
analisisnya. Dan, dari ulasan ini, pembaca akan mendapatkan banyak sekali
pelajaran tentang menulis cerpen (dan juga fiksi, bahkan tentang menulis secara
umum). Banyak hal-hal umum tentang menulis yang sebenarnya sudha kita ketahui,
tapi sering kali kita melupakannya, diulas di sini, tentunya dengan gaya khas
Mas Joni yang berakrab-akrab dengan pembaca. Sama sekali tidak seperti senior
(padahal beliau adalah redaktur Majalah Sastra Horison nan termasyhur itu), malah kayak seorang kakak yang tengah
berbincang dengan adiknya. Kritik adalah baik, begitu katanya, karena setiap
penulis memiliki kewajiban untuk terus belajar. Dan kritik adalah salah satu
pembelajaran terbaik yang bisa didapatkan penulis.
“Sebuah tulisan bagus
memang tidak lahir dari proses yang sederhana. Kadang kala, ia harus melewati
sekian banyak kegagalan demi kegagalan.” (hlm. 209)
Mas Joni menggunakan metode mengulas – kritikan/timbangan
dalam buku ini. Dalam setiap babnya, beliau mengambil satu contoh cerpen utuh
untuk dibaca bersama dan kemudian dibahas kelebihan atau kekurangannya. Setiap
cerpen dipilih sesuai dengan keterikatannya pada tema yang tengah dibahas.
Misalnya, saat mengulas tentang unsur lokal, penulis mencuplik satu cerpen
tentang pesantren sehingga pembaca bisa langsung mengetahui bagaimana penerapan
terbaik dari teori ini. Begitu pula saat membahas tentang pentingnya penulis
untuk tidak malas membaca, ditunjukkannya contoh cerpen yang digarap dengan
riset yang kurang kuat sehingga hasilnya kurang memuaskan. Sebuah cerpen bagus
dari sisi teknik, tetapi dangkal dari isi muatan. Bahwa bakat menulis semata
tidaklah cukup untuk menulis, harus disempurnakan dengan banyak membaca dan
juga mengamati.
“Maka marilah kita
bertanggung jawab untuk itu, dengan senantiasa meningkatkan bobot tulisan kita
lewat membaca, membaca, membaca. Setelah itu, barulah kita berproses untuk
menulis, menulis, dan menulis.” (hlm. 15)
Teknik pemaparan dengan contoh langsung seperti ini
memberikan dua keuntungan: pertama, pembaca tidak bosan karena terus dijejali
teori, dan kedua , pembaca juga terhibur dengan ‘bonus-bonus’ cerpen di
dalamnya. Membaca buku ini seperti membaca kumpulan cerpen dengan bonus
teori-teori kepenulisan (atau sebaliknya, membaca teori-teori kepenulisan
dengan bonus kumcer-kumcer ciamik). Jadi, sekali membaca, dua-tiga timbunan
terlampaui: bisa baca cerpen plus dapat banyak ilmu kepenulisan. Kenyang
pokoknya.
“Sastra membuat kita
melihat apa yang sesungguhnya sudah akrab da nada di depan kita sehari-hari,
serta mengungkapkan kembali apa yang secara konseptual dan nyata, yang
sebenarnya sudah kita ketahui dengan pasti.” (Max Eastman)
Dalam mengulas cerpen-cerpen di buku ini, Mas Joni adalah
mentor yang lugas dan tidak basa-basi. Cerpen yang bagus dia bilang bagus, yang
kurang dia bilang kurang. Sama sekali tidak ada kesan untuk bersikap subjektif
dalam menilai karya karena kritik itu baik, kata beliau. Tentu saja, penulis
tidak begitu hanya bilang cerpen ini bagus dan cerpen itu jelek tanpa alasan. Dalam
ulasannya, pembaca akan diajak manggut-manggut saat mas Joni memaparkan mengapa
cerpen ini kering, mengapa cerpen ini dangkal, mengapa cerpen ini jadi rusak
hanya karena ada satu fakta yang terlewat. Entah sudah berapa kali saya salah
menebak bagian mana yang ‘keliru’ (lebih tepatnya kurang) dari sebuah cerpen
yang tengah dibahas dalam suatu bab. Ilmu baru, pengetahuan baru, yang bahkan
tidak memaksa harus dihafalkan di kepala karena Mas Joni memaparkannya dengan
bahasa yang nyaman. Tapi, tetap saja saya tebarkan sticky notes dalam ratusan halaman buku ini.
“Sebuah cerita pendek
bagus (bermutu) membutuhkan banyak perangkat, di antaranya adalah kemampuan
menguasai teknik dan mengetahui betul apa yang ditulis. Menguasai teknik
didapat melalui latihan (latihan membaca banyak karya orang lain, kemudian
latihan menulis, dan terus menulis tanpa jemu dan putus asa, sedangkan
mengetahui apa yang ditulis didapat dari dua hal terpenting, yakni: (1) melihat,
mendengar, merasakan dan (2) membaca ilmu. “ (hlm. 423)
Kalau ada yang perlu dikritisi, mungkin corak cerpen di buku
ini yang kesemuanya bernuansa Islami. Jadi, seluruh cerpen di buku ini bisa
dibilang adalah cerpen-cerpen bertema Islami sehingga bagi sejumlah pembaca
mungkin akan terasa digurui. Mengapa bisa begitu? Setelah saya tanyakan ke
editornya, ternyata buku ini merupakan terbitan ulang dari buku Aku Bisa Nulis Cerpen #1 dan #2 yang
telah terlebih dulu diterbitkan oleh penerbit Gema Insani Press yang adalah
penerbit buku-buku Islam. Karena itu, contoh-contoh cerpen yang dipakai pun
menggunakan cerpen-cerpen karya penulis Islami. Ini agak membatasi sebenarnya,
karena kita jadi tidak tahu bagaimana ulasan Mas Joni untuk cerpen-cerpen
bertema nonagama, seperti misalnya cerpen-cerpen Kompas atau Sastra Perjuangan. Namun, terlepas dari itu, buku ini
mengandung banyak sekali pengetahuan dan materi mengenai kepenulisan (terutama
cerpen). Sangat direkomendasikan bagi kawan-kawan yang mulai belajar atau
tengah menekuni dunia menulis.
Buku ini sekarang bisa di beli di mana ya?
ReplyDeleteMohon infonya..thanks.