Judul: Tiga Sandera Terakhir
Pengarang: Bhahmanto Anindito
Penyunting: Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Sampul: Oesman
Cetakan:1, Mei 2015
Tebal: 310 hlm
Penerbit: Noura Books
Pengarang: Bhahmanto Anindito
Penyunting: Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Sampul: Oesman
Cetakan:1, Mei 2015
Tebal: 310 hlm
Penerbit: Noura Books
Novel Tiga Sandera Terakhir sempat heboh wira-wiri
di beranda dan linimasa saya beberapa bulan lalu. Memang luar biasa pengaruh
media social saat ini dalam mempromosikan sebuah buku. Tanpa adanya ulasan
positif buku ini di blog dan goodreads, mungkin banyak yang akan melewatkan
novel seru ini. Saya termasuk di antaranya. Sampul yang hitam berlatar halaman
surat kabar dan blurb yang lebih
mirip novel politik sempat menipu saya, mengira novel ini bakalan terlalu
banyak intrik dan mirip konflik. Ternyata, tidak. Ulasan dari sejumlah
teman-teman blogger buku akhirnya meracuni saya untuk menginginkan membaca buku
ini. Bahkan, membaca kisahnya pun sama cepatnya dengan alur adegan yang
dibangun dalam buku ini. Bak buk dor!, lalu pembaca pun ikut terseret dalam
cerita. Sebegitu serunya kah buku ini?
Banyaknya
aksi spektakuler ala dunia militerlah yang menurut saya menjadikekuatan
sekaligus pembeda dari novel ini. Penulis menggunakan setting militer yang
mungkin masih sangat jarang disentuh oleh penulis-penulis fiksi Indonesia. Dua
jempol sangat layak diacungkan kepada sang penulis yang (saya yakin) pasti
telah melakukan berbagai riset demi menulis sebuah kisah apik tentang pasukan
baret merah ini. Mulai dari jenis-jenis senjata alutista, rantai komando,
sumpah prajurit, dan masih banyak lagi, pembaca seperti diajak memasuki dunia
kemiliteran yang dikenal kaku dan tertutup itu. Penjelasannya pun tidak saklek dan
asal rekat-tempel, tapi ditempatkan di sela bercerita sehingga tidak
mengesankan sikap sok tau.
Hal
lain yang menarik dari buku ini adalah setting lokasinya nan eksotis, yakni di
bumi Papua (dulu dikenal dengan Irian jaya). Begitu banyak adat istiadat Papua yang bisa kita pelajari lewat membaca buku ini, seperti upacara bakar batu, honai, dan mumifikasi ala Papua. Selain itu, ada juga sedikit politiknya. Tanah mutiara hitam yang selama
ini lekat dengan OPM dan Freeport ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa,
tetapi rakyatnya sendiri malah hidup tertinggal bila dibandingkan
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hal inilah yang menurut OPM atau Organisasi Papua
Merdeka menjadi alasan mereka untuk memperjuangkan tanah Papua yang merdeka.
Sebagai pembaca, kita diajak untuk memandang konflik di Papua dari dua sisi: di
satu sisi kita harus berani untuk memahami alasan mereka untuk menuntut
kemerdekaan, di sisi lain kita terbuncahkan
oleh perasaan nasionalisme dalam mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI.
“Semua ini sudah dimulai dari masa penjajahan Belanda. Dan penyelesaian
status Papua ternyata masih berlarut-larut setelah Indonesia merdeka. Tidak
selesai-selesai sampai 1961, sampai Indonesia-Belanda terlibat perang terbuka.”
(hlm. 36)
Semua
berawal dari sebuah peristiwa penyanderaan terhadap lima warga sipil yang
tengah berlibur di Papua oleh sekelompok orang bersenjata yang mengaku sebagai
OPM. Tiga di antara lima sandera itu adalah warga asing sehingga Pemerintah RI
pun harus bergerak cepat untuk menyelamatkan para sandera sebelum dunia
internasional bertindak, Maka, Panglima TNI dan Komandan
Jendral Koppasus menunjuk Kolonel Larung Nusa untuk mempimpin
operasi pembebasan sandera. Dengan rekam jejaknya yang gilang-gemilang di dunia
kemiliteran, Nusa kemudian memimpin Satuan 81/Penanggulangan Teror
(Sat-81/Gultor) menuju ke Jayapura untuk operasi pembebasan
sandera. Sayangnya, kali ini, musuh mereka bukanlah para pemberontak biasa. Dan
Larung Nusa terlambat menyadarinya.
Ketika
operasi pembebasan dijalankan, para anggota satuan khusus ini baru menyadari
bahwa musuhnya adalah para prajurit terlatih. Mereka memiliki pasokan senjata
canggih, punya pusat komando rahasia, memiliki alur komando yang runtut, dan
jago tempur. Segera saja korban berjatuhan di kedua belah pihak, bahkan Nusa
harus kehilangan beberapa prajurit terbaiknya. Operasi yang tadinya adalah
untuk membebaskan para sandera tiba-tiba berubah menjadi perang strategi. Nusa mulai
menyadari, ada hal lain di balik penyanderaan ini. Sesuatu yang misterius,
berbahaya, sekaligus mematikan. Masalah ini tidak bisa ditangani secara biasa.
Rencana baru pun digunakan.
Maka,
dibentuklah sebuah Tim Hantu yang terdiri dari orang-orang terlatih yang
identitasnya dirahasiakan. Pasukan ini ditugasi untuk memburu para penyandera.
Mereka bergerak tanpa izin khusus dari TNI/Pemerintah sehingga jika terjadi
apa-apa, tidak ada pihak yang mau mengaku bertanggung jawab. Bisa dibilang, tim
ini hampir mirip dengan pasukan bayaran. Tapi, justru di situlah serunya. Dua
pihak yang bertempur tanpa ada embel-embel pangkat atau golongan, hanya saling
beradu untuk menentukan manakah yang lebih unggul. Di bagian ending inilah puncak penyerbuan itu terjadi. Keren sekali, cepat dan membuat pembaca teradiksi (halah) untuk terus membaca. Adegan aksinya pun luar
biasa detail, sangat sinematik bak menonton sebuah film aksi luar negeri. Sungguh
sangat sayang untuk dilewatkan.
Saya setuju dengan beberapa blogger yang bilang kalau novel ini sepaket lengkap (horor, aksi, ketegangan, lawak, budaya, dan militer) kecuali bagian romansa-nya yang ketinggalan. Bagian belakang juga seperti terlalu cepat selesai (*bilang saja kamu pengen ceritanya dijadiin lebih panjang lagi, Yon!). Mungkinkah bakal ada lanjutannya? Semoga masih. Buku yang bagus memang harus terus diterbitkan.
Dak Dek Dor! DAIA..
ReplyDeleteKeren. Review yg lengkap mas Di :)
Trims Stev sudah meracuni saya dengan buku bagus ini :)
Deleteair max 270
ReplyDeleteoutlet golden goose
yeezy boost
supreme outlet
vans outlet
kyrie 6
kobe sneakers
jordan shoes
calvin klein
balenciaga
xiaofang20191213