Judul: Murder on the Orient Express
Pengarang: Agatha Christie
Penerjemah: Gianny Buditjahja
Cetakan: 2007
Tebal: 360 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Saya membaca novel detektif-pembunuhan, saya selalu merasa
kalau si penulislah sang penjahat utama yang sesungguhnya. Bila dipikir-pikir,
penulis adalah si pembunuh yang kemudian menutupi jejaknya dengan menghadirkan
banyak karakter serta peristiwa (kadang sampai mundur dulu ke masa lalu)
sehingga pembaca gagal fokus untuk ujung-ujungnya dikagetkan dengan siapa si
pelaku sesungguhnya, yang biasanya membuat pembaca kaget dan nggak menyangka!
Sialan, gue nggak nyangka *sambil membanting bukunya ke kasur (sayang aja sih
kalau rusak bukunya, kan bisa dijual lagi #eh hahaha nggak ding. Ini buku spesial jadi rugi banget kalau sampai dijual lagi.)
Perasaan
yang sama sering saya jumpai saat membaca karya-karya tante Agatha Christie.
Bukan main produktifnya ini tante, dengan lebih dari 70 seri novel atau kumcer
kriminalnya nan legendaris. Buku-bukunya, walau ditulis dengan setting jadul,
tapi tetap enak dinikmati sepanjang zaman. Terutama yang paling special adalah
kisah-kisah detektifnya yang khas, yang melanjutkan tradisi Sherlock Holmes-nya
Doyle untuk kemudian dia munculkan versinya sendiri dalam sosok Hercule Poirot
dan Miss rempong Marple. Salut!
Dari
nggak-sampai-sepuluh-judul karya Agatha Christie, saya hanya berhasil menebak
ending di satu buku, yakni Pembunuhan Atas Roger Ackryoid. Sementara yang
Sembilan lainnya, saya gagal total dan sukses ‘dikibulin’ Tante Agatha,
termasuksaat membaca Pembunuhan di Orient
Express ini. Rampung mmebaca buku ini, saya tidak habis pikir betapa pada tahun 1920-an (itu Perang Dunia 1
kali ya?) ada seorang penulis yang mampu menuliskan kisah criminal secerdas
ini. Rumit, tapi tetap asyik diikuti. Tingkat tinggi tapi juga enak dinikmati.
Agatha Christie selalu mampu membuat rumit hal-hal sederhana menjadi terlihat
rumit untuk kemudian dia sederhanakan lagi menjelang akhir cerita.
Suatu
malam yang dingin, Hercule Poirot terjebak bersama belasan penumpang lain di
sebuah jalur kereta terpencil di kawasan Balkan. Salju turun begitu tebal
sehingga kereta yang membawa mereka tidak bisa bergerak, begitu pula untuk
keluar gerbong yang nyaris mustahil karena suhu udara yang sangat dingin. Dalam
kondisi terisolir itulah terjadi pembunuhan sadis terhadap salah satu
penumpang! Siapa yang terbunuh, dan siapa yang membunuh? Poirot kembali
dihadapkan pada sebuah kasus unik karena ada dugaan kuat si pembunuh ada di
antara 13 penumpang yang ikut dalam gerbong yang sama dengannya.
Di buku
ini, kita disuguhi kembali dengan kepiawaian Poirot dalam menyaring fakta dan
membuang dugaan. Dengan metode yang rapi dan terencana, Poirot menyortir
penumpang dengan mewawancarainya satu per satu, secara metodis dan berpola,
sehingga akan di dapatkan semacam linimasa tentang urutan kejadian pembunuhan
itu agar didapatkan siapa di antara penumpang yang tidak memiliki alibi atau
alibinya cacat. Dengan metode seperti ini, seorang penyelidik bisa memandang
sebuah kasus secara lebih logis dan objektif, yakni dengan menyisihkan
bagian-bagian yang tidak berkaitan atau malah dibuat-buat.
Sayangnya,
kali ini Poirot seperti menghadapi musuh yang cerdas. Seluruh penumpang telah
diwawancarai, tapi banyak sekali bolong di catatannya. Keterangan antara satu
penumpang dengan penumpang lain sangat berlainan. Bahkan ketika dicek silang,
muncul lagi fakta-fakta baru. Poirot harus putar otak karena kali ini dia
menghadapi musuh yang lebih piawai, yang entah bagaimana bisa membuat kasus itu
menjadi semakin rumit meskipun fakta-fakta baru terus bermunculan. Ketika
akhirnya saya sampai di halaman-halaman terakhir, terlihatlah nyata bahwa novel
ini memang beda dari karya-karya Agatha Christie yang lain. Pantas kalau Murder in the Orient Express masuk
sebagai salah satu karya Tante Agatha Christie yang paling digemari.
No comments:
Post a Comment