Search This Blog

Tuesday, April 14, 2015

Halaman Terakhir

Judul : Halaman Terakhir
Pengarang : Yudhi Herwibowo
Penyunting : Miranda Harlan
Sampul : AAA
Cetakan: 1, Februari 2015
Tebal: 434 hlm
Penerbit: Noura Books

24810905

Buku tentang Jenderal Polisi Hoegeng ini adalah satu dari sedikit buku yang seperti memaksa saya untuk segera menuliskan review begitu selesai membacanya. Jenis buku bergizi yang entah telah mengubah saya ataupun memberikan sesuatu yang baru setelah membacanya. Begitu sampai pada halaman terakhir buku ini, saya segera sadar kalau buku ini harus banyak dibaca oleh semakin banyak gerenasi muda. Terutama kami yang lahir di era 90-an sebagai generasi yang mengalami baik masa orde baru, masa reformasi, hingga Indonesia Baru seperti saat ini. Harusnya, ada lebih banyak orang yang tahu tentang sepak terjang seorang jenderal legendaris bangsa, salah satu dari tokoh polisi terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso.

“Sebuah jalanan yang dirawat dengan baik akan selalu menumbuhkan bunga-bunga wangi di sepanjang jalannya.” (hlm 375)


                Halaman Terakhir bisa diibaratkan semacam novel semibiografis dari Hoegeng. Disusun dan ditulis oleh Mas Yudhi Herwibowo berdasarkan sumber-sumber sejarah tertulis serta lisan, melalui riset yang teliti, serta proses penulisan yang pantang menyerah. Tidak heran kalau Halaman Terakhir ini terasa begitu mengalir dan sukses membuat saya terharu setelah membacanya. Jarang sekali saya membaca novel biografis, sepertinya baru On Writing-nya Stephen King. Bayangan saya, novel seperti itu pasti akan membosankan dan membikin jemu. Tapi, tidak dengan Halaman Terakhir. Kepiawaian Mas Yudhi Herwibowo yang telah teruji dalam meracik cerita telah menjadikan novel tebal ini tak membosankan sama sekali. Ceritanya, walaupun bersetting tempo dulu dan sangat berkaitan dengan tema-tema politik, dituliskan dengan begitu mengalir, tetap rapi, dan membikin penasaran. Tidak butuh lebih dari satu hari bagi saya untuk menyelesaikan membaca buku ini.

                Di setiap keinginan yang kuat, semesta kemudian mengambil peran.” (hlm. 66)

                Siapakah Jenderal Hoegeng? Jujur, saya tidak mengetahui banyak tentang sosok hebat ini sebelum membaca Halaman Terakhir. Nama beliau mungkin pernah saya dengar, tapi tentang sepak terjangnya, baru di novel ini saya mengetahuinya. Dalam catatan di halaman terakhir novel ini, Mas Yudhi sempat menyinggung beberapa buku tentang Hoegeng yang sudah terbit lebih dulu (dan kemudian turut menjadi referensi penulisan novel ini). Tapi, biasanya buku-buku biografi seperti itu ditulis dengan gaya nonfiksi yang (mungkin) membosankan sehingga saya mungkin hanya akan melewatkannya suatu ketika saat melihat buku seperti itu di rak sebuah perpustakaan tua. Karena itulah, sangat penting untuk menulis buku-buku biografi sejenis Halaman Terakhir ini agar semakin banyak generasi muda yang mau membaca sepak terjang orang-orang hebat yang mungkin tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Padahal, orang-orang hebat itu benar-benar pernah dan mungkin masih ada.

“Keteguhan akan sikap yang benar selalu terbayar sepadan.” (hlm 160)

                Mas Yudhi menggunakan dua kasus besar tak terselesaikan (atau terselesaikan tapi tidak memuaskan) sebagai pembangun alur utama dari Halaman Terakhir. Kasus pertama adalah kasus pemerkosaan Sumaryah yang menggeggerkan Yogyakarta pada tahun 1970-an. Kedua adalah kasus penyelundupan mobil mewah oleh Soni Cahaya. Melalui kedua kasus inilah penulis kemudian secara tertata dan begitu sabarnya menyisipkan semacam biografi dari Hoegeng. Siapa beliau, asal-usul dan riwayat pekerjaannya, suasana kantornya, tindak-tanduk beliau yang begitu menjunjung tinggi kejujuran dan prinsip keadilan, serta orang-orang yang dekat dengannya. Kebetulan, kedua kasus inilah yang menjadi dua kasus tak terselesaikan yang sempat mewarnai akhir masa bakti beliau. Dua kasus yang seharusnya bisa menjadi penutup sempurna bagi kariernya sebelum tangan-tangan kekuasaan turut campur dan membuat Hoegeng tersingkir. Dengan segala kekuatannya, terkadang kebaikan tetap saja kalah (atau dipaksa mengalah). Tapi, percayalah, hari pembalasan itu pasti akan tiba.

                “Pada akhirnya, siapa yang bersalah akan menerima ganjarannya.” (hlm 418)

                Ketika sebuah buku biografi ditulis dengan apa adanya, bisa dijamin pembaca akan cepat bosan dan segera meletakkannya, atau buku itu dibaca tapi lama sekali selesainya. Tapi, tidak dengan Halaman Terakhir. Perpaduan apik antara drama, cerita kehidupan, dan narasi sejarah yang dipadu apik dalam buku ini seperti terus memukau saya hingga halaman terakhirnya. Layaknya sebuah novel, ada naik dan turun dalam buku ini. Ada unsur seru, unsure kejutan, juga tambahan adegan-adegan detektif yang sangat menegangkan. Sama sekali tidak membosankan saat membacanya. Memang, di bagian-bagian depan (misalnya di halaman 17 dan 58) penulis seperti lupa kalau sedang menulis novel sehingga narasi sejarahnya telanjur kebanyakan. Tapi, semakin ke belakang, kecenderungan “menuliskan teks sejarah” ini semakin hilang sampai akhirnya penulis dengan luwesnya berhasil menceritakan sebuah sejarah tanpa memunculkan rasa “membaca buku teks.” Kita harus berterima kasih kepada Djaba Kresna dan Jati Kusuma. 

                “Ada kalanya seseorang memang tak lagi bisa melawan, sekeras apapun ia berusaha.” (hlm 407)

                Djaba Kresna adalah wartawan dari surat kabar Pelopor yang begitu aktif memberitakan kasus pemerkosaan Sumaryah. Kejadian tragis yang konon dilakukan oleh anggota keluarga sejumlah pembesar negeri ini terkesan ditutup-tutupi oleh sejumlah pihak. Hanya Djaba Kresna satu-satunya yang berani menuliskannya sebagai berita dengan sudut pandang yang sama sekali tidak tunduk oleh tekanan pihak manapun selain murni dari pengakuan sang korban. Dari tokoh inilah, novel ini terasa bergerak cepat ibarat sebuah novel thriller yang seru. Sementara tokoh kedua adalah Jati Kusuma, salah satu bawahan Hoegeng yang menjadi kepercayaan beliau dalam menangani kedua kasus besar tersebut. Dari petualangan dan sepak terjang keduanyalah sehingga pembaca bisa merasakan naik turunnya cerita sehingga pembaca tidak cepat bosan.

                Ketika saya tiba pada halaman terakhir di novel ini, semacam perasaan haru dan kagum mulai terbit terhadap sosok yang baru saya ketahui sepak terjangnya di novel ini. Semacam muncul rasa kerinduan untuk bisa meneladani sikap beliau, mencontoh prinsip-prinsip hidupnya yang penuh kejujuran, serta jasa beliau yang telah mengharumkan nama kepolisian. Bahwa sosok sehebat Jenderal Polisi Hoegeng pernah ada, dan hal ini seharusnya akan memunculkan inspirasi kepada para generasi muda bahwa tidaklah mustahil untuk menjadi orang baik meskipun dunia tengah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak baik. Menjadi jujur sebagaimana beliau, semoga kita bisa meneladani tokoh hebat ini. 

“Selesaikan saja tugasmu dengan kejujuran. Karena, kita masih bisa makan nasi dengan garam.” (hlm 374)

2 comments: