Search This Blog

Friday, February 20, 2015

The Giving Tree

Judul: The Giving Tree
Pengarang: Shel Silverstein
Tebal: 54 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit: Atria

23986917



                The Giving Tree sejauh ini adalah buku yang paling cepat saya baca, kurang lebih satu sampai dua menit. Rekor ini menumbangkan pembacaan buku Rhyme karya Roadl Dahl yang membutuhkan waktu 10 – 15 menit sekali baca. Pertama membuka halaman-halaman The Giving Tree, saya menyeletuk, Kok dikit banget sih? Mana tulisannya kecil dan halamannya kosong banget. Ceritanya pun sangat simpel, saya bacanya sambil lalu, sekali duduk istirahat gitu sambil mengabaikan pekerjaan. Setelah selesai, saya sudah bisa menangkap isi dan pesan di balik penulisan buku ini. Ya, kira-kira begitu deh. Untuk buku anak, saya kasih 4 bintang untuk buku ini. Karena cerita ini simpel namun menyadarkan kita, dan pasti akan menimbulkan sesuatu yang mengesankan kalau dibacakan untuk anak-anak.

                Kemudian saya membuka Goodreads, saya tertarik membeli ini karena melihat banyak yang memberi bintang lima ke buku ini, sama sekali saya belum pernah membuka buku fisik atau ebooknya. Salahkan goodreads karena saya paling tidak tahan kalau melihat ulasan buku bagus, maunya beli aja. Karena itu, ketika buku ini diterbitkan Atria, buku ini langsung masuk wistlist.  Setelah selesai membacanya, saua baca kembali review teman-teman di goodreads. Saya juga langsung mengajak diskusi temen-temen kantor yang ikut baca buku ini (dasar pada maniak gratisan!), saat itu saya baru tahu kalau membaca buku ini telah menghasilkan penyimpulan yang berbeda-beda. Satu pohon tapi bisa bermakna berbeda-beda untuk setiap pembaca yang tidak sama.

                The Giving Tree secara simpel mengisahkan tentang persahabatan seorang anak dengan sebatang pohon apel. Sejak kecil, anak itu sudah dekat sekali dengan sang pohon. Dia berayun di dahannya, berteduh dalam kerimbunan daunnya, memetik apel-apelnya yang manis, memanjati batang pohonnya. Begitu sayangnya si anak kepada sang pohon, dan pohon pun menyayanginya. Pohon itu begitu bahagia menjadi sahabat sang anak. Kemudian, anak itu tumbuh remaja. Dan, seperti yang bisa kita tebak, dia mulai melupakan pohonnya. Teman-teman baru, pacar, dan kesibukan baru membuatnya mulai jarang mengunjungi pohon apel itu. Sang pohon merindukan sahabatnya, tapi si anak remaja sudah sibuk entah dimana. Tapi sang pohon tetap setia.

                Waktu berlalu dan si anak tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Akhirnya, dia mendatangi sang pohon dan meminta uang. Sang pohon tidak punya uang tentu saja, tetapi dia menawarkan seluruh apel yang ada di dahannya untuk dijual. Dan dari situ, pria itu mendapatkan uangnya. Pohon pun bahagia. Setelah itu, pria itu membutuhkan rumah, dan pohon dengan senang hati memberikan kayu dan batangnya untuk ditebabg sebagai bahan pembuat rumah. Dan pohon pun bahagia. Ketika usia tua menjelang dan tak ada lagi yang dibutuhkan oleh si anak yang sekarang sudah tua selain tempat untuk duduk dan beristirahat, si pohon pun mempersilakan tunggulnya untuk dijadikan alas duduk. Dan, pohonmu selamanya bahagia.



                Sebuah kisah pengorbanan pohon yang sederhana, namun sarat makna. Buku ini begitu tipis dan cepat dibaca, tetapi bila jika dibaca ulang dan direnungkan, ada begitu banyak pelajaran hidup di dalamnya. Tentang pengorbanan si pohon, tentang manusia yang selalu meminta, tentang kita yang sering kali abai pada yang lama ketika datang sesuatu yang baru. Siapa sebenarnya sang pohon dalam cerita ini? Bagi saya, si pohon adalah perlambang masa kecil, bagi yang lain melambangkan alam. Teman saya mengatakan pohon sebagai lambang Tuhan, sementara pembaca yang lain mungkin bilang si pohon sebagai orang tua. Luar biasa, satu cerita tapi bisa memunculkan berbagai persepsi. Satu cerita tapi mengingatkan akan sebuah pelajaran kehidupan yang tak lekang dimakan zaman: pengorbanan.


                Dan dengan membaca ini, setiap pembaca akan mendapatkan kisahnya sendiri, pelajarannya sendiri, sesuai dengan pengalaman kehidupannya masing-masing. Satu cerita dengan sejuta penafsiran. Begitulah sebuah buku yang hebat dibuat. 

Sumber gambar: https://likestrawberryteadotcom.files.wordpress.com/2013/01/hp-062_2z1.jpg

1 comment:

  1. Seperti kata Lord Henry kepada Dorian Gray:

    "Sesungguhnya, seni lebih merupakan pantulan dari para penikmatnya, alih-alih pantulan dari kehidupan."

    Tapi kayaknya saya yg paling nggak jelas. Yang muncul malah perasaan emosi. Si pohon inih mau2nya sih ngorbanin semuanya...
    <("o")>

    Haghaghag... >_<

    ReplyDelete