Search This Blog

Tuesday, February 10, 2015

The Atlantis Gene (Gen manusia Atlantis)

Judul : The Atlantis Gene (Gen manusia Atlantis)
Pengarang: A.G Riddle
Penerjemah : Ahmad Alkadri
Editor : Merry Riansyah
Pemeriksa Aksara : Abduraafi Adrian
Cetakan: Pertama, Januari 2015
Penerbit: Fantasious     




24052983

                “Segala sesuatu ada timbal baliknya, tapi dia percaya pada pekerjaan yang sedang mereka tekuni  ini. Tak ada pekerjaan yang sempurna.” (hlm 31)

              Sejak penelitian Dokter Santos mengenai lokasi Atlantis yang diperkirakan berada di wilayah kepulauan Indonesia, negara kita seolah menjadi wilayah yang eksotis dan mendapat banyak sorotan. Benar atau tidaknya Atlantis dulu berada di wilayah Nusantara masih diperdebatkan sampai sekarang, namun kontroversi ini kemudian berdampak pada semakin terkenalnya Indonesia sebagai salah satu surga wisata backpacking dunia, dan mungkin, orang-orang luar sana mulai tertarik untuk mengeksplor Indonesia, baik dalam film maupun novel. Dan, The Atlantis Gene adalah salah satunya. Menggunakan ibukota Jakarta sebagai salah satu dari tiga latar utama dalam buku ini, pembaca Indonesia mungkin bisa sedikit berbangga hati karena kini Jakarta tidak lagi diabaikan, bahkan menjadi salah satu lokasi yang paling eksotis dalam sepanjang cerita buku ini.

“Kita menyerang apapun yang kita anggap berbeda, apapun yang tidak kita mengerti.”

                Bagian pertama mengambil judul Jakarta Membara (yang menjadi inspirasi sampul novel ini), untuk mengambarkan aksi seru dan menengangkan khas novel thriller barat. Dimulai dari ledakan bom di stasiun kereta api Manggarai dan penculikan dua bocah pendeta autis di sebuah pusat penelitian milik lembaga Immari di Jakarta, David Vale mendapati dirinya telah terjebak dalam sebuah konspirasi skala global yang luar biasa pelik. David sendiri bekerja sebagai agen Menara Jam, sebuah agensi swasta yang menawarkan jasa perlindungan pribadi sekaligus menjalankan perannya sebagai penjaga dunia di balik layar. Namun, kejadian di manggarai membuatnya waspada. Sebagai agen lapangan, dia terbiasa untuk tidak mempercayai apa yang terlihat dan senantiasa mengantisipasi segala kemungkinan. Dua peristiwa di Jakarta itu menyadarkannya bahwa ada sesuatu yang besar telah terjadi. Sebuah konspirasi berusia ribuan tahun tengah menjalankan rencananya, yang semula kawan ternyata lawan. 

                “Setiap agama, kuno dan baru, di seluruh dunia, memiliki mitos banjir bandang raksasa.” (hlm 292.

                David harus melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya, yang sampai saat itu masih belum ketahuan siapa dan apa niatan mereka. Setelah diselamatkan oleh warga setempat, dia memutuskan membalas dendam dengan menyerang tepat ke markas musuhnya yang berada di tepi Teluk Jakarta. Dalam upayanya itu, dia berhasil menyelamatkan Kate, dokter yang menangani kedua anak autis itu, dan keduanya pun tanpa sadar telah memasuki sebuah konspirasi global terkait dengan pencarian benua Atlantis, benua mitos dan dongeng yang konon tenggelam ke bawah lautan dalam waktu satu malam. Apa kaitannya antara autisme dengan Atlantis? Dan mengapa harus di Jakarta? Berbagai misteri terus bermunculan sehingga membuat pembaca sulit untuk berhenti membaca novel ini. Penulis menggunakan teknik menulis yang sama seperti yang digunakan Dan Brown, yakni dengan bab-bab pendek dan sarat aksi. Begitu menegangkan cerita dalam lembar-lembar buku ini sehingga membacanya tidak akan terasa menjemukan. Saya paling suka dengan bagian pertama yang bersetting di Jakarta ini, begitu sarat aksi laga.

 The Bell (die Glocke)
sumber: http://fc08.deviantart.net
                 
        
               Bagian kedua mengambil setting di Dataran Tinggi Tibet yang sampai sekarang masih menjadi daerah sengketa dan sarat konflik. Dalam biara-biaranya yang terisolir, David dan Kate mencoba mengungkap sebuah buku harian yang akan mengungkap semua sejarah tentang upaya pencarian Atlantis. Di bagian ini, pembaca juga akan diperkenalkan pada perangkat Lonceng, sebuah senjata rahasia yang konon pernah dimiliki oleh pasukan nazi. Lonceng ini mampu mengeluarkan getaran dengan intensitas yang sangat kuat, begitu kuatnya sehingga bisa membuat darah seseorang meledak. Selain itu, Lonceng juga menyebarkan sejenis wabah misterius yang belum pernah ada obatnya. Flu Spanyol yang pernah merebak pertengahan abad ke-20 juga konon disebabkan oleh bergetarnya lonceng ini. Lonceng pertama di temukan di sebuah pusat riset milik Immari di Tiongkok, dan mereka telah menggunakannya sebagai bahan percobaan baik terhadap binatang maupun manusia.

                “… bahwa manusia tidaklah sempurna, manusia bukanlah dewa, dan hidup dalam kesederhanaan adalah jalan untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.” (hlm 293)

                Di Tibet, David dan Kate berhasil menemukan tujuan Immari, dan bersama mereka dalah para biksu Tibet yang selama ini sibuk menyembunyikan diri dari dunia. Merekalah pewaris Atlantis yang masih tersia. Konon, setelah banjir besar yang menenggelamkan Atlantis, orang-orang yang selamat mengungsi ke puncak-puncak gunung yang tinggi untuk kemudian membangun kehidupan di sana. Mereka adalah para Immaru, antitesa dari kaum Immari. Bagian kedua ini agak membosankan bagi saya, karena dipenuhi oleh pembacaan jurnal yang ternyata sangat panjang dan detail. Dari bagian awal yang sarat aksi, menyambung ke bagian kedua yang isinya dikuasai oleh aktivitas membaca diari orang lain, sempat membuat saya berlambat-lambat dalam membaca buku ini. Namun, diarinya memang sangat rinci dan nanti akan terbukti di belakang bahwa pembacaan diari itu tidak akan sia-sia. 

                Bagian ketiga, kita diajak menuju Makam Atlantis, yang pintu gerbangnya ada di sebuah tempat yang selama ini dianggap sebagai pintu gerbang menuju Atlantis, yakni Gilbraltar. Tanjung yang ditandai dengan bubungan batu cadas menjulang ini sering disebut sebagai Pilar Herkules dan merupakan salah satu lokasi benua Atlantis yang paling populer. Sebuah struktur rahasia tersembunyi tepat di bawah teluknya, digali langsung dengan pendanaan tak terbatas oleh Immari. Proyek Gilbraltar inilah yang pengerjaannya dituliskan dalam jurnal yang dibaca oleh David dan Kate di Tibet. Kejutan lain menanti, lokasi kedua ini juga dilindungi oleh senjata Lonceng yang kedua, yang akibat penerebosan oleh Immari pada era PD 2 telah menyebabkan timbulnya wabah Flu Spanyol yang merenggut jutaan nyawa. Posisi Gilbraltal sendiri memang berada di ujung selatan negara Spanyol sehingga negara inilah yang paling terkena dampaknya.

              Dari  Spanyol, petualangan berlanjut ke benua beku, Antartika. Riddle memang mengambil setting yang tidak biasa dalam buku ini. Setelah Jakarta, Tibet, Perbatasan Tiongkok, Gilbraltar, dan India; dia kemudian mengajak pembaca menuju Antartika. Pemandangan dan petualangan eksotis inilah yang membuat novel ini segar karena sejenak mengalihkan kita dari setting Amerika Serikat atau Eropa yang selama ini terlalu sering digunakan dalam cerita. Pada akhirnya, semua teka-teki tentang Atlantis akan terjawab di sini. Apa sebenarnya Lonceng itu dan mengapa ada beberapa orang (salah satunya Kate) yang tidak terpengaruh oleh getarannya? Juga, tentang Protokol Toba, apa yang sebenarnya hendak direncanakan oleh Immari terhadap peradaban dunia yang modern? A.G. Riddle dengan apik mengabungkan antara mitos Atlantis dengan sejarah Perang Dunia, kemudian menghiasinya dengan setting yang eksotis serta alur cerita yang bergerak cepat, dengan kejutan yang menanti pembaca di setiap halaman. 

                “Agama adalah upaya putus asa leluhur kita guna memahami dunia kita dan masa lalu … Agama juga memberi kita sesuatu yang lebih: norma kehidupan, cetak biru mengenai benar dan salah, pedoman untuk menuntun kehidupan manusia.” (hlm 290)

                The Atlantis Gene menghadirkan berbagai pengetahuan baru seputar Atlantis kepada pembaca. Dalam novel tebal ini, berjejalan beragam informasi dan pengetahuan baru yang mungkin baru pertama kali kita dengar, diantaranya mitos Banjir Besar yang ternyata sudah dua kali terjadi di Bumi, tentang bencana Toba yang merupakan letusan gunung terakbar sepanjang usia peradaban manusia Bumi, tentang misteri manusia Atlantis dan kaitannya dengan pesawat alien, tentang gen Adam kromosom Y, tentang misteri punahnya manusia Neanderthal, manusia Devonian, dan Homo floresiensis, serta penyebab berkembangnya Homo sapiens, tentang asal muasal manusia pertama, juga tentang sekelumit ilmu bioteknologi dan autisme. Begitu banyak dalam satu novel, dipadukan dengan cerita yang bergerak cepat dan penuh kejutan.
  
                Tidak ada yang sempurna, pun demikian dengan novel Atlantis yang satu ini. Tema pencarian terhadap benua Atlantis adalah tema yang sangat eksotis dalam sebuah novel. Tapi, Atlantis sendiri yang masih bisa disebut sebagai sebuah mitos, menawarkan terlalu sedikit data atau informasi untuk diolah. Alih-alih menggunakan data-data yang sifatnya arkeologis seperti dalam tulisan Dokter Santos, Riddle menggunakan alternatif fiksi ilmiah di novel ini. Dikisahkan, bangsa Atlantis adalah bangsa yang pernah maju di Bumi ini. Peradaban mereka ikut tersapu oleh Banjir Besar yang sudah dua kali menenggelamkan peradaban kuno di Bumi. Lonceng adalah alat temuan mereka, yang digunakan untuk mencegah manusia-manusia yang hendak menyelidiki rahasia teknologi Atlantis. Konsep fiksi ilmiah yang unik sebenarnya, namun sangat kurang dari struktur logika.
1. Tentang Lonceng, apa dan bagaimana benda ini dibuat tidak dijelaskan secara detail, atau paling tidak, secara logis. Hanya dikatakan bahwa Lonceng adalah teknologi peninggalan bangsa Atlantis yang mampu membunuh orang-orang non Atlantis. Bahan apa yang digunakan untuk membuatnya, bagaimana cara kerjanya hingga bisa membuat darah manusia meledak, dan darimana sumber dayanya berasal, masih belum dijelaskan secara rinci. Dalam pikiran pembaca, Lonceng menjadi semacam alat yang sifatnya fantasi (berbau sihir) ketimbang teknologi. Padahal ini novel thriller, bukan fantasi, sehingga penjelasannya memang kurang memuaskan menurut saya.

2. Masih tentang Lonceng, waktu dikatakan melambat ketika seseorang berada di sekitar Lonceng. Riddle menjelaskan hal itu terkait dengan daya besar yang dibutuhkan oleh Lonceng, sesuatu semacam manipulasi gravitasi yang bisa memperlambat waktu. Sebagaimana kita ketahui, waktu adalah konsep yang abstrak dan terus berjalan maju, mustahil diperlambat. Konsep tentang perjalanan waktu sendiri masih sangat diperdebatkan mengenai mungkin atau tidaknya. Yang selama ini kita ketahui, ada kemungkinan waktu berjalan lebih lambat atau lebih cepat ketika seseorang berada di dimensi lain atau ketika dia sedang menaiki pesawat ruang angkasa yang melampaui kecepatan cahaya. Sering kita jumpai, kisah-kisah tentang mereka yan tersesat di dimensi lain, dan 10 hari di sana ternyata bisa 10 tahun di Bumi. Walahualam. Tapi dalam kasus cerita ini, Lonceng masih berada di Bumi, dan pastinya diperlukan kekuatan yang luar biasa dahsyat untuk bisa membuat alat ini mampu melambatkan sesuatu yang sekokoh waktu. Sayang sekali, penjelasan tentang perlambatan waktu ini dijelaskan sedikit sekali oleh penulis, hanya karena manipulasi gravitasi dan daya yang besar. Masih sulit saya terima secara alur logika.

3. Dalam bagian tiga, akan kita jumpai lagi hal yang masih menimbulkan pertanyaan besar tapi tidak dijawab secara memuaskan. Setelah perlambatan waktu, penulis menggunakan elemen fantasi lain dalam novel yang seharusnya thriller-fiksi-ilmiah ini, yakni portal yang memungkinkan seseorang berpindah melewati jarak ribuan kilometer dalam sekejap. Sayang sekali, bagaimana portal ini bekerja tidak dijelaskan secara rinci, seolah penulis melemparkan begitu saja tanggung jawabnya kepada bangsa Atlantis. Mengapa portal ajaib itu bisa ada? Ya, karena itu teknologi bangsa Atlantis yang masih misterius bagi kita. Udah gitu aja. Halah

                Untuk terjemahan, menurut saya tidak ada masalah. Saya bisa tetap menikmati membaca novel ini dengan nyaman dan mengalir. Mungkin hanya beberapa pilihan diksi saja yang menurut saya bisa menggunakan alternatif lain. Salah satunya adalah “grup teroris” (hlm 26) yang sebetulnya lebih enak kalau diganti “kelompok teroris.” Juga, kata Cina yang sebaiknya diganti dengan Tiongkok sesuai dengan undang-undang terbaru karena konsep “Cina” ini memiliki konotasi yang agak negative bagi golongan tertentu. Juga di halaman 70, saya masih bingung dengan apakah itu operatif karier, serta “semur daging sayur” di halaman 188.

Hal yang agak mengganggu kenikmatan membaca buku ini adalah typonya, yang mohon maaf, agak banyak tapi yang tidak terlalu banyak. Ada mungkin 15 atau 20 salah ketik, di antaranya halaman 39 (do Cina, harusnya di Cina), hlm 49 (mentakan dusta, maksudnya apa ya?),  hlm 293 (mditasi = meditasi) lalu saya menyerah menghitungnya saat sampai ke hitungan kesebelas atau ketiga belas daripada mengurangi kenikmatan membaca. Hanya salah ketik satu huruf dan jumlahnya saya kira dibawah 20, jadi bisa diabaikan. 

Satu lagi dari sisi editing. Untuk penulisan surel (email) sebaiknya menggunakan font yang berbeda. Misalnya pada halaman 114 dan 182. Keduanya adalah cuplikan email yang hurufnya sama persis dengan narasi novel, bahkan posisi tab-nya pun sama dengan paragraph biasa. Bukan masalah besar sih, hanya saja jadi kurang terasa aroma surat elektroniknya. Kalau nggak ngeh, bisa-bisa itu dikira bagian dari narasi atau dialog novel. Paling tidak, paragaf itu bisa dibikin agak menjorok ke dalam kemudian diratakan.

 Hal yang sama juga terjadi pada penulisan jurnal di bagian dua. Bagian ini didominasi oleh jurnal milik Patrick Pierce, dan sayangnya bagian dari jurnal itu dicetak dengan font yang sama persis dengan narasi novel, bahkan tab-nya pun tidak menjorok ke dalam. Mungkin, ini dilakukan untuk menghemat halaman sehingga novelnya tidak terlalu tebal. Tapi, sebenarnya bisa diakali dengan font yang lebih kecil, atau spasi yang lebih kecil, tidak harus menjorok ke dalam semuanya. Yang jelas, pembaca bisa membedakan mana yang menjadi bagian jurnal, dan mana yang adalah narasi novel.

2 comments:

  1. jelas sudah. makasih mas dion. tentang Lonceng itu sepertinya akan dibahas di buku kedua. dan penulis memang menambahkan berbagai hal dalam karyanya, tapi menurutku masih masuk akal dan bisa dinikmati.

    Raafi Ough, My Books!

    ReplyDelete
  2. Nemu buku ini diperpus kota, fokus ke cover, loh kok kaya monas, eh ternyata bener latarnya di indo. Btw, thanks tulisannya kerennn, jadi ada gambaran sblm baca, biar nggak blunder2 amat hehe

    ReplyDelete