Pengarang: A.G Riddle
Penerjemah : Ahmad Alkadri
Editor : Merry Riansyah
Pemeriksa Aksara : Abduraafi Adrian
Cetakan: Pertama, Januari 2015
Penerbit: Fantasious
“Segala sesuatu ada timbal baliknya, tapi dia
percaya pada pekerjaan yang sedang mereka tekuni ini. Tak ada pekerjaan yang sempurna.” (hlm
31)
Sejak penelitian Dokter Santos mengenai lokasi Atlantis yang
diperkirakan berada di wilayah kepulauan Indonesia, negara kita seolah menjadi
wilayah yang eksotis dan mendapat banyak sorotan. Benar atau tidaknya Atlantis
dulu berada di wilayah Nusantara masih diperdebatkan sampai sekarang, namun
kontroversi ini kemudian berdampak pada semakin terkenalnya Indonesia sebagai
salah satu surga wisata backpacking dunia, dan mungkin, orang-orang luar sana
mulai tertarik untuk mengeksplor Indonesia, baik dalam film maupun novel. Dan, The Atlantis Gene adalah salah satunya.
Menggunakan ibukota Jakarta sebagai salah satu dari tiga latar utama dalam buku
ini, pembaca Indonesia mungkin bisa sedikit berbangga hati karena kini Jakarta
tidak lagi diabaikan, bahkan menjadi salah satu lokasi yang paling eksotis
dalam sepanjang cerita buku ini.
“Kita menyerang apapun yang kita anggap berbeda, apapun yang tidak kita
mengerti.”
Bagian
pertama mengambil judul Jakarta Membara (yang menjadi inspirasi sampul novel
ini), untuk mengambarkan aksi seru dan menengangkan khas novel thriller barat. Dimulai dari ledakan bom
di stasiun kereta api Manggarai dan penculikan dua bocah pendeta autis di
sebuah pusat penelitian milik lembaga Immari di Jakarta, David Vale mendapati
dirinya telah terjebak dalam sebuah konspirasi skala global yang luar biasa
pelik. David sendiri bekerja sebagai agen Menara Jam, sebuah agensi swasta yang
menawarkan jasa perlindungan pribadi sekaligus menjalankan perannya sebagai
penjaga dunia di balik layar. Namun, kejadian di manggarai membuatnya waspada.
Sebagai agen lapangan, dia terbiasa untuk tidak mempercayai apa yang terlihat
dan senantiasa mengantisipasi segala kemungkinan. Dua peristiwa di Jakarta itu
menyadarkannya bahwa ada sesuatu yang besar telah terjadi. Sebuah konspirasi
berusia ribuan tahun tengah menjalankan rencananya, yang semula kawan ternyata
lawan.
“Setiap agama, kuno dan baru, di seluruh
dunia, memiliki mitos banjir bandang raksasa.” (hlm 292.
David
harus melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya, yang sampai saat itu masih
belum ketahuan siapa dan apa niatan mereka. Setelah diselamatkan oleh warga
setempat, dia memutuskan membalas dendam dengan menyerang tepat ke markas
musuhnya yang berada di tepi Teluk Jakarta. Dalam upayanya itu, dia berhasil
menyelamatkan Kate, dokter yang menangani kedua anak autis itu, dan keduanya
pun tanpa sadar telah memasuki sebuah konspirasi global terkait dengan pencarian
benua Atlantis, benua mitos dan dongeng yang konon tenggelam ke bawah lautan
dalam waktu satu malam. Apa kaitannya antara autisme dengan Atlantis? Dan
mengapa harus di Jakarta? Berbagai misteri terus bermunculan sehingga membuat
pembaca sulit untuk berhenti membaca novel ini. Penulis menggunakan teknik
menulis yang sama seperti yang digunakan Dan Brown, yakni dengan bab-bab pendek
dan sarat aksi. Begitu menegangkan cerita dalam lembar-lembar buku ini sehingga
membacanya tidak akan terasa menjemukan. Saya paling suka dengan bagian pertama
yang bersetting di Jakarta ini, begitu sarat aksi laga.
The Bell (die Glocke)
sumber: http://fc08.deviantart.net
Bagian kedua mengambil setting di Dataran Tinggi Tibet yang sampai sekarang masih menjadi daerah sengketa dan sarat konflik. Dalam biara-biaranya yang terisolir, David dan Kate mencoba mengungkap sebuah buku harian yang akan mengungkap semua sejarah tentang upaya pencarian Atlantis. Di bagian ini, pembaca juga akan diperkenalkan pada perangkat Lonceng, sebuah senjata rahasia yang konon pernah dimiliki oleh pasukan nazi. Lonceng ini mampu mengeluarkan getaran dengan intensitas yang sangat kuat, begitu kuatnya sehingga bisa membuat darah seseorang meledak. Selain itu, Lonceng juga menyebarkan sejenis wabah misterius yang belum pernah ada obatnya. Flu Spanyol yang pernah merebak pertengahan abad ke-20 juga konon disebabkan oleh bergetarnya lonceng ini. Lonceng pertama di temukan di sebuah pusat riset milik Immari di Tiongkok, dan mereka telah menggunakannya sebagai bahan percobaan baik terhadap binatang maupun manusia.
“… bahwa manusia tidaklah sempurna, manusia
bukanlah dewa, dan hidup dalam kesederhanaan adalah jalan untuk menjadi manusia
yang sesungguhnya.” (hlm 293)
Di
Tibet, David dan Kate berhasil menemukan tujuan Immari, dan bersama mereka
dalah para biksu Tibet yang selama ini sibuk menyembunyikan diri dari dunia.
Merekalah pewaris Atlantis yang masih tersia. Konon, setelah banjir besar yang
menenggelamkan Atlantis, orang-orang yang selamat mengungsi ke puncak-puncak
gunung yang tinggi untuk kemudian membangun kehidupan di sana. Mereka adalah
para Immaru, antitesa dari kaum Immari. Bagian kedua ini agak membosankan bagi
saya, karena dipenuhi oleh pembacaan jurnal yang ternyata sangat panjang dan
detail. Dari bagian awal yang sarat aksi, menyambung ke bagian kedua yang
isinya dikuasai oleh aktivitas membaca diari orang lain, sempat membuat saya
berlambat-lambat dalam membaca buku ini. Namun, diarinya memang sangat rinci
dan nanti akan terbukti di belakang bahwa pembacaan diari itu tidak akan
sia-sia.
Bagian
ketiga, kita diajak menuju Makam Atlantis, yang pintu gerbangnya ada di sebuah
tempat yang selama ini dianggap sebagai pintu gerbang menuju Atlantis, yakni
Gilbraltar. Tanjung yang ditandai dengan bubungan batu cadas menjulang ini
sering disebut sebagai Pilar Herkules dan merupakan salah satu lokasi benua
Atlantis yang paling populer. Sebuah struktur rahasia tersembunyi tepat di
bawah teluknya, digali langsung dengan pendanaan tak terbatas oleh Immari.
Proyek Gilbraltar inilah yang pengerjaannya dituliskan dalam jurnal yang dibaca
oleh David dan Kate di Tibet. Kejutan lain menanti, lokasi kedua ini juga
dilindungi oleh senjata Lonceng yang kedua, yang akibat penerebosan oleh Immari
pada era PD 2 telah menyebabkan timbulnya wabah Flu Spanyol yang merenggut
jutaan nyawa. Posisi Gilbraltal sendiri memang berada di ujung selatan negara
Spanyol sehingga negara inilah yang paling terkena dampaknya.
Dari Spanyol, petualangan berlanjut ke benua beku,
Antartika. Riddle memang mengambil setting yang tidak biasa dalam buku ini.
Setelah Jakarta, Tibet, Perbatasan Tiongkok, Gilbraltar, dan India; dia
kemudian mengajak pembaca menuju Antartika. Pemandangan dan petualangan eksotis
inilah yang membuat novel ini segar karena sejenak mengalihkan kita dari
setting Amerika Serikat atau Eropa yang selama ini terlalu sering digunakan
dalam cerita. Pada akhirnya, semua teka-teki tentang Atlantis akan terjawab di
sini. Apa sebenarnya Lonceng itu dan mengapa ada beberapa orang (salah satunya
Kate) yang tidak terpengaruh oleh getarannya? Juga, tentang Protokol Toba, apa
yang sebenarnya hendak direncanakan oleh Immari terhadap peradaban dunia yang
modern? A.G. Riddle dengan apik mengabungkan antara mitos Atlantis dengan
sejarah Perang Dunia, kemudian menghiasinya dengan setting yang eksotis serta
alur cerita yang bergerak cepat, dengan kejutan yang menanti pembaca di setiap
halaman.
“Agama adalah upaya putus asa leluhur kita
guna memahami dunia kita dan masa lalu … Agama juga memberi kita sesuatu yang
lebih: norma kehidupan, cetak biru mengenai benar dan salah, pedoman untuk
menuntun kehidupan manusia.” (hlm 290)
The Atlantis Gene menghadirkan berbagai
pengetahuan baru seputar Atlantis kepada pembaca. Dalam novel tebal ini,
berjejalan beragam informasi dan pengetahuan baru yang mungkin baru pertama
kali kita dengar, diantaranya mitos Banjir Besar yang ternyata sudah dua kali
terjadi di Bumi, tentang bencana Toba yang merupakan letusan gunung terakbar
sepanjang usia peradaban manusia Bumi, tentang misteri manusia Atlantis dan
kaitannya dengan pesawat alien, tentang gen Adam kromosom Y, tentang misteri
punahnya manusia Neanderthal, manusia Devonian, dan Homo floresiensis, serta penyebab berkembangnya Homo sapiens, tentang asal muasal
manusia pertama, juga tentang sekelumit ilmu bioteknologi dan autisme. Begitu
banyak dalam satu novel, dipadukan dengan cerita yang bergerak cepat dan penuh
kejutan.
Tidak
ada yang sempurna, pun demikian dengan novel Atlantis yang satu ini. Tema
pencarian terhadap benua Atlantis adalah tema yang sangat eksotis dalam sebuah
novel. Tapi, Atlantis sendiri yang masih bisa disebut sebagai sebuah mitos,
menawarkan terlalu sedikit data atau informasi untuk diolah. Alih-alih
menggunakan data-data yang sifatnya arkeologis seperti dalam tulisan Dokter
Santos, Riddle menggunakan alternatif fiksi ilmiah di novel ini. Dikisahkan,
bangsa Atlantis adalah bangsa yang pernah maju di Bumi ini. Peradaban mereka
ikut tersapu oleh Banjir Besar yang sudah dua kali menenggelamkan peradaban
kuno di Bumi. Lonceng adalah alat temuan mereka, yang digunakan untuk mencegah
manusia-manusia yang hendak menyelidiki rahasia teknologi Atlantis. Konsep
fiksi ilmiah yang unik sebenarnya, namun sangat kurang dari struktur logika.
1. Tentang Lonceng, apa dan bagaimana benda ini dibuat tidak
dijelaskan secara detail, atau paling tidak, secara logis. Hanya dikatakan
bahwa Lonceng adalah teknologi peninggalan bangsa Atlantis yang mampu membunuh
orang-orang non Atlantis. Bahan apa yang digunakan untuk membuatnya, bagaimana
cara kerjanya hingga bisa membuat darah manusia meledak, dan darimana sumber
dayanya berasal, masih belum dijelaskan secara rinci. Dalam pikiran pembaca,
Lonceng menjadi semacam alat yang sifatnya fantasi (berbau sihir) ketimbang
teknologi. Padahal ini novel thriller, bukan fantasi, sehingga penjelasannya
memang kurang memuaskan menurut saya.
2. Masih tentang Lonceng, waktu dikatakan melambat ketika
seseorang berada di sekitar Lonceng. Riddle menjelaskan hal itu terkait dengan
daya besar yang dibutuhkan oleh Lonceng, sesuatu semacam manipulasi gravitasi
yang bisa memperlambat waktu. Sebagaimana kita ketahui, waktu adalah konsep
yang abstrak dan terus berjalan maju, mustahil diperlambat. Konsep tentang
perjalanan waktu sendiri masih sangat diperdebatkan mengenai mungkin atau
tidaknya. Yang selama ini kita ketahui, ada kemungkinan waktu berjalan lebih
lambat atau lebih cepat ketika seseorang berada di dimensi lain atau ketika dia
sedang menaiki pesawat ruang angkasa yang melampaui kecepatan cahaya. Sering
kita jumpai, kisah-kisah tentang mereka yan tersesat di dimensi lain, dan 10
hari di sana ternyata bisa 10 tahun di Bumi. Walahualam. Tapi dalam kasus
cerita ini, Lonceng masih berada di Bumi, dan pastinya diperlukan kekuatan yang
luar biasa dahsyat untuk bisa membuat alat ini mampu melambatkan sesuatu yang
sekokoh waktu. Sayang sekali, penjelasan tentang perlambatan waktu ini
dijelaskan sedikit sekali oleh penulis, hanya karena manipulasi gravitasi dan
daya yang besar. Masih sulit saya terima secara alur logika.
3. Dalam bagian tiga, akan kita jumpai lagi hal yang masih
menimbulkan pertanyaan besar tapi tidak dijawab secara memuaskan. Setelah
perlambatan waktu, penulis menggunakan elemen fantasi lain dalam novel yang
seharusnya thriller-fiksi-ilmiah ini, yakni portal yang memungkinkan seseorang
berpindah melewati jarak ribuan kilometer dalam sekejap. Sayang sekali,
bagaimana portal ini bekerja tidak dijelaskan secara rinci, seolah penulis
melemparkan begitu saja tanggung jawabnya kepada bangsa Atlantis. Mengapa
portal ajaib itu bisa ada? Ya, karena itu teknologi bangsa Atlantis yang masih
misterius bagi kita. Udah gitu aja. Halah.
Untuk
terjemahan, menurut saya tidak ada masalah. Saya bisa tetap menikmati membaca
novel ini dengan nyaman dan mengalir. Mungkin hanya beberapa pilihan diksi saja
yang menurut saya bisa menggunakan alternatif lain. Salah satunya adalah “grup
teroris” (hlm 26) yang sebetulnya lebih enak kalau diganti “kelompok teroris.” Juga,
kata Cina yang sebaiknya diganti dengan Tiongkok sesuai dengan undang-undang
terbaru karena konsep “Cina” ini memiliki konotasi yang agak negative bagi
golongan tertentu. Juga di halaman 70, saya masih bingung dengan apakah itu
operatif karier, serta “semur daging sayur” di halaman 188.
Hal yang agak mengganggu
kenikmatan membaca buku ini adalah typonya, yang mohon maaf, agak banyak tapi
yang tidak terlalu banyak. Ada mungkin 15 atau 20 salah ketik, di antaranya
halaman 39 (do Cina, harusnya di Cina), hlm 49 (mentakan dusta, maksudnya apa
ya?), hlm 293 (mditasi = meditasi) lalu
saya menyerah menghitungnya saat sampai ke hitungan kesebelas atau ketiga belas
daripada mengurangi kenikmatan membaca. Hanya salah ketik satu huruf dan
jumlahnya saya kira dibawah 20, jadi bisa diabaikan.
Satu lagi dari sisi editing.
Untuk penulisan surel (email) sebaiknya menggunakan font yang berbeda. Misalnya
pada halaman 114 dan 182. Keduanya adalah cuplikan email yang hurufnya sama
persis dengan narasi novel, bahkan posisi tab-nya pun sama dengan paragraph
biasa. Bukan masalah besar sih, hanya saja jadi kurang terasa aroma surat
elektroniknya. Kalau nggak ngeh, bisa-bisa itu dikira bagian dari narasi atau
dialog novel. Paling tidak, paragaf itu bisa dibikin agak menjorok ke dalam
kemudian diratakan.
Hal yang sama juga terjadi pada penulisan jurnal di bagian
dua. Bagian ini didominasi oleh jurnal milik Patrick Pierce, dan sayangnya
bagian dari jurnal itu dicetak dengan font yang sama persis dengan narasi
novel, bahkan tab-nya pun tidak menjorok ke dalam. Mungkin, ini dilakukan untuk
menghemat halaman sehingga novelnya tidak terlalu tebal. Tapi, sebenarnya bisa
diakali dengan font yang lebih kecil, atau spasi yang lebih kecil, tidak harus
menjorok ke dalam semuanya. Yang jelas, pembaca bisa membedakan mana yang
menjadi bagian jurnal, dan mana yang adalah narasi novel.
jelas sudah. makasih mas dion. tentang Lonceng itu sepertinya akan dibahas di buku kedua. dan penulis memang menambahkan berbagai hal dalam karyanya, tapi menurutku masih masuk akal dan bisa dinikmati.
ReplyDeleteRaafi Ough, My Books!
Nemu buku ini diperpus kota, fokus ke cover, loh kok kaya monas, eh ternyata bener latarnya di indo. Btw, thanks tulisannya kerennn, jadi ada gambaran sblm baca, biar nggak blunder2 amat hehe
ReplyDelete