Search This Blog

Tuesday, February 17, 2015

City of Heavenly Fire


 24752558



Judul                    : City of Heavenly Fire
Pengarang          : Cassandra Clare
Penerjemah       : Meda Satrio
Penyunting         : Gita Nuari
Tebal, Cetakan  : 636 hlm, cetakan 1 2015
Penerbit              : Fantasious
Sampul                : Yhogi Yhordan



                Dalam seri keenam sekaligus terakhir serial The Mortal Instrumen ini, petualangan Clarry dan kawan-kawan mencapai titik puncaknya. Setelah ditempa dengan berbagai pertempuran, pengkhianatan, percobaan, hingga kehilangan dalm lima buku sebelumnya, cinta Clarry dan Jace sekali lagi diuji dalam sebuah pertempuran akbar melawan pasukan musuh yang semakin kuat. Kali ini, Sebastian telah mendapatkan sekutu dari salah satu ras dunia bawah, dan ditambah dengan pasukan tergelapkan miliknya, dia terus merangsek kaum pemburu bayangan. Sejumlah institut jatuh, banyak pemburu bayangan yang diubah menjadi Yang tergelapkan. Dan, Sebastian tetap saja tak terlacak. Kaum pemburu bayangan tengah berada dalam titik nadir. Keberadaan mereka yang telah menjadi penjaga dunia selama ribuan tahun terancam musnah. Tapi, tidak ada ceritanya kaum pemburu bayangan menyerah. Mereka melawan, walau dengan segala keterbatasan.

                “Pahlawan bukan selalu pihak yang menang. Mereka pihak yang kalah, kadang-kadang. Tetapi mereka terus berjuang dan mereka terus kembali. Mereka tidak menyerah. Itulah yang menjadikan mereka pahlawan.” (hlm 65)

                Serangan demi serangan pasukan Sebastian membuat Clarry dan kawan-kawan harus mengungsi ke Idris, berlindung di balik menara-menara penangkis iblis yang menaungi Allicante, ibukota sekaligus negeri dari kaum pemburu bayangan di penjuru dunia. Namun, bahkan di Idris pun mereka tidak aman. Tempat-tempat yang semula tak tersentuh menjadi rawan serangan, dan Sebastian sepertinya selalu memiliki rencana yang mampu mengantisipasi rencana kaum pemburu bayangan. Rapat pun digelar sementara di luar Idris pasukan tergelapkan milik Sebastian terus menyerbu institute dan bahkan sempat menyerang benteng milik Saudara Besi. Pasukan tergelapkan ini begitu kuat, mereka lebih cepat, hanya saja jiwa mereka telah mati. Mereka membunuh dan melukai sesama kaum pemburu bayangan, orang-orang yang dulu adalah keluarga mereka sendiri.

                “ … bahwa keluarga bukan berarti darah. Keluarga adalah orang-orang yang mencintaimu. Orang-orang yang menjagamu.” (hlm 79)

                Dalam satu atau dua kali kesempatan, Sebastian dan anteknya bahkan mampu menyusup ke Idris, berada di tengah-tengah keamanan Allicante yang terlindung menara-menara penangkis. Mereka bahkan menculik para wakil dunia bawah yang tengah mengadakan rapat di sebuah rumah milik perwakilan kaum peri di Idris. Dewan benar-benar kehabisan akal sementara Sebastian semakin kuat dan merajarela di luar Idris. Ketika sebuah tawaran datang, Clarry dan Jace tidak bisa mengabaikan lagi. Mereka harus menyerang Sebastian dan bukannya tetap diam menunggu. Bersama Alec, Isabelle, dan tentu saja Simon, berlima mereka menuju di alam iblis, tempat yang belum pernah ada seorang penghuni bayanganpun yang ke sana sebelumnya.

                “Sebenarnya bagus mempunyai orang-orang yang mencemaskanmu. Itu berarti bahwa mereka peduli. Dan dari situlah kau tahu mereka teman yang baik.” (hlm 289)

                Jika pernah membaca buku 1 sampai 5, pembaca pasti sudah tidak asing lagi dengan teknik penulisan Clare yang lebih banyak “main perasaan” ketimbang “main aksi”. Dengan kalimat lain, seri ini lebih banyak orang saling bicara ketimbang saling bertempur. Tetapi, entah bagaimana, penulis mampu mengolahnya sedemikian rupa sehingga meskipun kadang begitu panjang halaman-halaman yang harus dibaca sebelum ketemu lagi adegan aksi, novel ini sama sekali tidak membosankan. Percakapan-percakapan dalam karya ini sangat cerdas, kadang telak, kadang menampar, dan sering sekali begitu mengena sasaran. Banyak juga perenungan tentang hidup di dalamnya. Dengan kata lain, ada begitu banyak kalimat-kalimat indah yang bisa dikutip dari buku ini. Itulah kenapa saya memfavoritkan seri ini, padahal biasanya saya kurang suka dengan genre YA (karena banyak romance-nya). 

                “Senjata, bila rusak dan diperbaiki, bisa lebih kuat di tempat yang diperbaiki itu. Mungkin, hati juga sama.” (hlm 194)

                Secara aksi, COHF menurut saya belum bisa menandingi serunya Perang Mortal di buku City of Glass  (yang adalah puncak dari seri ini, bagi saya). Namun, buku ini semacam menjadi penutup yang manis sekaligus penyempurna yang menyenangkan untuk mengakhiri seri The Mortal Instrumen. Banyak hal-hal yang dulunya mengantung menjadi terjelaskan di buku ini, seperti bagaimana nasib Simon, hubungannya dengan Isabelle, dan (yang paling heboh tentunya) hubungan unik antara Magnus dan Alec yang so sweet abis. Terutama, bagaimana hubungan Jace dan Clarry yang tentu menjadi penggerak utama dalam seri ini. Ketika saya menutup halaman terakhir buku ini, terasa semacam kepuasan ganjil, seperti ketika kita pulang dari sebuah piknik yang menyenangkan. Sebuah kepingan indah yang entah bagaimana akan turut menyusun cerita kehidupan orang-orang yang membaca seri ini. 

                “Kita, pemburu bayangan, bersifat manusia(wi?) dan rentan berbuat salah. Tetapi, jika kita tidak memiliki kemampuan untuk mencintai, kita tiak bisa melindungi manusia; kita harus mencintai mereka untuk melindungi mereka.” (hlm 193)

No comments:

Post a Comment