Judul : City of Heavenly Fire
Pengarang : Cassandra Clare
Penerjemah : Meda Satrio
Penyunting : Gita Nuari
Tebal,
Cetakan : 636 hlm, cetakan 1 2015
Penerbit : Fantasious
Sampul : Yhogi Yhordan
Dalam seri keenam sekaligus
terakhir serial The Mortal Instrumen ini,
petualangan Clarry dan kawan-kawan mencapai titik puncaknya. Setelah ditempa
dengan berbagai pertempuran, pengkhianatan, percobaan, hingga kehilangan dalm
lima buku sebelumnya, cinta Clarry dan Jace sekali lagi diuji dalam sebuah
pertempuran akbar melawan pasukan musuh yang semakin kuat. Kali ini, Sebastian
telah mendapatkan sekutu dari salah satu ras dunia bawah, dan ditambah dengan
pasukan tergelapkan miliknya, dia terus merangsek kaum pemburu bayangan.
Sejumlah institut jatuh, banyak pemburu bayangan yang diubah menjadi Yang
tergelapkan. Dan, Sebastian tetap saja tak terlacak. Kaum pemburu bayangan
tengah berada dalam titik nadir. Keberadaan mereka yang telah menjadi penjaga
dunia selama ribuan tahun terancam musnah. Tapi, tidak ada ceritanya kaum
pemburu bayangan menyerah. Mereka melawan, walau dengan segala keterbatasan.
“Pahlawan bukan selalu pihak yang menang. Mereka pihak yang kalah,
kadang-kadang. Tetapi mereka terus berjuang dan mereka terus kembali. Mereka
tidak menyerah. Itulah yang menjadikan mereka pahlawan.” (hlm 65)
Serangan demi serangan pasukan
Sebastian membuat Clarry dan kawan-kawan harus mengungsi ke Idris, berlindung
di balik menara-menara penangkis iblis yang menaungi Allicante, ibukota
sekaligus negeri dari kaum pemburu bayangan di penjuru dunia. Namun, bahkan di
Idris pun mereka tidak aman. Tempat-tempat yang semula tak tersentuh menjadi
rawan serangan, dan Sebastian sepertinya selalu memiliki rencana yang mampu
mengantisipasi rencana kaum pemburu bayangan. Rapat pun digelar sementara di
luar Idris pasukan tergelapkan milik Sebastian terus menyerbu institute dan
bahkan sempat menyerang benteng milik Saudara Besi. Pasukan tergelapkan ini
begitu kuat, mereka lebih cepat, hanya saja jiwa mereka telah mati. Mereka
membunuh dan melukai sesama kaum pemburu bayangan, orang-orang yang dulu adalah
keluarga mereka sendiri.
“ … bahwa keluarga bukan berarti darah. Keluarga adalah orang-orang
yang mencintaimu. Orang-orang yang menjagamu.” (hlm 79)
Dalam
satu atau dua kali kesempatan, Sebastian dan anteknya bahkan mampu menyusup ke
Idris, berada di tengah-tengah keamanan Allicante yang terlindung menara-menara
penangkis. Mereka bahkan menculik para wakil dunia bawah yang tengah mengadakan
rapat di sebuah rumah milik perwakilan kaum peri di Idris. Dewan benar-benar
kehabisan akal sementara Sebastian semakin kuat dan merajarela di luar Idris.
Ketika sebuah tawaran datang, Clarry dan Jace tidak bisa mengabaikan lagi.
Mereka harus menyerang Sebastian dan bukannya tetap diam menunggu. Bersama
Alec, Isabelle, dan tentu saja Simon, berlima mereka menuju di alam iblis,
tempat yang belum pernah ada seorang penghuni bayanganpun yang ke sana
sebelumnya.
“Sebenarnya bagus mempunyai orang-orang yang
mencemaskanmu. Itu berarti bahwa mereka peduli. Dan dari situlah kau tahu
mereka teman yang baik.” (hlm 289)
Jika
pernah membaca buku 1 sampai 5, pembaca pasti sudah tidak asing lagi dengan
teknik penulisan Clare yang lebih banyak “main perasaan” ketimbang “main aksi”.
Dengan kalimat lain, seri ini lebih banyak orang saling bicara ketimbang saling
bertempur. Tetapi, entah bagaimana, penulis mampu mengolahnya sedemikian rupa
sehingga meskipun kadang begitu panjang halaman-halaman yang harus dibaca
sebelum ketemu lagi adegan aksi, novel ini sama sekali tidak membosankan.
Percakapan-percakapan dalam karya ini sangat cerdas, kadang telak, kadang
menampar, dan sering sekali begitu mengena sasaran. Banyak juga perenungan
tentang hidup di dalamnya. Dengan kata lain, ada begitu banyak kalimat-kalimat
indah yang bisa dikutip dari buku ini. Itulah kenapa saya memfavoritkan seri
ini, padahal biasanya saya kurang suka dengan genre YA (karena banyak
romance-nya).
“Senjata, bila rusak dan diperbaiki, bisa
lebih kuat di tempat yang diperbaiki itu. Mungkin, hati juga sama.” (hlm
194)
Secara
aksi, COHF menurut saya belum bisa
menandingi serunya Perang Mortal di buku City
of Glass (yang adalah puncak dari
seri ini, bagi saya). Namun, buku ini semacam menjadi penutup yang manis
sekaligus penyempurna yang menyenangkan untuk mengakhiri seri The Mortal Instrumen. Banyak hal-hal
yang dulunya mengantung menjadi terjelaskan di buku ini, seperti bagaimana
nasib Simon, hubungannya dengan Isabelle, dan (yang paling heboh tentunya)
hubungan unik antara Magnus dan Alec yang so sweet abis. Terutama, bagaimana
hubungan Jace dan Clarry yang tentu menjadi penggerak utama dalam seri ini.
Ketika saya menutup halaman terakhir buku ini, terasa semacam kepuasan ganjil,
seperti ketika kita pulang dari sebuah piknik yang menyenangkan. Sebuah kepingan
indah yang entah bagaimana akan turut menyusun cerita kehidupan orang-orang
yang membaca seri ini.
“Kita, pemburu bayangan, bersifat
manusia(wi?) dan rentan berbuat salah. Tetapi, jika kita tidak memiliki
kemampuan untuk mencintai, kita tiak bisa melindungi manusia; kita harus
mencintai mereka untuk melindungi mereka.” (hlm 193)
No comments:
Post a Comment