Judul : the Somplak Life
Pengarang : Ayra
Penyunting : Rezka
Sampul : Aan_Retiree
Cetakan: 1, November 2014
Tebal : 184 hlm
Penerbit : DIVA Press
“Menulis itu bukan apa, kenapa, atau siapa, tapi masalah komitmen diri sendiri akan apa yang ingin diraih.” (hlm 154)
Perkenalkan Ayra, 20 tahun, mahasiswi kedokteran gigi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bali, jomblo 2 tahun, penulis yang puluhan naskahnya ditolak oleh penerbit, dan menderita somplak tahap akut. Gadis biasa yang sangat menyukai drama Korea ini mengaku sebagai pribadi yang luar biasa, pribadi yang ceplas-ceplos serta apa adanya, namun juga berotak cerdas, ibadah jarang bolong, dan cerdas. Sebagai seorang ketua BEM (saya masih sulit membayangkan tampang seorang ketua BEM kampus dengan sifat somplak seperti Ayra ini), dia juga tegas saat memimpin rapat. Sepertinya, Ayra memiliki seluruh karakter tak sempurna yang diharapkan dicintai oleh para pembaca muda di era modern ini, karakter biasa dengan kualitas yang diam-diam luar biasa. Berkebalikan dengan drama Korea yang sering dia tonton, di mana pria sempurna jatuh hati kepada gadis biasa, Ayra sadar betul bahwa dirinya jomblo karena dirinya tidak cantik atau pandai berdandan. Tapi, Ayra tidak ambil pusing dan tetap maju dengan hidupnya. Alih-alih mengasihani diri sendiri, dia dengan bangga berkata:
“Hidup, kan, nggak kayak di drama Korea favorit gue, di mana cowok sempurna selalu jatuh cinta sama cewek biasa. Tapi, masalahnya gue kan nggak biasa. Gue luar biasa." (hlm 16)
Tapi, ada satu hal yang membuat Ayra dan novel ini berbeda dibanding karya-karya teenlit lainnya. Meskipun sama-sama berkisah tentang anak muda yang jomblo alias tunas asmara, Ayra masih memiliki cerita lain untuk dia bagikan, yakni tentang menulis. Sebagaimana telah disinggung di muka, Ayra adalah seorang penulis gagal yang puluhan naskahnya telah ditolak oleh banyak penerbit. Tidak ada satupun yang diterima, dengan revisi sekalipun. Dari awal membaca novel ini, pembaca sudah disuguhi oleh surat penolakan naskah dari penerbit, yang pasti sudah akrab bagi para penulis dan calon penulis. Bagi Ayra, naskahnya sama dengan dirinya yang masih jomblo, yakni sama-sama belum menemukan jodohnya. Nah, bagian menulis inilah yang unik dari novel somplak ini. Ayra tetap berjuang dan ceria meskipun naskahnya terus menerus ditolak.
“Hidup adalah pilihan dengan segala risikonya. “ (hlm 142)
Kualitas inilah yang menjadikan The Somplak Life sebuah novel remaja yang tidak biasa. Selain mengangkat tema cinta dan persahabatan, pembaca juga akan disuguhi dengan banyak sekali kalimat motivasi tentang menulis. Namun, hal ini tidak kemudian membuat novel ini kehilangan gregetnya sebagai sebuah cerita. Karena pada dasarnya, sebuah novel adalah bercerita dan bukan berceramah. Jadi, tenang saja. Pembaca masih tetap bisa menikmati kisah somplak Ayra dan kawan-kawannya (yang benar-benar diceritakan dengan sangat lucu dan khas anak muda) sekaligus mendapatkan banyak kalimat-kalimat penyemangat untuk menulis yang mungkin klise tetapi masih manjur untuk diterapkan, salah satunya tentang writer’s block yang merupakan momok utama bagi para penulis.
“Writer’s block syndrome itu memang ada. Tapi hanya berlaku buat mereka yang bergantung sama mood dalam menulis. Menurutku pribadi, Ay, mood itu nggak seharusnya jadi acuan utama dalam melakukan pekerjaan apapun, baik menulis atau lain hal. “ (Hlm 153)
Sambil menikmati kehidupan Ayra sebagai mahasiswi dokter gigi, pembaca juga akan menemukan kisah-kisah cinta Ayra di masa lalu. Juga, cowok-cowok keren yang berusaha mendekatinya. Khas kisah anak muda, pembaca juga akan menjumpai penggalauan si tokoh, adegan jatuh cinta, masa-masa ketika jantung dag-dig-dug tak karuan, dan elemen-elemen kisah remaja lainnya. Ini membuat The Somplak Life masih nikmat untuk dibaca. Dengan kata lain, meskipun menyisipkan pesan-pesan yang agak banyak mengenai dunia tulis-menulis, novel ini tidak kehilangan warnanya sebagai sebuah karya cerita. Ini adalah cara yang unik sekaligus baru untuk mengajak pembaca agar tidak pantang menyerah saat menulis. Sebuah perpaduan antara novel dengan buku tentang teknik menulis, unik bukan?
"Gue belum jadi siapa-siapa di dunia tulis-menulis. Tapi, gue yakin, (suatu) hari nanti gue bisa jadi penulis beken yang nggak sekadar ngetik naskah, kirim, terus terima royalty. Gue pengen jadi penulis yang menginspirasi dan melahirkan karya yang bicara, bukan sekadar buku bacaan yang habis dibaca, ditelantarkan begitu saja.” (hlm 61)
Bagi pembaca yang menginginkan membaca novel teenlit yang beda, yang tetap lucu namun juga bermutu, The Somplak Life dapat menjadi pilihan buku yang tepat untuk dibaca.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete