Search This Blog

Wednesday, July 23, 2014

Alien itu Memilihku



Judul : Alien itu Memilihku
Penulis : Feby Indirani
Sampul : Uwi Mathovani
Ilustrator : matahari Indonesia
Desain Isi: fajarianto
Tebal : 301 hlm
Cetakan: 1, 2014
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


22231610


                “Tuhan memang memiliki cara sendiri untuk mengangkat derajat seseorang.” (hlm 184)
Bagaimana perasaanmu ketika dokter menvonismu terkena sebuah kanker langka di usia 30-an tahun? Umur 30-an ibarat usia emas saat seseorang mencapai puncak produktivitasnya, memulai menikmati dan merasakan tangga naik yang telah ditapakinya semenjak lulus kuliah. Bagi seorang Indah Melati Setiawan, usia yang semestinya diisi dengan perjuangan dan kesempatan untuk bisa merasakan merintis puncak dunia itu ternyata menjadi usia ketika kehidupannya mengalami titik balik 180 derajat. Dokter menvonisnya terkena kanker ewing Sarcoma yang seharusnya tidak menyerang orang dewasa seusia dirinya. Takdir memang tidak bisa diduga. Kemajuan dunia medis hanya bisa mengantisipasi, tetapi kehidupan adalah satu hal milik Tuhan yang hanya Dia yang bisa membolak-baliknya sekehendakNya. 

Penyakit bisa datang kapanpun, dan mungkin dari situ, Dia hendak memberikan pelajaran kepada kita, manusia-manusia yang terlalu sering bersikap sombong dengan kemajuan teknologi yang kita raih. Tetapi, di sisi lain, kanker juga kadang merupakan bentuk mukjizat yang diturunkan Tuhan kepada umat-Nya. Bagi mereka yang tidak kenal menyerah, melalui kesembuhan dari penyakit itu seolah Tuhan hendak bersabda bahwa “keajaiban itu masih ada,” dan Indah Melati Setiawan adalah salah satu bukti keajaiban-Nya.

                “Kamu tidak pernah tahu, mungkin Tuhan sedang menempamu untuk menjadi orang yang luar biasa dengan memberimu penyakit kanker ini.” (hlm 183)
                Buku Alien itu Memilihku adalah sebuah memoir dari Indah Melati Setiawan yang harus menjalani berbagai perawatan untuk melawan kanker sejak tahun 2009 di National University Hospital di Singapura. Memoar itu kemudian dituliskan ulang menjadi lebih tertata oleh penulis Feby Indirani sehingga lebih mudah dibaca dan diikuti kisahnya bagi pembaca awam. 

Melalui buku ini, pembaca seolah diajak oleh Indah untuk turut menjalani hari-hari kanker yang ia jalani selama perawatan. Hari-hari ketika ia harus menahan perih tak terkira, nyeri nan tak tertanggungkan. Tapi, hari-hari kanker itu juga telah memberikan kesempatan kepadanya untuk “rehat” sejenak dari berbagai aktivitas keseharian yang  selama ini membuat dunianya berputar. Well, dunia memang masih berputar dan waktu terus berlalu ketika Mbak Indah terbaring pasrah di tempat tidur rumah sakit, tapi selama masa perawatan itu juga Indah berkesempatan untuk merenungkan kembali tentang makna kehidupan, tentang masa lalu, tentang keluarganya, tentang agama, juga tentang hal-hal umum yang sering kali kita abaikan dan baru terpikirkan ketika sakit tengah mendera.

                “Ada yang lebih mengerikan daripada menjadi tua, yaitu menjadi tua dan kesepian.” (hlm 99)

                Dimulai dari kisahnya sebagai seorang keturunan perantauan dari Tionghoa di Indonesia. Bagaimana ayahnya yang seorang pekerja keras berusaha membawa keluarganya ke taraf kehidupan yang lebih baik. Lalu, kisah cinta pertamanya, yang akhirnya mengkhinati dirinya sebagaimana sel-sel tubuhnya yang juga turut mengkhianati dirinya. Ketika akhirnya alien yang berwujud kanker itu mulai menyeretnya ke lubang tak berdasar bernama kematian, Indah mulai belajar untuk menerima semuanya sebagai sebuah takdir yang harus dijalani, sebagai sebuah pembelajaran hidup yang pahit, nyeri, dan mahal tetapi memang dia harus menjalaninya. Dan, disela-sela deraan rasa nyeri dan tusukan jarum suntik yang entah sudah berapa banyaknya, Indah masih diberi kesempatan untuk mensyukuri hidup yang dia jalani. Ada perbedaan besar antara memandang kehidupan lewat pandangan orang biasa dan lewat pandangan seorang penderita kanker ganas. Yang pertama sering kali menyia-nyiakannya, sementara yang kedua selalu berharap bisa meraihnya kembali. Melalui buku ini, kita yang insya Allah semoga senantiasa dibeir kesehatan, bisa belajar untuk lebih menghargai kehidupan ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 


Kutipan Keren:
                Dunia digerakkan oleh keseimbangan. Walaupun kesan muram dan suram begitu mendominasi buku ini, penulis mengimbanginya dengan berbagai petuah dan kalimat penuh harapan yang layak untuk kita renungkan. Berikut ini sejumlah kutipan keren yang bisa ditemukan di buku ini.

Ketika kau sakit parah, akan terasa kecantikan fisik tidaklah sebegitu pentingnya, hingga layak ditebus dengan rasa sakit.” (hlm 215)

“Dalam keadaan sulit, dukungan dari keluarga dan orang dekat adalah hal yang paling penting.” (hlm 240)

“Penerimaan ternyata memang bukan sesuatu yang bisa terjadi sekaligus, tapi harus dilakukan berulang-ulang.” (hlm 256)

“Cedera kaki bisa cepat diobati, tapi cedera hati?”  (hlm 261)

“Ada hal-hal yang memang hanya bisa dipulihkan oleh waktu. Aku rasa patah hati adalah salah satu di antaranya.” (hlm 264)

“Membuat buku mungkin juga bisa menjadi terapi penyembuh bagi dirimu sendiri.” (hlm 270)
 “Waktu adalah kehidupan kita dan setiap orang memiliki waktu yang sama, ketika kita kehilangan waktu kita, maka sebenarnya kita telah kehilangan kehidupan kita.” (hlm 271)

“Aku mulai belajar bahwa hal-hal kecil sering kali memang hanya hal kecil yang tidak perlu menguras energy terlalu besar. Aku juga belajar untuk melihat hal yang ada di balik penampakan luar, yang kadang menyamarkan esensi sebenarnya.” (hlm 272)

“Mungkin, hanya itulah kewajiban setiap dari kita. Memberikan apa yang kita punya dengan cara apa pun yang kita bisa.” (hlm 279)

2 comments:

  1. Penasaran pengen baca. Pasti nilai moralnya sangat banyak. Seperti bukunya It Happened to Nancy

    http://bukuguebaca.blogspot.com/2014/06/it-happened-to-nancy-anonim.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buku ini sebenernya bagus, banyak banget kata2 inspiratif di dalamnya. Hanya saja, nuansanya suram mendominasi, bukan nuansa mengharukan yang bikin trenyuh. Entahlah, sepertinya kurang halus saja memfiksikan kisah yang sesungguhnya luar biasa ini.

      Delete