Search This Blog

Thursday, June 19, 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang : Eka Kurniawan
Penyunting : Mirna Yulistianti
Sampul : Eka Kurniawan
Tebal : 243 hlm
Cetakan : 1, Mei 2014
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

21433310

Satu lagi karya Eka Kurniawan diluncurkan padahal saya sendiri belum selesai membaca Cantik itu Luka. Sebagaimana tertulis di sampul belakang, sastrawan ini kembali menyuguhkan sebuah prosa yang tak biasa, yang semakin memperkuat sosok dirinya sebagai an unconventional writer di Indonesia. Tema-tema yang dipilihnya selalu sederhana dan merakyat, namun di kedalamannya tersimpan ribuan makna serta pesan-pesan yang mengumpat kondisi zaman, juga pemerintahan. Pun dalam karya terbarunya ini, yang bertebaran dengan kata-kata vulgar seputar selangkangan pria dan wanita, pesan tersiratnya mencuat sangat kuat, begitu meninggalkan kesan dalam benak pembacanya. Bacalah kalimat pertama dalam novel ini, dijamin langsung tersentak. Teknik membuka cerita yang sangat hebat!

Kira-kira setting novel ini kemungkinan di Orde Baru tahun 1970 – 1980-an (meskipun tidak tersebut secara tersurat dalam kisahnya), pembaca sebaiknya menduga-duga saja. Tapi ada sejumlah petunjuk seperti tentara yang masih sangat berkuasa, Barry Prima dan Silvester Stalone, tidak ada telepon genggam apalagi internet, juga stasiun Gambir masih bisa digunakan untuk kereta kelas ekonomi ke Jogja. Banyak sekali penulis menebar ranjau-ranjau sejarah terkait Orde Baru (semoga saya tidak keliru menyimpulkan) sehingga melalui perjalan hidup Arjo Kawir, kita seperti menelisik ke sudut-sudut kelam dari sebuah rezim pembangunan.

                 Konon di masa rezim penuh kekerasan, dua orang polisi tengah memerkosa seorang perempuan gila. Dua remaja tanggung usil mengintip perbuatan mereka sampai akhirnya salah satunya ketahuan dan tertangkap basah mengintip. Maka dihukumlah si remaja tanggung itu dengan menyuruhnya memasukkan burung miliknya ke liang kenikmatan si wanita gila. Sejak saat itu, si burung tak pernah terbangun lagi. Burung itu milik Arjo Kawir. Berbagai cara dilakukan di Arjo Kawir untuk membangunkan burungnya, yang merupakan prasyarat paling mendasar dari seorang pria agar dia bisa disebut pria yang jantan. Si Tokek, kawan Arjo Kawir yang mengajaknya mengintip merasa sebagi yang paling bertanggung jawab, dan, berdua, mereka mencari obat untuk membangunkan lagi si burung.
Tapi semua sia-sia, metode urut, usap, oles, isap, remas, video, rabaan, obat, hingga guna-guna, semuanya sia-sia. Si burung tetap tertidur dengan cantiknya.

                Keadaan semakin menyedihkan bagi Arjo Kawir ketika dia bertemu wanita pujaannya, dan semakin sulit ketika wanita itu, si Iteung, ternyata juga jatuh cinta kepada Arjo Kawir. Gejolak nafsunya sebagai pria normal tak terbendung lagi, tapi apa daya lha wong senjatanya saja letoy tak berguna. Tetapi cinta sekali lagi membuktikan diri lebih tinggi dari sekadar nafsu semata. Melalui ******** Arjo Kawir akhirnya menemukan cara untuk memuaskan kekasihnya. Jadilah mereka menikah, dan untuk sementara Arjo Kawir bisa melupakan kesedihannya akibat burungnya yang tidak bisa berdiri.

                Sayangnya, cobaan kembali datang. Kali ini lebih dahsyat: si Iteung hamil! Arjo Kawir kembali mengumpat, menyalahkan burungnya yang tidak bisa berdiri, sehingga istrinya mencari jalan ke pria lain. Ronde kedua kehidupan ARjo Kawir dimulai. Ia kembali meninggalkan rumah dan menjadi seorang supir truk yang bolak-balik ke pedalaman Sumatra – Jawa. Tapi, untunglah dia pergi, karena dengan begitu pembaca disuguhi lagi kehidupan keras di jalanan ala supir-supir truk. Luar biasa bagaimana Eka Kurniawan menggambarkan kehidupan para sopir, dengan saling menyalip dan kebut-kebutan walau sarat muatan, cerita-cerita di pom bensin yang jarang kita dengar; dan sementara itu, burung Arjo Kawir tetap tidak mau bangun juga.


                Sebuah tulisan hebat selalu meninggalkan bekas mendapat di benak pembacanya. Novel ini salah satunya. Tidak melulu menghadirkan kisah yang happy ending dan sempurna, sebuah karya sastra yang bagus adalah yang mampu mempengaruhi pembaca untuk bergerak setidaknya ke arah yang lebih baik. Dia mengubah pembacanya. Walau banyak sekali umpayan dan kata-kata sar* di buku ini, tetapi perjuangan dan kisah hidup Arjo Kawir ibarat perjuangan sang sunyi yang mencoba melepaskan diri dari ingar bingar dunia, untuk menjadi tentram kembali, untuk menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur; dan itu dapat diraih melalui pengalaman. Arjo Kawir telah membuktikan, betapa segala tindakan selalu ada konsekuensinya. Dan begitu pula, selalu ada imbalan untuk setiap kebaikan. 

8 comments:

  1. Mas Dion, kenapa jadinya yang ini? #protes

    Mana Kazuo Ishiguronya?

    ReplyDelete
  2. aduh, saya. akan. membeli. buku. ini. Reviewmu menggoda, dioonnn

    ReplyDelete
  3. buku ini baru masuk ww-ku minggu ini. pas baca ripiu mas dion ini, jadi bener-bener pengin baca niihh....

    ReplyDelete
  4. Beeeh, baca review gini waktu lagi puasa berasa piye gitu :))
    Kemaren waktu Femina Writing Clinic ketemu dengan Eka dan sudah terlihat "nyentrik"nya ini orang. Somehow, entah kenapa ni orang rada mirip2 Bang Ijul :))

    ReplyDelete
  5. Jadi semakin yakin untuk baca buku ini >.<

    ReplyDelete
  6. waaah seru nih premisnya, hahaha... kebayang stressnya si kawir :D dan penasaran sama endingnya juga...

    ReplyDelete
  7. Setelah membaca komen di kuis dan sekali lagi mampir di postingan ini. Kayaknya must read..
    *novel hebat* kata mas dion :)

    ReplyDelete