Search This Blog

Sunday, June 29, 2014

Bangkok, the Journal


Judul : Bangkok, the Journal
Pengarang : Moemoe Rizal
Editor : ibnu Rizal
Proof: C. Simamora
Sampul : Jeffri Fernando
Cetakan : 1, 2013
Penerbit : Gagas Media
 


Ini buku STPC pertama yang saya baca. Kehebohan seri ini di luar sana sudah begitu rupa riuhnya sehingga berhasil menangkap rasa penasaran akan bagaimana isi sebenarnya dari buku seri STPC itu. Mengapa banyak pembaca memberikan bintang 4, bahkan 5 di Goodreads untuk seri ini? Apa konsep unik yang dibawa oleh seri buku ini? Bagaimana perbedaannya bila dibandingkan dengan buku-buku romansa-chiclit-metropop yang menjamur akhir-akhir ini? Akhirnya, semua dorongan itu (ini sebenarnya hanyalah alasan yang saya buat-buat untuk menutupi obsesi membeli buku baru saya padahal di rumah masih ada 300-an yang berstatus “unread” #plakkk) memaksa saya untuk membeli buku ini. Buku yang benar-benar not my cup of tea. Tapi salahkan Goodreads, salahkan para blogger buku yang telah memaksa saya membeli Bangkok, The Journal (padahal sejatinya saya sendiri yang pengen beli buku STPC sejak lama). Selalu salahkan orang lain, asal jangan saya! *ngumpet di balik timbunan.


          Seri Setiap Tempat Punya Cerita adalah salah satu wujud kreatif Gagasmedia dalam meluncurkan tema-tema cerita cinta yang sebenarnya itu-itu saja dengan kemasan baru yang lebih fresh, menarik, dan unik. Salut pada Gagasmedia yang mampu meluncurkan sejumlah seri novel bertema serupa dengan judul-judul nama kota di dunia. Konsep ini didukung dengan bonus sisipan model kartu pos bergambar ikon dari kota yang menjadi judul serinya. Karena seri ini judulnya Bangkok, maka carte postale yang disisipkan pun bergambar salah satu kuil di kota Bangkok di tepian sungai Chao Praya nan terkenal itu. Konsep penyisipan kartu pos ini saya akui sangat unik dan jarang terpikirkan oleh penerbit maupun pembaca di Indonesia. Ini adalah salah satu teknik pemasaran yang luar biasa, beli buku selain dapat cerita juga bisa dapat kartu pos yang bisa dikoleksi. Apa-apa yang jenisnya berseri biasanya meminta untuk dikoleksi, dan seri STPC mengaet pembaca untuk membeli lewat dua cara: cerita dan kartu pos penuh memori di dalamnya. Saya beri nilai 100 untuk kreativitas pengemasan STPC ini.


     Sekarang tentang cerita dalam Bangkok, the Journal. Secara awam (karena saya termasuk awam sebagai pembaca—buku-buku romance—dan juga pelaku yang awam dalam hal-hal berbau romance *curhat deh lu*) cerita di buku ini masih belum keluar dari pakem standar. Bangkok adalah perpaduan antara cerita romansa dari sepasang sejoli yang sudah mapan, memiliki karier dan biasanya masih sama-sama single, kemudian memiliki masalah yang unik, dan kemudian dipersatukan atas nama cinta. Plus, bonus jajaran kata-kata mutiara yang sarat akan nilai-nilai luhur cinta dan kehidupan. Bangkok semacam novel yang sepertinya lebih banyak pembaca wanitanya, walau banyak juga pembaca cowoknya (saya ini apa coba?). Bedanya, setting-nya mengambil tempat di kota Bangkok. Menurut saya, kota Bangkok dan carte postale itulah yang menjadi keunggulan utama buku ini. Settingnya digarap dengan apik dan urut, seolah-olah penulis sedang mengiming-imingi pembaca yang belum pernah pergi ke Bangkok. (Kasian deh lo, Yon!)


       Edvan Wahyudi (satu poin yang membuat saya memilih Bangkok adalah penggunaan sudut pandang orang pertama tunggal yang berjenis kelamin cowok. Jarang kan buku romance tapi ditulis dari sudut pandang cowok?), seorang arsitek sukses yang bermukim di Singapura mendapatkan sebuah sms dari adiknya di Bandung. Sebuah sms duka cita yang mengabarkan bahwa ibunya baru saja wafat. Sudah 10 tahun keduanya putus kontak. Edvan pergi dari rumah karena menentang keputusan ibunya yang menurutnya terlalu buta dalam mendukung keputusan adiknya, Edvin, untuk menjadi seorang transgender.  Dari adiknya, yang sudah “berubah” menjadi seorang wanita cantik bernama Edvina, Edvan tahu bahwa ibunya meninggalkan satu jurnal berisi petunjuk untuk mencari 6 jurnal lain yang sudah tersebar di Bangkok 30 tahun yang lalu. Jurnal-jurnal itulah peninggalan terakhir ibunya, dan sebagai anak yang telah menghilang selama 10 tahun dan tidak berada di samping ibunya saat wafatnya, Edvan pun tergerak untuk memenuhi permintaan terakhir sang ibu.


“A mother is one to whom you hurry when you are troubled.” (hlm 2)


         Bangkok menjadi kota tujuannya, tenpatnya mencari harta karun peninggalan sang ibu. Yang tidak disadari Edvan, Bangkok tidak hanya menghadirkan keindahan arsitektur kuil-kuil (he is an architect if you know what I mean!). Kota itu juga menawarkan senyum tulus seorang guide bernama Charm yang memiliki pesona seindah namanya. Dari gadis inilah, Edvan kemudian belajar banyak tentang arti sebuah keluarga (“Family helps family,” kata Charm), juga tentang menjalani kehidupan di tengah segala keterbatasan, serta pada akhirnya, belajar tentang cinta dan mencintai. Charm, gadis yang begitu sederhana, tetapi ia begitu kaya akan semangat dan kekuatan, serta penerimaan dan penghargaan pada kehidupan. Edvan belajar banyak dari cewek ini.


     “Resep sabar apa, Khun? Aku hanya melakukannya dengan senang hati. Kita hanya hidup satu kali di dunia ini. Kenapa harus frustrasi pada masalah-masalah yang kita hadapi? Buat saja itu petualangan. Or something fun.” (hlm 189)


       Tidak kebetulan penulis memilih setting Bangkok dan tema transgender dalam novel ini. Sebagaimana kita ketahui, banyak warga Thailand yang mengubah jenis kelaminnya, mereka ini sering kita sebut sebagai kaum waria atau transgender. Dan, jangan ditanya kaum transgender Thailand yang memang cantik-cantik itu, sampai-sampai ada iklan “lulur banci Thailand” yang konon bisa memutihkan dan menghaluskan wajah seketika (kok saya tahu yang beginian sih #plakk). Kembali kepada Edvan, jurnal-jurnal itu oleh mendiang ibunya dititipkan kepada orang-orang yang tersebar di Bangkok. Maka, dengan dibantu Charm (yang ia sewa sebagai pemandu), Edvan mengajak pembaca menelusuri liku-liku kota Bangkok hingga sudut-sudutnya, begitu lengkap tapi tanpa menjadikan buku ini Lonely Planet.

        Bangkok mengajarkan Edvan untuk berdamai dengan masa lalunya. Bahwa sebuah keluarga tetaplah keluarga, tidak peduli perubahan yang telah terjadi para anggotanya. Selain kisah cinta yang “begitu-begitu juga akhirnya”, novel ini mengugah sekaligus mencolek pandangan kita tentang keluarga. Baik atau buruknya, harus kita terima dan kita rangkul, bukannya malah dijauhi. Tidak ada keluarga yang sempurna, tetapi banyak keluarga yang sedang berusaha menjadi sempurna dengan saling memperbaiki diri, saling memahami dan mengerti, dan saling menghargai. Sebuah cerita tentang kekeluargaan dan travelling nan menghangatkan. Cerita yang utuh dengan konsep unik serta jelas digarap lewat riset terlebih dulu. Saya mungkin akan membaca Swiss atau London. Ada yang mau minjemin? #eh



Masukan:

  1. Tokoh cowoknya terlalu standar sih a.k.a kaya raya, mapan, banyak uang, perut sixpacks, tinggi, arsitek lagi hih (bilang saja lu iri, Yon!)
  2. Itu font yang buat nulis jurnal kok kecil-kecil dan dempetan gitu sih, bacanya bikin mata pegel.




                 
 

6 comments:

  1. Kalo gitu yang menonjol dari buku ini sisi keluarganya bukan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, sisi cintanya sih begitu-begitu juga, tapi pesan kekeluargaannya menurut saya yang bagus di novel ini.

      Delete
  2. Oohh... ada soal transgender segala ya di novel ini... baru tau -_-'

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hum, kayaknya ngomongin Bangkok tanpa tema ini kurang lengkap deh

      Delete
  3. Saya kasih bintang lima di GR karena ditodong moemoe wkwkwk :p

    ReplyDelete