Search This Blog

Tuesday, July 1, 2014

Guilty Pleasure



Judul : Guilty Pleasure
Pengarang : Christian Simamora
Editor : Alit Tisna P
Proof: Jia Effendie
Cover : Jeffry Fernando
Cetakan : 1, 2014
Penerbit : Gagas Media

 21942347

                Seperti buku-bukunya yang lain, Guilty Pleasure adalah semacam bacaan yang konsisten memberikan apa yang selayaknya diberikan oleh sebuah bacaan yang bagus: pengalihan. Membaca novel-novel ChrisMor—terlepas dari segala pro dan kontranya—selalu berhasil membuat kita teralihkan sejenak dari dunia nyata ke dunia serba hedonis yang ditawarkan penulis. Entah apakah kecenderungannya begitu atau tidak, saya baru membaca 3 karya beliau dan rata-rata saya menjumpai setting yang sama: lingkungan urban, pekerjaan mapan, dan fisik yang bikin mata jelalatan.  Oh iya, itu plus bahasa Inggris yang tumpah-tumpah dan kadang terlalu sophisticated (alias terlalu rumit maknanya, kudu buka-buka kamus atau googling kata-kata slang). Sebagai sarjana bahasa Inggris saya merasa gagal (--_--). Tapi, kita ambil hikmahnya, paling tidak saya jadi tahu apa itu puh-lezzzz (yang awalnya saya kira tidur pules) dan ebiji (itu biji apa coba? #eh).

                Langsung ke cerita, ceritanya diawali dengan tabrakan. Ya, tabrakan yang tidak disengaja, yang juga menabrakkan dua hati yang berbeda. Untung, penulis sudah mengakui di cover belakang bahwa ceritanya diawali oleh tabrakan. Dan, bukan ChrisMor namanya kalau tidak bisa mengolah adegan tabrakan menjadi adegan yang layak tayang. Peristiwanya simple, tapi di tangan penulis yang piawai, ceritanya jadi unik dan menarik. Tabrakan itu mempertemukan Devika (seorang artis yang terkenal dengan peran-peran antagonisnya) dan Julien (another J-boyfriend who is damn rich, tall, and of course six packs, bleh). Entah disengaja atau tidak, karakter cowok sempurna fisik dan batin selalu nonggol di buku-buku penulis ini. Kadang bikin tidak realistis. Saya malah paling suka sama karakter di Shit Happens, yang walau banyak kekurangan tetapi terbaca lebih realistis.

                Jadi, seperti yang bisa ditebak-tebak, tabrakan fisik mengarah pada tabrakan dua hati. Si cewek cantik dan berkelas, sementara cowoknya tajir dan ganteng, kurang apa lagi? Kalau sudah lurus-lurus bosen sih ya, makanya penulis dengan cerdasnya membikin konflik dengan menjadikan si Julien ini berumur … tada … 40 tahun. Yup, om-om saudara-saudari. And Devika falls in love with a man who is old enough to be her uncle! Okay, ini baru menarik. Saya tidak bermasalah dengan pernikahan beda usia. Dan, hebatnya penulis, dia bisa menjadikan sosok Julien ini diidolakan oleh pembaca lewat rambut garam-mericanya (bayangin senbentar gimana ya rambut garam merica itu). Tidak ada kualitas lain yang membuat wanita jatuh cinta pada pria yang lebih tua kecuali kedewasaannya. Ini, ditambah fisik Julien yang “membosankan” tadi, plus kekayaannya, bikin Devika klop.

                Konfliknya cukup unik, tapi menurut saya agak berlebihan. Hanya gara-gara Julien belum bisa melupakan masa lalunya, trus Devika ngambek. Tetapi, hal yang simple seperti ini bisa jadi unik kalo di tangan penulis yang berpengalaman. Endingnya juga sudah bisa ditebak sih, they are happily ever after … in Paris. Satu hal yang saya kurang cocok adalah saat Julien mengejar-ngejar Devika seperti ebiji-ebiji. Yah, saya akui, cinta memang bisa membuat seseorang berubah. Cinta bisa mendorong orang melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Tapi, cara Julien menurut saya terlalu “alay” jika mengingat usianya yang sudah 40 tahun dan posisinya sebagai CEO yang sukses.

                Keunggulan lain dari karya ini adalah kepandaian penulis merajut kata. Melalui kisahnya, dia sampaikan petuah-petuah hidup dengan cara yang sangat halus, tidak menggurui. Hal-hal simple semacam beda cinta dan cemburu buta, tentang masa lalu yang bagaimanapun sudah tak mungkin tergapai lagi, juga tentang kebahagiaan diri ala orang-orang urban. Judul-judul babnya juga unik, plus humor urban dan beberapa adegan agak menjurus yang “seperti biasa sangat nggak Indonesia banget” turut menjadi  poin plus-plus hihihi. Tapi, jujur saya masih menanti ChrisMor menulis novel-novel dengan cara yang lebih realistis tapi tetap tidak kehilangan unsur humor slapstick seperti pada Shit Happens.  

NB: Saya cuma minjem lho ini. *ditegasin lagi

No comments:

Post a Comment