Search This Blog

Tuesday, April 1, 2014

Prophecy of the Sisters

Judul : Prophecy of the Sisters
Pengarang : Michele Zink
Penerjemah : Ida Wadji
Editor : Aisyah
Proofreader : Tisa Anggriani
Penerbit : Matahati
hlm: 359 hlm




                Dua bersaudari, Amalia dan Alice Milthorpe terlahir kembar. Keduanya ditakdirkan menjadi Sang Gerbang dan Sang Garda, dua penjaga yang bertugas melawan dan menghalangi bangkitnya Samael, Sang Iblis, yang hendak dilahirkan ke dunia. Kedua mewarisi takdir yang juga diemban oleh ibu dan bibi mereka, juga nenek dan nenek bibi mereka, dan generasi-generasi sebelumnya. Sebuah tugas yang mengikat wanita di keluarga itu sejak awal zaman. Begitulah konsep dasar novel ini, dua bersaudari yang ditakdirkan menjaga dunia dari serbuan iblis. Hadeh, dari sini sudah kelihatan banget betapa lemahnya cerita ini. Dua wanita yang apes banget ditugaskan menjaga gerbang iblis agar tidak terbuka, dan ini berjalan turun menurun dalam sebuah keluarga, apa ya dosa keluarga ini sehingga harus menanggung takdir yang luar biasa berat begini?

 Dan, mau tak mau saya harus menyatakan bahwa si penulis ini seksis. Untuk tugas menjaga gerbang iblis, penjaganya hanya dua dan keduanya cewek! Bayangkan, ini tugas besar dan yang menjalankannya dua gadis! Bukannya saya meremahkan kekuatan wanita ya (jujur saya sangat suka dengan wanita-wanita yang heroine begini), tapi kan umat manusia ada pria dan wanita, dan untuk tugas yang sangat menentukan takdir seluruh umat manusia ini, masak iya dua-duanya cewek?  Perlu dipertimbangkan juga bahwa faktanya cewek lebih cenderung menggunakan kemampuan emosionalnya ketimbang rasionalnya. Dalam menghadapi godaan iblis yang luar biasa picik, seharusnya dibutuhkan pertimbangan logika pria dan kekuatan emosional wanita. Bahkan, hampir semua jagoan dalam buku ini cewek! Beuhhhh … kentara banget nih Charmed wanna be!

                Dan, akhirnya terbukti kalau kisah ini gagal. Banyak Gerbang yang akhirnya bunuh diri karena tidak tahan dengan godaan iblis. Kasusnya terjadi pada ibu si kembar, yang kemudian menyusul ayahnya. Aduh apes banget mereka. Belum cukup, si Alicia ternyata telah jatuh ke dalam pengaruh iblis. Ia yang sebenarnya menjadi Gerbang, dan Amalia Gardanya, sang garda yang harus menjaga sang gerbang, itu sebelum operasi Caesar membuyarkan ramalan kuno tentang dua bersaudari ini. Temanya kisah ini sendiri adalah penyihir ala Amerika Serikat, di mana kaum wanitalah yang dikatakan lebih umum menjadi penyihir, itulah kepada jago-jago sihir di buku ini semuanya cewek. Yah, ayah si kembar juga jagoan sih, tapi perannya minim. Bahkan Henry, adik si kembar, satu-satunya lelaki di keluarga itu digambarkan (maaf) berkursi roda dan sakit-sakitan. Tuh kan penulisnya seksis banget.

                 Untuk bangunan kisah selanjutnya bisa dibayangkan oleh pembaca sendiri. Si Amalia ini harus berjuang untuk menghadapi godaan Iblis Samuel yang berusaha membujuknya untuk membuka gerbang. Di sisi lain, saudrai kembarnya telah menyatakan perang kepadanya. Kedua bersaudari ini telh ditakdirkan untuk saling memusuhi: satunya hamba kejahatan dan satunya lagi hamba cahaya. Amalia telah memilih. Ia adalah gerbang tetapi ia memiliki sifat seorang garda. Sementara Alicia ternyata adalah hamba kejahatan yang telah dididik oleh sang iblis sendiri sejak lahir. Keduanya telah memilih, dan perang antar saudari kembar ini dimulailah. Coba bayangkan: dua saudari kembar, satu jahat satunya baik, benar-benar tidak ada wilayah abu-abu, dan keduanya tinggal dai satu rumah, haloooooo? Tentang bagaimana kisah selanjutnya, saya hanya bisa bilang kalau saya tidak suka dengan kisah ini. Setelah membaca berpanjang-panjang dan endingnya hanya “kejebur sungai” dan udah gitu doang! *gemes sambil gigit-gigit panci ramuan*

                Satu hal yang saya suka dari novel ini adalah unsur historical fiction­-nya yang cukup kuat. Mengambil setting peralihan antara tahun 1800 dan tahun 1900-an, pembaca akan dibawa flashback ke masa ketika kereta kuda dan mesin uap masih menguasai jalanan. Masa-masa ketika kesopanan masih dijunjung tinggi, wanita-wanitanya bergaun lebar dan sangat bermantabat, sementara kaum pria masih menjunjung tinggi sikap gentleman mereka. Mirip eranya Sherlock Holmes pokoknya. Saya juga suka karakter Ayah si kembar yang sangat mencintai buku dan berusaha menularkan kesukaannya itu kepada anak-anaknya. Bahkan, beberapa setting cerita di buku ini mengambil tempat di perpustakaan dan toko buku.

                Buku ini merupakan sekuel pertama dari trilogi yang dibuat oleh si penulis. Bagi penyuka kisah fantasi petualangan, sebaiknya jangan terlalu berharap saat membaca buku ini. Ini adalah kisah fantais yang dark dan eksekusi yang bagus namun aksinya sangat kurang. Sudut pandangnya cewek banget, dan kalau tidak bisa dikatakan seksis, cukuplah dikatakan kalau novel ini kurang cocok untuk dibaca pembaca cowok. Saya berhasil bertahan menyelesaikan buku pertama karena setting sejarahnya yang sangat saya sukai, tetapi untuk ceritanya kurang memuaskan bagi saya. Entahlah, mungkin di buku 2 atau 3 (yang entah kapan akan diterjemahkan) akan lebih seru. Kita harap saja demikian!  

                 


                

No comments:

Post a Comment