Search This Blog

Monday, March 24, 2014

Menanti Cinta

Judul : Menanti Cinta
Pengarang : Adam Aksara
Cetakan : Pertama, Februari 2014
Setter: Ihwan Hariyanto
Tebal : 227 hlm
Penerbit : Mozaik Indie Publisher




                “Cinta tidak pernah membebani. Ia meringankan yang memilikinya.” (hlm 207)

                Saya bukan pembaca cerita romance, tetapi saya selalu jujur ketika bertemu dengan cerita yang bagus, saya akan menyukainya—tidak peduli itu kisah dari genre apa. Penilaian saya sebenarnya cukup sederhana, ketika cerita itu rapi dan selesai—tidak peduli seberapa sederhananya—saya pasti akan menyukainya. Yah, insting editor juga sih, yang penting cerita rapi, alur logika tidak terlalu menyimpang, cerita memenuhi garis edarnya, tanpa terlalu jauh melenceng, dan cerita itu selesai ketika buku ditutup. Selesai bukan berarti ceritanya usai, tapi selesai ketika kisah itu tidak meninggalkan pertanyaan-pertanyaan di luar cerita semisal ”Ini kok si A tega bener menjual anaknya sendiri padahal itu darah dagingnya sendiri lho.” Bagi saya, Menanti Cinta sudah selesai, dan saya puas membacanya. Ceritanya sederhana, tapi dia rapi. Itu jauh lebih saya sukai ketimbang cerita yang wow tapi eksekusinya luber kemana-mana, nggak fokus.

                Sekarang kita tinjau dari segi cerita. Menanti Cinta sebenarnya masih mengangkat tema yang sama: PENGUNGKAPAN CINTA. Hanya saja, penulis menggunakan tokoh-tokoh yang ekstrem luar biasa. Alih-alih menggunakan anak-anak kuliahan yang entah bagaimana hari-harinya selalu bling-bling berkilau kayak sinetron FTV itu, penulis memilih bercerita dari sudut pandang Claire. Nama yang indah tapi tak seindah nasib pemiliknya. Claire hanyalah seorang gadis miskin yang mendapat beasiswa kuliah 1 semester. Ayah tirinya penjahat kambuhan yang sering berusaha memperkosanya, sementara ibu kandungnya hanyalah wanita pemabuk yang bahkan tidak peduli kalau Claire itu ada. Minuman keras telah menguasai hidupnya.

 Sebagaimana bisa ditebak, dalam kisah-kisah seperti ini si gadis miskin biasanya disukai oleh cowok kaya raya yang tampan dan sempurna. Nah, hampir benar. Alex mencintai Claire, dan pria itu memang kaya raya. Tapi, Alex adalah seorang dosen yang usianya 10 tahun lebih tua dari Claire, dan ia menggunakan kursi roda. Penyakit polio telah melumpuhkan kakinya, juga melumpuhkan perasaannya. Sejak kecil hingga sesukses sekarang, Alex menyibukkan diri dalam laboratorium, berkutat dengan berbagai perangkat kimia. Ia belajar dan terus belajar, menjadi sukses dengan penemuan kimiawinya, sebelum akhirnya diangkat menjadi dosen muda di universitas tempat Claire belajar. Di sanalah keduanya bertemu. Rak-rak dan buku-buku tua di perpustakaan lama menjadi saksi mulai berubahnya kehidupan dua insan manusia ini.

“Aku bersumpah bahwa aku benar-benar mencintaimu sejak tiga tahun lalu, hingga kini dan cinta itu terus bertumbuh setiap detiknya.” (hlm 169)

Claire tidak tahu, Alexlah yang telah mengusahakan agar perpustakaan tua itu kembali di buka agar Claire bisa “bersembunyi” sejenak dari kekejaman dunia. Gadis itu juga tidak tahu, diam-diam Alex mengawasi dan mencintainya di balik dingin mukanya. Bahkan, ketika Claire  bermasalah dengan Mark Burger tempatnya bekerja, ada tangan-tangan gaib Alex yang entah bagaimana selalu membantu gadis malang itu. Claire memang gadis yang layak dibantu. Dia gadis yang tabah dan tidak gampang menyerah. Dia lamban tapi sepenuh hati dalam belajar. Lupakan deretan mahasiswi cantik berkaki jenjang menenteng tas-tas keluaran butik terbaru. Dalam Menanti Cinta, kita hanya akan melihat wanita miskin yang tangguh dan seorang pria berkursi roda yang mencintai secara istimewa.

“Mampu mencintai adalah sebuah berkah yang sangat indah.”  (hlm 208)

Kalau dalam sinetron, keduanya pasti langsung dipersatukan secara instan. Tapi dalam Menanti Cinta, penulis sengaja menraik-ulur hubungan diantara Alex dan Claire. Butuh waktu yang lama sebelum keduanya menyadari adanya perasaan saling tertarik. Tapi memang biarlah cinta mengalir dan menemukan muaranya. Itu jauh lebih indah ketimbang memaksanya. Walau kadang saya gemes juga sih liat si Alex sama Claire yang sudah tahu saling cinta tetapi harus menunggu begitu lama. Pada akhirnya, keduanya memang dipersatukan, tetapi bukan seperti itu ending dari Menanti Cinta. Judul novel ini sendiri seperti semacam kode bagi pembaca, yang setelah selesai membaca pasti bilang “Ow begitu hihihi.”
“Biarlah dicintai dan mencintai dengan sepenuh hati saat waktu masih mengizinkan. Menarilah dan nikmatilah saat senandung itu masih ada. Karena sungguh, suatu saat nanti, waktu itu akan hilang dan hanya akan tersisa kesepian dan penyesalan jika tersia-siakan.” (hlm 209)

Dan, saya langsung was-was baca halaman 210.  Kalau pembaca disuruh begituan sih sama saja malah bikin pembaca tambah penasaran. Dan, setelah saya nekat menyelesaikan buku ini, saya akhirnya menyesal karena membaca ending buku ini. Kenapa? Kok bisa seperti itu sih? Aduh kasihan Claire. #eh malah spoiler hihihi. Untuk sebuah buku romansa, Menanti Cinta tidak menawarkan sesuatu yang baru, atau yang wow, atau yang fresh. Tapi, satu keunggulan novel ini adalah teknik menulisnya yang rapi dan runtut. Dibaca sambil menyeduh teh hangat di akhir pekan, Menanti Cinta dapat menjadi obat yang menghangatkan jiwa.

Bagi teman-teman yang tertarik membaca novel ini, silakan bisa langsung membelinya di situs mozaikindie.com.



2 comments:

  1. Terima kasih atas resensinya yang indah Mas Dion. :)
    Membuat saya berbesar hati.

    ReplyDelete
  2. Toko Buku Online Terlengkap & Terpercaya - GarisBuku.com

    ReplyDelete