Search This Blog

Sunday, February 9, 2014

Vampire Academy #1



Judul : Vampire Academy #1
Penulis: Richelle Mead
Penerjemah : Harisa Permatasari
Penyunting : Nadya Andwiani
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 414 hlm
Penerbit : Matahati

 

Tentang Vampire Academy, saya terpaksa sepakat dengan beberapa pembaca yang berpendapat bahwa novel ini ternyata tidak sedahsyat yang dihebohkan di forum Goodreads. Melihat ratingnya yang 4 bintang lebih, saya tergerak memesan seri ini langsung 4 dari penerbitnya (pas obral tentunya). Reviewnya yang bagus dan berbagai komentar positif dari teman-teman pembaca semakin meyakinkan saya bahwa ini adalah buku yang worth to read. Maklum, saya pembaca fantasi yang agak-agak bermasalah sama yang namanya faerie dan vampire. Setiap kali nemu buku dengan tokoh utama dari kedua bangsa magis itu, entah kenapa ketertarikan saya sama dunia fantasi langsung merosot drastis, seolah-olah saya telah menyia-nyiakan bakat saya selama ini *halah #kemudianditendangRose #digigitLissa #dikulitiDimitri. Kasus pembacaan Twillight yang hanya bertahan sampai halaman 15 dan tidak pernah dilanjutkan lagi sejak tahun 2011 (Maafin saya Twithard tapi bukunya masih saya simpan kok), saya kok rada-rada bosen ya sama karakter vampire ini. *dibakar Christian.

                Mungkin masalah selera saja kali ya. Kalau dibandingkan serial Twillight, seri Vampire Academy tentu saja jauh…jauuuuuhhhh lebih bagus. Saya suka banget sama karekter utamanya, si Rose ini, yang seorang kickass heroine sejati, tidak takut apapun, mandiri, kuat, berani menanggung resiko, agak urakan tapi bertanggung jawab. Pokoknya beda 180 derajat sama si B**** #eh. Saya suka sekali sama sinisme Rose, dengan celetukan-celetukannya yang ngejlebb dan super sinis. Sementara, bagian yang galau-galau jatuh kepada Lissa, seorang moroi yang harus dia lindungi. Tidak bisa dipungkiri, karakter Rose ini sangat kuat dan begitu imaginable, benar-benar sosok yang mudah membuat jatuh cinta pembaca karena dalam banyak hal, Rose mencerminkan diri kita yang tak sempurna. Hanya saja, serial ini terlalu girly dan teen banget. Aroma remaja ABGnya kental banget terlepas mereka bersekolah di komunitas magis. Tampaknya, seri-seri sekolah magis mulai ramai dipakai setelah Hogwarts. Membaca VA ini saya entah kenapa jadi teringat dengan serial Hex Hall, yang karakter utamanya mirip banget sama Rose, bagian sinisnya terutama.

                Secara cerita, Vampire Academy mengusung konsep vampire yang baru. Jadi, ada dua jenis vampire, yang hidup dan yang mati. Vampir hidup disebut sebagai Moroi, mereka menguasai sihir elemental, mampu menahan sedikit sinar matahari, dan bisa dibilang sebagai vampire-vampir yang baik karena tidak pernah membunuh manusia. Mereka memang masih mengigit dan mengisap darah, tapi itu atas izin korban, eh bukan, mereka menyebutnya donor. Jadi, ada manusia-manusia donor yang sengaja mengizinkan lehernya digigit vampire untuk mendapatkan sensasi teler akibat racun endorfin pada liur Moroi. Alih-alih sakit, gigitan Moroi malah menyenangkan dan membuat ketagihan. Sementara, vampire mati disebut strigoi. Mereka membunuh manusia dan Moroi, serta dikuasai oleh kegelapan serta keabadian. Meminum darah Moroi akan membuat seorang strigoi abadi, karena itulah antara Moroi dan Strigoi adalah pasangan musuh bebuyutan. Untuk melindungi Moroi yang jumlahnya semakin sedikit, mereka kemudian mendidik para dhampir (separuh vampire, separuh manusia) yang hampir tidak bisa dibedakan dengan manusia biasa kecuali kekuatan dan ketahanan fisiknya yang si atas rata-rata. Ini konsep baru tentang vampire, jelas dan ada batas-batas logisnya, saya suka!

                Ok, jadi, Rose adalah seorang dhampir yang harus melindungi Moroinya, Lissa. Keduanya bersekolah di sekolah khusus vampire yang dinamai Saint Vladimir yang berada di pedalaman hutan Montana. Setiap Moroi memiliki spesialisasi sihir elemental: api, tanah, udara, atau air. Tapi, Lissa belum juga menemukan spesialisasinya. Keanehan itu semakin bertambah dengan hubungan pikirannya bersama pelindungnya, Rose. Rose bisa mengetahui pikiran Lissa, tapi Lissa tidak. Ini adalah hubungan istimewa yang jarang terjadi antara Moroi dengan dhampir yang menjaganya. Selain itu, Lissa juga punya kemampuan lain yang tidak seorangpun mengetahuinya. Sebuah kemampuan langka yang membuatnya diincar oleh pihak-pihak bahaya. Konsep dan alur ceritanya menarik kok, jadi kenapa cuma tiga bintang?

                Baiklah, buku ini konsepnya bagus tapi alur ceritanya terlalu remaja, terlalu teen, remajanya saja girly banget. Masalah cewek, pertengkaran siswa, cinta monyet, dll dsb pokoknya khas novel-novel remaja. Kalau saja tidak ada sosok Rose yang kick ass banget, saya mungkin nggak betah membacanya. Sejauh ini saya berhasil bertahan karena memang ide penulis tentang vampire ini sangat patut diacungi jempol. Karakter Rose benar-benar keren. Tapi, tapi, elemen romansa ala remajanya menurut saya sudah agak overdosis. Untuk pembaca cewek, saya yakin buku ini cocok banget tapi untuk pembaca cowok sepertinya unsur “romance”-nya terlalu over, walau nggak menye-menye sih. Trus, bagian tengah awal sampai tengah akhir ini agak berpanjang-panjang, walaupun ditutup dengan ending yang menjelaskan semuanya di belakang. Bisa dibilang, novel ini bagus tapi nggak bagus-bagus amat sampai kudu dibaca dua kali. Sudah cukup reviewnya, silakan baca sendiri seri ini dan temukan dimana posisi kalian: dhampire atau vampire? Sementara itu, sepertinya saya butuh membaca novel yang agak berat untuk me-­refresh pikiran *halah #ditendangRose

3 comments: