Judul : A Dash of Magic
Pengarang : Katryn Littlewood
Penerjemah : Sujatrini Liza
Penyunting : @putronugroho
Cetakan : 2, Oktober 2013
Halaman : 298 hlm
Penerbit : Mizan Fantasy
Melanjutkan
seri pertama dari The Bliss Trilogy, buku
keduanya masih mengusung konsep yang sama, yakni sihir di dalam makanan. Dengan
warna biru ajaib yang juga sama indahnya, menjadikan buku ini terasa begitu
ajaib dan layak dimiliki meskipun secara cerita masih kurang greget dibanding buku pertamanya. Fokus buku kedua ini adalah pertempuran antara Keluarga Rose
dengan Bibinya Lily, seorang koki terkenal yang telah mencuri buku resep ajaib
keluarga Bliss, Booke, dan
menggunakannya untuk membuat makanan-makanan ajaib yang membuat dunia jatuh
cinta kepadanya. Kesal karena kebodohannya dan bertekad untuk menebus
kesalahannya, Rose pun menantang Lily di televisi. Ia dan keluarga Bliss akan
mengikuti Gala des Gateaux Grands, sebuah perlombaan memasak tingkat dunia yang
bakal digelar di Paris, Prancis, salah satu kota kuliner paling termasyhur di
Eropa. Jika Rose bisa menang, Bibi Lily berjanji akan mengembalikan Buku Resep
Ajaib keluarga Bliss.
Rose
tahu ia nekat. Bibi Lily punya buku resep ajaib sementara dia hanya bermodalkan
rasa tanggung jawabnya serta kemampuan memasaknya yang masih pas-pasan. Sementara
Bibi Lily, perempuan itu hampir punya segalanya. Keterampilan memasak,
ketenaran, uang, acara televisinya sendiri, berbotol-botol bubuk sihir ajaib
Lily (bumbu penyedap masakan yang diracik dengan bantuan Buku Resep Ajaib
keluarga Bliss). Tapi, ada satu hal yang tidak dimiliki Lily: keluarga. Dalam
kondisi terjepit, Rose mendapati bahwa keluarganya selalu menyediakan
perlindungan sekaligus senjata yang luar biasa. Tahulah dia bahwa Keluarga
Bliss masih memiliki kerabat di Meksiko yang memegang satu salinan terakhir
dari Booke, yang disalin dengan
tangan.
Booke tahu cara melindungi diri sendiri.
Buku itu tidak bisa di-foto kopi, juga tidak bisa dicetak lagi. Satu-satunya
jalan menggandakannya adalah dengan menyalinnya dengan tulisan tangan. Booke juga tidak dapat dipisah-pisahkan
atau dilepas dari jilidnya, karena sihirnya akan langsung hilang jika buku itu
tercerai-berai. Baltazar, orang tua
berusia hampir seratus tahun menjadi pemilik salinan kedua dari Booke ini, dan kepada dialah nasib Rose
dan Keluarga Bliss dipertaruhkan di Paris. Maka, berangkatlah keluarga bahagia
itu ke Prancis, menghadapi Lily dan kerajaan mininya, demi merebut kembali buku
resep ajaib warisan keluarga Bliss.
Kisah
selanjutnya bisa ditebak: babak demi babak pertandingan memasak. Di sinilah
saya merasa cerita di buku kedua ini kurang greget. Entah mengapa, saya selalu
menganggap bahwa memasak adalah pekerjaan yang luar biasa indah, begitu
universal dan baik sehingga memasak menjadi kehilangan keajaibannya ketika
dipertandingkan. Mungkin ini yang membuat saya kurang suka nonton Masterc Chef Indonesia season 2 *halah.
Namun, memang begitulah, Rose terpaku mencari bahan-bahan ajaib di penjuru
Paris, mulai dari Rahasia Senyum Monalisa, Dentang Lonceng Notre Dame, Bisikan
Kekasih, dan Hujan Murni dari Puncak Eiffel.
Konsep
orisinal dari Trilogi Bliss yang saya suka adalah bagaimana bahan-bahan seperti
Senyum Monalisa bisa dibotolkan dakam botol mason warna biru dan dijadikan
salah satu resep masakan. Pada buku pertama, konsep ini terasa begitu fresh dan menyenangkan, sehingga ok-ok
saja. Tapi di buku kedua ini, tampak sekali bagaimana penulis menggampangkan
konsep sihir masakan yang tiba-tiba ada begitu saja tanpa adanya penjelasan
masuk akal. Well, untuk Hujan Murni
dari Puncak Eiffel bisa diterima, airnya memang ada dan bisa dimasukkan botol.
Tetapi, bagaimana Monalisa yang lukisan itu bisa tiba-tiba bicara kepada mereka
tapi tidak dengan pengunjung lain? Juga, bagaimana penjelasannya sehingga
patung-patung gargoyle di Gereja
Notredame bisa tiba-tiba hidup dan diajak berdansa? Inilah yang kurang dari
buku kedua. Ini sebuah buku masakan ajaib tapi sedikit sekali proses pembuatan
masakan di dalamnya, sangat berbeda dengan buku pertama.
Rose
juga banyak galaunya di buku kedua ini. Untungnya, pembaca bakal dibuat ngakak
cekikikan oleh tingkah Leigh, adik bungsu Rose yang tanpa sengaja memakan
resep-resep aneh yang membuatnya dewasa sebelum waktunya. Juga karakter Thyme,
abang Rose yang slengean serta suka sekali menggunakan sapaan-sapaan sopan
dalam bahasa Spanyol (atau Meksiko?). Dua karakter yang sangat kuat inilah yang
menjadi penghibur pembaca dalam menyelesaikan pembacaan atas buku kedua ini.
Selain itu, tulisan-tulisan yang disalin dalam resep juga font-nya terlalu
kecil. Mata dipaksa memincing untuk membacanya padahal font-font tulisan dalam
novel ini gede dan sangat nyaman dibaca.
Terlepas
dari kekurangannya, The Dash of Magic masih
setia mengungkapkan nilai-nilai positif dari sebuah keluarga. Kekompakan
Keluarga Bliss yang bahu membahu menemani Rose ke Paris, perjuangan mereka yang
tak kenal lelah dan kepercayaan mereka terhadap Rose, inilah yang sesungguhnya
menjadi modal utama Rose dalam melawan Bibi Lily. Cinta dan keakraban dalam
keluarga, salah dua dari hal-hal yang mampu menghangatkan dunia.
Ah... belum baca buku pertamanya juga. Btw menurutku covernya juga gak se-kece cover buku pertama ya? Kapan-kapan mau coba baca seri ini deh.
ReplyDeleteHuum, bagusan buku pertama ya
DeleteUgh, aku nyesel baca review ini.
ReplyDeletePadahal udah membulatkan tekad enggak mau baca yang kedua karena kecewa pada yang pertama.
Ah, sebel >,<
Aku ga suka sama sikapnya Rose di buku kedua ini. Galau, egois, banyak negatifnya. Mending juga kakaknya.
ReplyDelete