Search This Blog

Wednesday, January 8, 2014

Penunggu Puncak Ancala

Judul : Penunggu Puncak Ancala
Pengarang : Acen Trisusanto dkk
Editor : A. Apriyani dan E. Afriani
Proofread : W. Oktavia
Tebal : 208 hlm
Cetakan : 1, September 2013
Penerbit : Bukune


18663352

Selamat, buku ini telah berhasil membuat saya menjadi seorang penakut!

Bisa dibilang sebuah keganjilan ketika saya begitu ingin membaca buku ini. Saya yang terbiasa tersesat di dunia fiksi fantasi entah kenapa seperti “ditarik-tarik” untuk membeli buku ini. Padahal, bisa dibilang saya jarang sekali membaca buku genre horor, apalagi horor dalam negeri. Lebih anehnya lagi, saya kok tenang-tenang saja membeli buku ini di Gramedia dengan harga utuh, ya harga utuh tanpa diskon! Baru kali ini saya beli buku tunai tanpa diskon! Ini diluar kewajaran saya, aneh sekali, tapi, buku yang saya beli dan akhirnya kelar dibaca dalam sehari (saya membacanya siang hari, di kantor, biar rame banyak temennya) ini memang aseli serem. Bukan, bukan horor ala monster trus terjadi pembunuhan begitu, indak. Hantu dalam buku ini hanya sekedar “menampakkan diri” di sudut mata para pencerita. Hyaaaaaa …

Perhatikan deh dari kutipan di halaman belakang! Kutipan inilah yang sukses membuat saya penasaran hingga rela beli buku ini tanpa diskon.

Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi.
Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan.
Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang.
Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….


Satu hal yang menyeramkan dari buku ini adalah kisahnya yang terasa begitu real karena memang kira-kira seperti itulah yang sering kita dengar dan bahkan alami. Jika Anda seorang pendaki gunung (atau punya teman seorang pendaki gunung), pasti sudah biasa mendengar atau bahkan mengalami kisah-kisah dalam buku ini. Misalnya kisah tentang seorang pendaki misterius yang menemani para pendaki di gunung, tapi setelah di puncak yang ditemui adalah nisan bertuliskan nama pendaki misterius yang barusan ia ajak bicara. Misalnya juga tentang tempat-tempat wingit dimana para pendaki diwajibkan untuk berbicara sopan dan menjaga etika saat berada di alam liar. Semua itu benar-benar ada. Saya ingat pernah mendapat cerita dari temen pendaki bahwa di lereng menuju puncak Merapi ada titik yang disebut Pasar Bubrah. Tempat itu sepi, kering, dan berbatu-batu, tapi kalau malam hari para pendaki konon bisa mendengar keramaian pasar di tempat itu, dan penjual dan pembelinya tidak kelihatan …

Cerita paling seram menurut saya adalah yang pendakian ke gunung Tampomas (yang dikutip dalam backcover buku ini). tapi setelah saya baca-baca lagi, kejadian di gunung Gede Pangrango adalah yang paling bikin syok. Kisah di Danau Singkarak adalah yang paling bikin depresi mental dan lama bacanya, sementara cerita penutup bukannya meninggalkan pembaca dengan kelegaan, tapi malah membuat misteri baru sehingga rasa merinding itu masih muncul ketika kita selesai membaca buku ini.

Mungkin karena penulisnya adalah para pendaki, mereka jadi bisa menceritakan secara apa adanya apa-apa yang ada di sana. Penulisannya naratif sekaligus deskriptif, seolah-olah pembaca diajak mendaki. Dan, tidak tampak kepura-puraan dalam melebih-lebihkan cerita karena para penulis ini saya yakin semuanya sering atau pernah mendaki dan mendengar/mengalami sendiri cerita-cerita seperti yang ada di kumcer ini. Tidak salah saya membaca buku ini (dan membelinya tanpa diskon) karena saya jadi tahu banyak pantangan saat di alam liar: (1) Harus selalu berdoa dan mengucap salam sebelum masuk ke tempat yang asing, (2) Dilarang menyorotkan cahaya senter ke sembarang arah, apalagi ke atas, saat sedang berjalan di hutan pada malam hari, (3) Jangan membicarakan “mereka” saat kita sedang berada di tempat-tempat wingit, dan (4) selalu mendaki dengan jumlah peserta yang genap. Dan, usahakan selalu bersama, jangan sampai terpisah. Intinya, jangan lupakan ibadah dan berdoa kapan pun di manapun karena Tuhan adalah yang nomor satu.

Tuhan menciptakan banyak mahkluk. Beberapa di antara mereka tinggal di antara kita. Hanya saja, mereka tidak kasat mata. Selama kita berpikiran baik dan berbuat baik, keseimbangan itu akan terjadi dan sejatinya kita bisa hidup berdampingan dengan mereka. Jangan lupa ya, ambil air wudlu kalau habis naik gunung atau jalan-jalan di hutan.

6 comments:

  1. Beneran itu? Serem... Jadi takut mau ikut pendakian :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo aku tanya ke temenku yg pendaki sih beneran. Tp ini kan baru sisi seremnya, sesungguhnya sisi seremnya hanya 20%, yang 80% adalah sisi kebahagiaan yg tak terlukiskan *heleh

      Delete
  2. Oseram gan, penunggu puncak Ancala

    ReplyDelete
  3. ya ampun aku ga akan berani baca buku ini, yakin!!!!!! hahahaha

    ReplyDelete
  4. Aku udah pernah baca buku ini dan gila tulisannya bikin merinding banget, tp baguss!! :)))

    ReplyDelete