Judul : Xar dan Vichatan
Pengarang : Bonmedo Tambunan
Penyunting : Lutfi Jayadi, R.
Adityarani, Arie Prabowo, dan Leony Siregar (rupanya buku ini disunting sampai
dua kali sodara-sodara)
Sampul : Imaginary Friends
Tebal : 341 hlm
Cetakan: 2, Juli 2010
Penerbit : Adhika Pustaka
Saya
baru pertama kali membaca karya Bonmedo Tambunan, meskipun buku ini sudah
hampir setengah tahun berada di timbunan.Entah kenapa kovernya membuat saya under estimate sama isinya. Kovernya
bagi saya sangat game banget,
meskipun saya sangat suka perpaduan warnanya yang ungu-ungu-unyu tapi tetap
elegan (hanya saja itu pakaiannya kenapa kelihatan bagian pahanya #abaikan). Anyway, karena saya termasuk yang sok
vokal mendukung terbitnya karya-karya fantasi anak negeri, maka dengan meminjam
kekuatan tekad dari para pendeta Xar, saya akhirnya berhasil merobek segel buku ini
dengan epiknya (halah) sebelum kemudian baru tahu kalau buku ini bagus …
kemudian saya tidak bisa berhenti membacanya.
Alkisah
ada dua buah kuil dengan dua aliran ilmu yang berbeda, yakni kuil Xar dan kuil
Vichattan. Kedua kuil ini adalah sisa-sisa dari kekuatan Kuil Cahaya yang telah
runtuh ketika melawan Kuil Kegelapan puluhan tahun sebelumnya. Settingnya
mengambil tempat di kawasan antah-berantah, yang berarti penulis harus
membangun sendiri dunia fantasi yang baru. Ini pilihan yang bagus, karena
penulis dibebaskan untuk berkreativitas dalam mencipta dunianya—asal tidak ada
bolong logika yang menginjak-injak hukum alam dan sebab akibat *opo iki?*
Lanjut, dua kuil ini melatih ilmu yang berbeda. Bila Kuil Xar berfokus pada
kekuatan dalam diri, maka Kuil Vichattan berfokus pada kekuatan alam. Kalau
lebih mudahnya, Xar ini melatih tenaga dalam (telekinetis, aura tubuh, tembakan
tenaga, chi) sementara Vichattan
memanfaatkan energi alam (api, air, tanah, angin) sebagai sumber kekuatan.
Mirip si Aang the last air bender.
Cerita dimulai
ketika dua petinggi dari Kuil Xar dan Vichattan, yakni Biarawati Agung Mirell
dan dan Tiarawati Magdalin diserang oleh kuasa gelap yang misterius. Kedua tokoh
dengan kekuatan terhebat di kedua kuil itu kewalahan dan bahkan pasukan dan prajurit
mereka tidak menyadari adanya serangan itu. Satu hal yang jelas, kedua orang
hebat itu langsung melemah dan menuju ambang ajal akibat kutuk kegelapan. Maka penyelidikan
pun dilakukan. Mirell dan para pasukan Kuil Xar bertamu ke Vichattan untuk
mendiskusikan apa yang terjadi. Dari terawangan dan ilmu batin, mereka
mengetahui bahwa kegelapan tengah bangkit dan melepaskan kutuknya. Kuil
kegelapan, antitesa dari Kuil Cahaya, telah bangkit dan hendak kembali
menebarkan ancaman kepada dunia.
Tidak
ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali membangun kembali Kuil Cahaya.
Perpaduan kekuatan pasukan Kuil Xar dan Vichattan sendiri sangat kuat, tetapi
tetap saja belum mampu menandingi kuasa Kuil Kegelapan, karena kegelapan hanya
bisa dilawan oleh cahaya. Kuil Cahaya sendiri runtuh setelah pertempuran besar
melawan pasukan kegelapan puluhan tahun lalu. Kuil itu hanya bisa dibangkitkan
kembali dengan cara menemukan sang ahli waris cahaya yang akan menggantikan
Pendeta Cahaya yang telah tewas dalam pertempuran melawan Kuil Kegelapan. Lalu,
bagaimana jika para pewaris cahaya itu ternyata adalah 4 orang anak kecil? Dua
anak dari Kuil Xar, dan dua lagi dari Kuil Vichattan.
Gerome,
Antessa, Kara, dan Dalrin hanyalah empat murid muda dari Kuil Xar dan
Vichattan. Mereka masih asyik dengan masa kecilnya ketika tiba-tiba sebuah
kekuatan gaib membimbing dan menunjuk mereka menjadi ahli waris Kuil Cahaya
yang berikutnya. Namun, sebelumnya mereka harus membangunkan Amor dan Pietas,
dua binatang suci penjaga Kuil Cahaya. Dengan kekuatan yang belum sempurna, keempat
anak itu harus berjuang membangkitkan kembali Kuil Cahaya sementara antek-antek
Kuil Kegelapan terus berupaya menghalangi langkah mereka. Sementara itu,
gabungan pasukan Kuil Xar dan Vichattan juga harus berjuang menghadapi serbuan
pasukan kegelapan yang mulai bangkit.
Seru
dan rapi, dua kata untuk menggambarkan buku ini. Tidak banyak bolong logika dan
ceritanya begitu nikmat untuk dibaca. Keunggulan novel ini adalah pada
kesederhanaan yang lalu diolah secara matang dan detail. Kegelapan melawan
cahaya, tema yang sudah klise. Tapi
jika diolah dan dipadukan sedemikian rupa dengan elemen-elemen fantasi serta
alur yang menawan, tema klise ini bisa tetap menghasilkan sebuah kisah yang
seru dan tidak membosankan. Adegan pertempurannya yang banyak juga membuat
pembaca tidak ngantuk dibuai narasi. Kalimat-kalimatnya pun pendek-pendek,
mengena, dan deskriptif. Alur bergerak maju secara rapi. Dan ada glosariumnya
lagi, Yeay. Ini buku yang bagus!
No comments:
Post a Comment