Search This Blog

Thursday, October 10, 2013

The Serpent’s Shadow (Bayangan Sang Ular)

Judul : The Serpent’s Shadow (Bayangan Sang Ular)
Pengarang : Rick Riordan
Penerjemah : sujatrini liza, rika iffati farihah
Penyunting : Tendy Yulianes, @me_dory
Sampul : Vincent
Halaman: 441 hlm
Terbit:  Juni 2013
Penerbit: Mizan Fantasy

18085365

                Bayangan Sang Ular adalah akhir dari trilogi Kane’s Chronicles karya maestro penulis fantasi-mitologi Rick Riordan. Penulis yang sudah lebih dulu tenar mengangkat bocah blasteran dalam mitologi Yunani ini kini “bermain-main” dengan Mitologi Mesir. Dan, bisa dibilang, proyek mitologi dataran gurun di Afrika utara ini sukses membuai pembaca dengan kisah yang seru, penuh aksi dan petualangan, dengan diselipi humor khas Riordan. Terlebih lagi, seri ini dikisahkan dengan sudut pandang pertama jadi pembaca bisa merasakan langsung emosi dua tokoh utama, Sadie dan Carter, dua remaja yang dibesarkan di dua benua berbeda dan kemudian terjerumus dalam petualangan ke benua lain (Afrika). Sebagaimana dikisahkan di buku 1 dan 2, Carter dan Sadie—dua anak dari Dr. Kane—mengalami kejadian-kejadian luar biasa berkaitan dengan segala hal yang berbau Mesir. Setelah ayah mereka meninggal dalam sebuah ledakan di museum, keduanya mengetahui bahwa dewa-dewi Mesir itu nyata. Seth, Osiris, Anubis, Ra, dan semua dewa-dewi itu adalah entitas yang turut melangkah di dunia kita. Begitu juga Dewan Kehidupan, sebuah kelompok penyihir purba yang bertugas menjaga dunia dari dewa-dewi yang kadang suka usil.

                Di buku kedua, Sadie dan Carter berjuang mengembalikan dewa matahari Ra ke posisinya semula. Di Duat, ular purba Apophis telah bangkit dan menyusun makar untuk menguasai dunia. Hendak dijadikannya dunia modern ini sebagai lautan kekacauan sebagaimana asalnya. Dewa-dewi yang seharusnya melawan ular raksasa itu malah tidak perduli, bahkan saling cekcok satu sama lain. Dewan kehidupan juga terpecah belah, sementara Ra tenyata hanya seorang kakek gila yang linglung, sama sekali tidak bisa diharapkan. Di saat semua harapan seolah sirna, dua bersaudara itu menemukan teman-teman yang bisa mereka andalkan. Mereka adalah para penyihir di nome pertama, yang kebanyakan masih bocah namun punya semangat juang tinggi. Juga, dari dewa-dewi Mesir purba yang sudah lama terlupakan.

                Dibanding buku 1 dan 2, Buku ke-3 ini lebih sarat dengan aksi. Temponya berjalan sangat cepat, yang sesekali “diperlambat dengan sangat menyenangkan” oleh celetukan atau komentar yang membikin pembaca ketawa ngakak. Juga, semakin banyak dewa yang muncul di sini. Tentang kekacauan itu sendiri, juga tentang si ular raksasa. Pokoknya padat sekali buku ketiga ini. Jika sudah membaca buku satu dan dua, disarankan dengan amat sangat untuk membaca seri terakhir ini karena banyak teka-teki dan konflik yang terjawab di sini. Bagaimana Ra bisa bangkit kembali, atau bagaimana para dewa-dewi purba melawan monster-monster kekacauan dengan mengebuki mereka dengan tongkat jalan atau—dalam kasus Tawaret—menyuntik bokong mereka dengan alat suntik berkekuatan penuh. Akhirnya, akan dibuktikan dalam buku ini, bisakah Carter mempersatukan penyihir Dewan Kehidupan dengan para dewa-dewi untuk melawan Apophis, juga kisah cinta antara Sadie dengan Anubis dan Walt. Lebih kerennya lagi, ada bonus sisipan ceritan The Son of Sobek dimana Carter yang dari Mesir untuk pertama kalinya dipertemukan dengan Percy yang dari Yunani. Demigod Yunani bertemu dengan penyihir Mesir, siapakah yang paling kuat? Jadilah saksi pertemuan pertama dua pahlawan mitologis ini.


                Rick Riordan sekali lagi membuktikan kedalamannya mengenai mitologi, dan mengolahnya menjadi cerita yang seru untuk dinikmati. Saya membaca The Serpent’s Shadow sambil—kebetulan—menerjemahkan buku Asal-Usul Agama-Agama Dunia. Banyak hal dalam mitologi Mesir yang asli yang ternyata cocok dengan deskripsi Om Riordan. Misalnya saja tentang Ra yang naik ke langit, tentang bangsa Mesir kuno yang menyembah binatang, serta alasan mengapa dewa-dewi Mesir banyak yang berbadan manusia tetapi berkepala binatang. Satu konsep yang paling saya suka dari The Kane Chronicle adalah sihir hieroglifnya. Pelafalan mantra yang disusul dengan lambang hieroglif yang menyala sebagai tanda berlakunya suatu mantra ini sangat Om Rick banget. Keren dan tak terpikirkan. Kekurangan dari segi cerita mungkin pada Carter dan Sadie yang sepertinya “terlalu cepat” menjadi ahli sihir mesir kuno, padahal mereka baru belajar beberapa bulan atau beberapa tahun. Tapi, cerita ini sangat menghibur dan sangat layak untuk dibaca, terutama bagi penggemar kisah berbasis mitologi. 

             Sebenarnya, ini kisah untuk anak remaja. Tapi, karena di dalamnya banyak mengajarkan tentang pentingnya menjaga ikatan persaudaraan, maka buku ini bisa jugga dibaca untuk anak usia 10 tahun ke atas, yah sekaligus agar mereka mulai belajar tentang mitologi dunia dengan cara yang seru. 

Resensi ini diikutkan dalam TBRRC yang di host oleh Hobby Buku dan juga RC buku anak yang di host oleh Bacaan bzee

No comments:

Post a Comment