by Leigh Bardugo
Copyright © 2008 Amish Tripathi
Penerbit : Mizan Fantasi
Alih Bahasa : Nur Aini
Editor : Agus Hadiyono
Proofreader : Yunni Yuliana M.
Desain Sampul : BLUEgarden
Cetakan I : April 2013 ; 588 hlm
Lupakan sejenak sosok Dewa Shiva yang agung, yang bertahta
si swargaloka dengan seekor kobra membelit leher sementara senjata trisula
berada di gengamannya. Lupakan sejenak sosok Shiva yang angker, yang kuat dan
perkasa, penghancur segala, dewa paling dipuja, yang keagungannya telah begitu
melekat dalam benak kita sebagai penonton Mahabarata
yang dulu pernah diputar di TPI. Shiva dalam Meluha adalah sosok Shiva yang lebih manusiawi, yang setia kawan,
yang humoris sekaligus bebas ibarat anak-anak muda seusianya. Shiva dalam Meluha juga pemberani, memiliki
kebijaksanaan yang begitu dikagumi kawan maupun lawan. Tapi, ia bukan dewa,
atau setidaknya belum. Dalam cerita ini, Shiva adalah seorang kepala suku yang
sedari muda disiapkan menjadi penguasa tahta dan pelindung negeri Meluha. Ia
juga bisa jatuh cinta.
Bersetting
pada era India kuno ketika peradaban di Lembah Sungai Indus tengah mencapai
puncaknya, Meluha berkisah tentang
sosok Dewa Shiva saat dia muda. Hijrah dari desa kecilnya di puncak dan lereng Himalaya,
ia dan rakyatnya kemudian diboyong ke negeri Meluha untuk mengenapi ramalan
tentang dirinya, seorang asing dengan leher biru setelah meminum sejenis air
ajaib bernama somra. Ia didaulat sebagai
pelindung bangsa Chandravansi dalam melawan kesewenang-wenangan bangsa
tetangga, Suryavansi. Dan, walaupun saat itu Shiva muda belum mengetahui akan
seagung apa dirinya kelak, ia tetap
membuktikan bahwa orang-orang tidak salah dalam mempercayainya. Pantaslah jika
memang sosok sehebat dan seagung ini kemudian begitu dicintai dan bahkan dipuja
oleh bangsanya.
Membaca
Meluha ibarat meminum air kepala yang
menyejukkan ditengah kepungan minuman soda dan cola. Kisah ini begitu terasa
“timur” dengan segala eksotismenya. Walau masuk dalam genre fantasy, kisah ini
mengajarkan banyak sekali pelajaran moral. Dihiasi dengan detail yang
menyenangkan terkait peradaban India kuno, kisah cinta dan persahabatan yang
begitu membumi dan manusiawi, dengan bumbu adegan pertempuran seru. Indah
sekali membayangkan kondisi kota Mohenjo Daro saat tengah jaya-jayanya (yang
kini hanya menyisakan pondasi dan reruntuhannya), juga adat kebiasaan
orang-orang di anak benua India dengan segala kebudayaan dan tata cara
kehidupannya. Kelemahannya sebagaimana dibilang Mbak Esti, ada beberapa bagian
dalam Meluha yang sepertinya terlalu
modern, sebuah konsep yang kayaknya dipaksakan masuk ke dalam cerita agar
sesuai dengan desas-desus kebudayaan canggih di masa kuno. Di antaranya
penjelasan mengenai minuman ajaib somra yang dikatakan dapat memperpanjang usia
seseorang dan menyembuhkan penyakit. Minuman ini pula yang menguak jati diri
dari Shiva yang sebenarnya.
Sejumlah
deskripsi tentang kota, juga pabrik-pabrik pembuatan somra dengan mesin-mesin canggihnya menurut saya malah agak
mengganggu jalannya cerita. Deskripsi seperti ini membuat cerita serasa
bersetting di abad 20, bukan tahun 10.000 sebelum Masehi. Namun demikian, sosok
Shiva dalam buku ini memang benar-benar tak terlupakan. Benar-benar mengubah
anggapan kita selama ini terhadap sang dewa, atau deva. Kapan lagi bisa
menyaksikan seorang dewa ternyata di masa mudanya pernah merasa canggung dan
deg-degan di depan gadis pujaannya? Dalam novel ini, pembaca akan menemukan
sisi lain dari Sang Dewa Pemusnah Segala. Sebuah sisi yang cenderung lebih manusiawi
ketimbang dewata-ni (bener nggak ini untuk mengartikan “godly”?). Settingnya
juga sangat klasik, aroma budayanya begitu kental, dihiasi dengan
nasihat-nasihat filosofis yang tidak mengurui. Bacaan fantasi yang menyegarkan.
No comments:
Post a Comment