Judul :
MADRE, Kumpulan Cerita
Pengarang :
Dee
Editor :
Sitok Srengenge
Sampul :
Fahmi Ilmansyah
Cetakan :
1, 2011
Penerbit :
Bentang
Sungguh
teliti Dee (atau mungkin pihak penerbit) memberi sub judul buku ini “kumpulan
cerita” dan bukannya “kumpulan cerpen” karena isi dari Madre bukanlah cerita pendek yang pendek-pendek. Hampir separuh Madre adalah cerita panjang yang kini
telah difilmkan, separuhnya lagi adalah cerita-cerita yang dimuat dalam bentuk
cerita pendek maupun puisi. Yah, puisi toh memang bisa bercerita. Mengambil
judul cerita pertama, Madre berkisah
tentang kehidupan orang-orang muda dan (rata-rata) modern. Tipikal generasi
90-an yang telah mapan atau (dalam kasus Tansen) menemukan zona nyaman di usia
mudanya dengan tinggal di kota besar.
Cerita
paling menarik dalam kumpulan cerita ini tentu saja adalah Madre. Saya akui saya menemukan Dee yang baru dalam Madre. Dee yang saya rindukan (siapa
sayaaaa?), yakni Dee seperti dalam Supernova:
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Dee yang membawakan prosa yang hangat
dan nyaman, seperti roti olahan Tan de Baker dengan biang Madre hasil racikan
neneknya Tansen. Tansen, seorang pemuda berambut gimbal penyuka ombak, khas
tipikal pemuda yang mudah kita jumpai di pantai-pantai Bali. Entah takdir apa
yang mempermainkannya, yang jelas tiba-tiba ia mewarisi sebuah toko roti
bersejarah dari seorang Tionghoa. Dari seorang pemuda bebas, Tanzen digiring
menjadi seorang pemilik toko roti yang bertanggung jawab penuh. Awalnya, ia ingin menjual toko kue
itu. Pertemuannya dengan seorang pembaca blog-nya semakin memuluskan jalannya
untuk segera menjual toko roti itu dan habis urusan. Namun, semuanya berubah
begitu negar … haiah … semuanya berubah ketika ia berjumpa Madre, ya Madre,
atau ibu dalam bahasa Spanyol.
“Madre adalah adonan biang. Hasil perkawinan
antara air, tepung, dan fungi bernama Saccharomyses exiguous” (hlm 13).
Madre adalah ibu dari semua roti yang dibuat di toko Tan de Bakker. Dari
sanalah semua kelezatan itu datang, dan lebih dari itu, Madre adalah sejarah
itu sendiri. Tak dapat dipercaya, sebuah adonan ternyata mampu mengubah hidup
seorang pemuda yang kurang bertanggung jawab menjadi lelaki yang lebih dewasa.
Madre telah mempertemukan Tansen dengan orang-orang yang mencintai Tan de
Bakker, dengan mereka yang mencintai cita rasa roti klasik, dan dengan sejarah
itu sendiri. Sebuah kisah yang mendalam, yang ditulis sederhana tanpa kata-kata
berat dan logika berputar-putar ala Dee dalam Akar, namun malah menghadirkan efek tak terlupakan di benak
pembaca.
“Rumah adalah tempat di mana saya
dibutuhkan.” (hlm 71)
Untuk
sebuah “Kumpulan Ceita”, bisa dibinga Madre
kurang berwarna-warni. Setting dan tipe ceritanya hampir sama. Cerita kedua
yang saya anggap menarik adalah cerita terakhir. Lagi-lagi, settingnya metropolitan,
dengan orang-orang muda yang tengah meniti karier di belantara Jakarta. Tentang
cinta yang terlambat dan juga kesepian karena karier yang diutamakan. Sebuah
kisah penutup yang walau berputar-putar
di tengah namun diakhiri dengan pelukan manis. Di cerita terakhir inilah saya
menemukan banyak sekali kutipan-kutipan menawan ala Dee.
“Bicara memang gampang, namun cinta luar
biasa kompleks.” (hlm 140)
“Kamu ingin cinta tapi kamu takut jatuh
cinta. But you know what? Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk
tahu air, Che. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan.” (hlm
150)
No comments:
Post a Comment