Search This Blog

Tuesday, January 22, 2013

To Kill a Mockingbird



Judul                     : To Kill a Mockingbird
Pengarang            : Harper Lee
Penerjemah          : Femmy Syahrani
Penyunting           : Berliani Mantili Nugrahani
Cetakan               : 7, Agustus 2009
Penerbit               : Qanita


               
                Luar biasa! Frasa ini sangat tepat untuk mendeskripsikan novel bertema persamaan derajat ini. Mengambil setting pedalaman Alabama di tahun 1930-an, masa ketika Amerika Serikat tengah dilanda Depresi Besar, To Kill a Mockingbird mengangkat besarnya jurang perbedaan yang masih begitu lebar antara orang kulit putih dan orang kulit hitam (negro). Sulit dibayangkan, belum genap seratus tahun yang lalu, di daratan Amerika Serikat yang katanya begitu menjunjung tinggi demokrasi dan persamaan derajat masih terdapat orang-orang yang berprasangka buruk kepada sesamanya, hanya karena mereka berbeda warna kulitnya.

                Harper Lee dengan sangat bagus mengangkat tema ini melalui sosok yang sangat sederhana, yakni dari pandangan mata seorang anak perempuan berusia 9 tahun. Scout Finch tinggal bersama abangnya, Jem, dan ayahnya dalam sebuah rumah tua yang bersahaja di sebuah kota kecil di sela-sela perkebunan kapas di Alabama, kota Maycomb. Bersama ayah mereka, Atticus Finch, kedua anak ini tumbuh layaknya anak-anak normal seusia mereka. Berlari, bermain, sesekali memetik kacang pecan tetangga, menyelinap ke rumah seram di sebelah rumah, dan lain-lain. Tapi, ada yang berbeda dari cara  Atticus mendidik mereka. Di rumah keluarga Finch, tidak ada “kelas sosial” di mana setiap orang diperlakukan sama. Ini terlihat dari Jem dan Scout yang memanggil ayahnya hanya dengan namanya saja tanpa memakai atribut dad, ayah, atau pak. Hanya sesekali mereka memanggilnya Sir (Tuan). Kebiasaan lain yang cukup aneh waktu itu adalah Atticus lebih suka mengajak mereka membaca buku ketimbang bepergian atau belajar naik mobil.

                Dalam keluarga yang bersahaja dan solider inilah mereka tumbuh besar. Namun, segera saja pandangan modern Atticus tentang persamaan derajat terbukti belum melebihi batas-batas pekarangannya sendiri.  Maycomb saat itu masih kental dikuasai oleh prasangka terhadap orang asing, terutama orang kulit hitam. Pada masa itu, kaum negro masih dipandang sebagai kasta kedua, sebagai orang-orang yang derajatnya lebih rendah di bawah kulit putih. Kebanyakan mereka memang hanya berekerja sebagai pembantu atau tenaga kasar, yang mana hal ini semakin mengukuhkan tingkatan sosial mereka yang rendah. Atticus berupaya mengubah pandangan ini, dan ia memulainya dari anak-anaknya sendiri. Sesuatu upaya yang tampaknya sulit dalam lingkungan dan kondisi pada waktu itu.

Dan, tidak ada pola pendidikan yang sebaik teladan. Atticus memberi teladan langsung kepada anak-anaknya. Ia memutuskan membela seorang negro yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap seorang gadis kulit putih. Sebuah keputusan yang sangat riskan mengingat masih kuatnya sentimen sosial terhadap kaum kulit hitam pada saat itu. Segala bukti palsu yang memberatkan terdakwa berhasil diungkap dengan sangat baik oleh profesionalitas Atticus sebagai pengacara. Tetapi, kadang logika pun dapat dikalahkan oleh prasangka. Hasil akhir persidangan itu sudah dapat ditebak, Atticus yang sendirian melindungi seorang negro melawan seluruh kota yang kulit putih. Walau kalah, Atticus sebenarnya telah menang. Ia berhasil membuktikan bahwa ia berani mempertahankan kebenaran dan bukannya dikalahkan oleh prasangka dan ketakutan akan sanksi sosial. Di mata keluarganya, ia juga telah menang. Kepada Jem dan Scout, anak-anaknya, ia berhasil menanamkan sikap menjunjung tinggi keadilan dan persamaan derajat.

“Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya, apapun yang terjadi.” (halaman 219)

Ditulis pada tahun 1960, To Kill a Mockingbird adalah satu-satunya novel karya Harper Lee. Kisah ini setelah diluncurkan langsung masuk dalam jajaran novel terlaris sepanjang masa dan mendapatkan Hadiah Pulitzer untuk fiksi. Keindahan novel ini terlihat jelas pada setting pedalaman Amerika Serikat serta karakter-karakter tokohnya yang dibentuk sangat vivid, begitu jelas dan apik sehingga pembaca akan susah melupakan sosok Atticus dan anak-anaknya. Kisahnya sederhana namun sangat manis, dan ada begitu banyak pelajaran tentang kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Melalui sosok Atticus, kita mengenal apa itu arti keberanian, pentingnya membuka wawasan, serta kemauan untuk memahami orang lain dari sudut pandang mereka.

“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya.”

Resensi ini dibuat untuk event baca bareng karya-karya pemenang Hadiah Pulitzer bersama Blogger Buku Indonesia.


2 comments:

  1. Bacaan kita sama :D Rada nyesel baru baca sekarang, ternyata bgs banget, aq kira termasuk bacaan berat, ternyata spt kisah petualangan ya.

    ReplyDelete
  2. Novel ini emang bagus banget kok. Aku setengah dipaksa baca sama temanku waktu SMA, dan waktu itu malas banget baca karena bukan terjemahan, tapi ternyata emang bener-bener suka.

    Mengangkat tema seperti ini dari sudut pandang anak kecil benar-benar menarik. Aku juga suka Atticus.

    ReplyDelete