Judul : To Kill a Mockingbird
Pengarang : Harper Lee
Penerjemah : Femmy Syahrani
Penyunting : Berliani Mantili Nugrahani
Cetakan : 7, Agustus 2009
Penerbit : Qanita
Luar biasa! Frasa ini sangat
tepat untuk mendeskripsikan novel bertema persamaan derajat ini. Mengambil
setting pedalaman Alabama di tahun 1930-an, masa ketika Amerika Serikat tengah
dilanda Depresi Besar, To Kill a
Mockingbird mengangkat besarnya jurang perbedaan yang masih begitu lebar
antara orang kulit putih dan orang kulit hitam (negro). Sulit dibayangkan,
belum genap seratus tahun yang lalu, di daratan Amerika Serikat yang katanya
begitu menjunjung tinggi demokrasi dan persamaan derajat masih terdapat
orang-orang yang berprasangka buruk kepada sesamanya, hanya karena mereka
berbeda warna kulitnya.
Harper Lee dengan sangat bagus
mengangkat tema ini melalui sosok yang sangat sederhana, yakni dari pandangan
mata seorang anak perempuan berusia 9 tahun. Scout Finch tinggal bersama
abangnya, Jem, dan ayahnya dalam sebuah rumah tua yang bersahaja di sebuah kota
kecil di sela-sela perkebunan kapas di Alabama, kota Maycomb. Bersama ayah
mereka, Atticus Finch, kedua anak ini tumbuh layaknya anak-anak normal seusia
mereka. Berlari, bermain, sesekali memetik kacang pecan tetangga, menyelinap ke rumah seram di sebelah rumah, dan
lain-lain. Tapi, ada yang berbeda dari cara
Atticus mendidik mereka. Di rumah keluarga Finch, tidak ada “kelas
sosial” di mana setiap orang diperlakukan sama. Ini terlihat dari Jem dan Scout
yang memanggil ayahnya hanya dengan namanya saja tanpa memakai atribut dad, ayah, atau pak. Hanya sesekali
mereka memanggilnya Sir (Tuan). Kebiasaan lain yang cukup aneh waktu itu adalah
Atticus lebih suka mengajak mereka membaca buku ketimbang bepergian atau
belajar naik mobil.
Dalam keluarga yang bersahaja
dan solider inilah mereka tumbuh besar. Namun, segera saja pandangan modern
Atticus tentang persamaan derajat terbukti belum melebihi batas-batas
pekarangannya sendiri. Maycomb saat itu
masih kental dikuasai oleh prasangka terhadap orang asing, terutama orang kulit
hitam. Pada masa itu, kaum negro masih dipandang sebagai kasta kedua, sebagai
orang-orang yang derajatnya lebih rendah di bawah kulit putih. Kebanyakan
mereka memang hanya berekerja sebagai pembantu atau tenaga kasar, yang mana hal
ini semakin mengukuhkan tingkatan sosial mereka yang rendah. Atticus berupaya
mengubah pandangan ini, dan ia memulainya dari anak-anaknya sendiri. Sesuatu
upaya yang tampaknya sulit dalam lingkungan dan kondisi pada waktu itu.
Dan, tidak ada pola pendidikan yang sebaik teladan. Atticus memberi
teladan langsung kepada anak-anaknya. Ia memutuskan membela seorang negro yang
dituduh telah melakukan kejahatan terhadap seorang gadis kulit putih. Sebuah
keputusan yang sangat riskan mengingat masih kuatnya sentimen sosial terhadap
kaum kulit hitam pada saat itu. Segala bukti palsu yang memberatkan terdakwa
berhasil diungkap dengan sangat baik oleh profesionalitas Atticus sebagai
pengacara. Tetapi, kadang logika pun dapat dikalahkan oleh prasangka. Hasil
akhir persidangan itu sudah dapat ditebak, Atticus yang sendirian melindungi
seorang negro melawan seluruh kota yang kulit putih. Walau kalah, Atticus
sebenarnya telah menang. Ia berhasil membuktikan bahwa ia berani mempertahankan
kebenaran dan bukannya dikalahkan oleh prasangka dan ketakutan akan sanksi
sosial. Di mata keluarganya, ia juga telah menang. Kepada Jem dan Scout,
anak-anaknya, ia berhasil menanamkan sikap menjunjung tinggi keadilan dan
persamaan derajat.
“Keberanian adalah saat kau tahu
kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan merampungkannya,
apapun yang terjadi.” (halaman 219)
Ditulis pada tahun 1960, To Kill
a Mockingbird adalah satu-satunya novel karya Harper Lee. Kisah ini setelah
diluncurkan langsung masuk dalam jajaran novel terlaris sepanjang masa dan
mendapatkan Hadiah Pulitzer untuk fiksi. Keindahan novel ini terlihat jelas
pada setting pedalaman Amerika Serikat serta karakter-karakter tokohnya yang
dibentuk sangat vivid, begitu jelas dan apik sehingga pembaca akan susah
melupakan sosok Atticus dan anak-anaknya. Kisahnya sederhana namun sangat
manis, dan ada begitu banyak pelajaran tentang kehidupan dan nilai-nilai
kemanusiaan di dalamnya. Melalui sosok Atticus, kita mengenal apa itu arti
keberanian, pentingnya membuka wawasan, serta kemauan untuk memahami orang lain
dari sudut pandang mereka.
“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga
kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya.”
Resensi ini dibuat untuk event baca bareng karya-karya pemenang Hadiah
Pulitzer bersama Blogger Buku Indonesia.
Bacaan kita sama :D Rada nyesel baru baca sekarang, ternyata bgs banget, aq kira termasuk bacaan berat, ternyata spt kisah petualangan ya.
ReplyDeleteNovel ini emang bagus banget kok. Aku setengah dipaksa baca sama temanku waktu SMA, dan waktu itu malas banget baca karena bukan terjemahan, tapi ternyata emang bener-bener suka.
ReplyDeleteMengangkat tema seperti ini dari sudut pandang anak kecil benar-benar menarik. Aku juga suka Atticus.