Judul : Matilda
Pengarang : Roald Dahl
Ilustrator : Quentin Blake
Penerjemah : Agus Setiadi
Cetakan : 1, September 1991
Penerbit : Gramedia
Ini adalah kali pertama saya membaca buku karya Roald Dahl. Jujur, sudah lama saya tidak membaca novel anak sejak era Lima Sekawan dan Trio Detektif dulu. Membaca Matilda, saya kembali terkenang pada serunya membaca kisah petualangan anak dengan setting Eropa, dengan orang-orangnya yang nyentrik, dengan rumah-rumah tua khas pedesaan Inggris, serta makanan kalengan dan hutan-hutan seru tempat melakukan petualangan. Ditambah dengan seri Matilda yang saya baca ini adalah cetakan pertama tahun 1991, dengan kertas yang sudah menguning sehingga semakin menambah kesan klasiknya. Saya ingat meminjam buku-buku Lima Sekawan dan Trio Detektif yang rata-rata kertasnya juga menguning, seolah-olah mengingatkan bahwa buku-buku anak seperti inilah yang tidak akan pernah lekang dimakan waktu. Selalu enak dibaca sewaktu-waktu.
Matilda mengisahkan tentang seorang gadis cilik luar biasa jenius yang tinggal di keluarga yang salah. Kedua orang tuanya sama-sama tidak peduli dengan kecerdasan Matilda. Tipikal orang tua kuno zaman dulu, Mr dan Mrs Wormwood (cacing hutan eh?) berpendapat bahwa tidak ada gunanya bagi seorang gadis cilik untuk menjadi pintar. Bagi mereka, seorang gadis haruslah cantik agar dapat mendapatkan suami yang kaya raya yang akan memanjakannya. Urusan otak adalah nomor sekian. Dari sini, penulis seolah hendak mengkritik budaya tidak suka membaca yang hampir menjangkiti sebagian kalangan umum. Di luar sana, banyak yang masih berpendapat bahwa membaca adalah hal yang sia-sia, yang hanya menghabiskan waktu dan melambangkan kemalasan. Melalui Matilda, kita tahu bahwa gagasan tersebut adalah keliru.
“Kebiasaannya membaca selama ini memberinya suatu pandangan hidup yang tak pernah muncul di pikiran ayah dan ibunya. Coba mereka mau membaca beberapa karangan Dickens atau Kipling, mereka pasti akan menyadari bahwa isi kehidupan ini bukan Cuma membohongi orang dan menonton televisi saja.” (halaman 28)
Di usianya yang masih 4,5 tahun, Matilda sudah membaca karya-karya pengarang terkenal seperti Dickns, Hemingway, Kipling dan Steinbeck (yang masuk dalam jajaran karya-karya klasik dunia). Perpustakaan bagi Matilda adalah surga pertamanya, setelah ia tidak menemukan kasih sayang dalam rumahnya. Surga keduanya adalah sekolah, di mana ia bertemu dengan malaikatnya, Miss Honey, guru kelas satu. Selain menghadapi tantangan di rumah, Matilda juga harus menghadapi tantangan di sekolah. Kepala sekolah di SDnya, Sang Trunchbull, adalah tipe orang yang seharusnya menjadi urutan terakhir dalam daftar orang-orang yang berhak memimpin sebuah sekolah. Sang Trunchbull ini ibarat tiran yang hanya berani menindas anak-anak kecil, dan Matilda yang cerdas luar biasa adalah korbannya selanjutnya. Hanya saja, Sang Trunchbull kali ini memilih lawan yang salah. Kecerdasan otak Matilda yang luar biasa memunculkan kekuatan lain, yang mengarah ke jenis kekuatan yang sifatnya telikinetis. Dan, dengan kecerdikan dan kecerdasannya, ia berhasil menggunakan kekuatan otaknya untuk mengalahkan Sang Trunchbull dan sekaligus menyelamatkan Miss Honey.
Dari segi cerita, Matilda masuk novel anak yang sangat ringan (namanya juga novel anak), tapi membawa pesan yang sangat mendalam. Pengarang seperti hendak menekankan tentang pentingnya kebiasaan membaca pada anak, tentang betapa dahsyatnya kekuatan otak, dan tentang sangat pentingnya pendidikan serta ilmu pengetahuan. Dari segi terjemahan, novel ini bisa dibilang diterjemahkan dengan gaya terjemahan Lima Sekawan. Kalau tidak salah, penerjemah buku ini juga menerjemahkan salah satu seri Lima Sekawan. Kata-kata yang digunakan dalam buku ini khas sekali dengan kata-kata yang marak digunakan pada era tahun 1990-an, yang begitu memikat membawa pembaca untuk bernostalgia dengan masa kecilnya. Selamat membaca, seperti Matilda.
Posting ini dibuat untuk mengikuti Children Literature dan What A Name Reading Challenge 2013.
Ga bisa bayangin dunia tanpa membaca. kalo pas kecil dulu dilarang baca sama ortu, mungkin aku ga bakal jd BBI skg~
ReplyDelete
DeleteAku juga nggak bisa bayangin gimana jdninya aku sekarang tanpa membaca
kalo nemu Matilda obral, titip ya kang
ReplyDelete
DeleteOke kang
Matilda bibinya jupiter jones :v
ReplyDelete