Search This Blog

Tuesday, January 15, 2013

In the Time of the Butterflies



Judul     : In the Time of the Butterflies
Pengarang          : Julia Alvarez
Penerjemah       : Istiani Prajoko
Penyunting         : Anton Kurnia
Aksara                  : Dian Pranasari
Cetakan               : pertama, Oktober 2012
Penerbit              : Serambi Cerita Utama


                “Kita telah kehilangan harapan dan kita perlu sebuah kisah untuk membantu kita memahami apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.” (hlm 542)


                Pada 25 November 1960, tiga perempuan cantik bersaudari ditemukan tewas di dekat puing jeep di dasar jurang di dekat kawasan pantai utara Republik Dominika. Koran resmi pemerintah setempat menyebut bahwa peristiwa itu adalah sebuah kecelakaan. Tapi, seluruh rakyat dan—akhirnya dunia—mengetahui bahwa ketiganya telah dibunuh oleh antek-antek dari rezim Trujilo, sebuah rezim ditaktor yang telah menyengsarakan rakyat Republik Dominika selama 30 tahun. Ketiga wanita cantik tersebut adalah pemimpin gerakan bawah tanah yang menentang rezim pemerinta. Mereka dikenal sebagai Las Mariposas—para Kupu-kupu. Ini adalah sebuah kisah fiksi yang terilhami oleh kisah nyata dalam sejarah, oleh orang-orang yang  benar-benar ada dalam sejarah. Ceritanya sendiri disusun oleh Alvarez berdasarkan wawancara yang ia lakukan dengan Dede, saudari keempat yang selamat dari percobaan pembunuhan tersebut.

                Tahun 1940-an adalah tahun yang kelam bagi rakyat Republik Dominika. Negara pulau tersebut dipimpin oleh rezim militer yang dikendalikan sepenuhnya oleh Jenderal Rafael Trujilo. Kondisi perekonomian yang buruk, ditambah dengan tekanan militer terhadap segala aktivitas berbau politik, membuat negeri ini ibarat buah tropis yang terlihat ranum dari luar tapi busuk di dalam. Korupsi dan nepotisme sduah menjalar bak akar-akar  busuk yang menggerogoti setiap sendi pemerintahan. Para pejabat yang korup hampir tidak bisa dibedakan lagi dengan penjahat-penjahat yang merampok para pejalan di malam hari. Ini ditambah dengan kesukaan Trujilo akan gadis-gadis muda nan cantik.

                Keluarga Mirabal adalah sebuah keluarga pemilik perkebunan cokelat dan pisang di Dominika. Keluarga ini dianugerahi dengan 4 orang putri yang cantik jelita: Minerva, Patria, Maria Teresa, dan Dede. Dalam buku ini, pengarang akan membawa pembaca menyelusuri masa kecil dan kehidupan dari masing-masing wanita luar biasa ini. Mulai dari Minerva yang berjiwa merdeka dan vokal menyampaikan gagasan, Patria yang religius sang pengikut sejati Bunda Maria, Maria Theresa yang polos namun pemberani, serta Dede yang dalam kesetiaan terhadap nilai-nilai lamanya masih turut mengobarkan perlawanan. Masing-masing tokoh dikisahkan dengan unik, lewat pandangan orang pertama bergantian. Di bab awal ada Minerva, kemudian di bab selanjutnya ada Patria, lalu disusul Maria Theresa, dan akhirnya Dede. Masing-masing tokoh secara bergantian saling mengisahkan kehidupan kecil mereka hingga dewasa, yang sangat dipengaruhi oleh penindasan rezim Trujilo.
               
                Ketika akhirnya Amerika Latin dikuasai oleh dengan gagasan-gagasan kemerdekaan yang dibawa oleh Che Guevara dan Fidel Castro, keempat bersaudari pun turut tergerak untuk melakukan perlawanan. Bersama teman dan kelompoknya, keempat bersaudari ini mendirikan sebuah gerakan perlawanan rahasia untuk menentang rezim militer yang dipimpin Trujilo. Mereka berjuang di bawah tanah, dengan segala keterbatasan dan kerahasiaannya. Keempatnya kemudian dikenal sebagai Para Kupu-kupu. Maka, seluruh buku ini ibarat sebuah biografi indah dari keempat wanita Mirabal yang berjasa besar dalam menggulingkan rezim militer Trujilo. Apa saja yang mereka lakukan, bagaimana mereka menjalani kehidupan, hingga akhirnya bagaimana peristiwa kematian ketiga Mirabal bersaudari yang tragis akhirnya menyadarkan seluruh rakyat Republik Dominika dan  dunia akan kekejaman rezim Trujilo. Apa yang selama ini ditutup-tutupi menjadi terbuka lebar. Dunia tahu yang sebenarnya, dan sebentar kemudian rakyat Republik Dominika pun bebas dan bisa menjalankan sebuah pemilu yang adil.

                Kenyataannya, Mirabal Bersaudari hanyalah wanita-wanita biasa yang melakukan hal-hal luar biasa. Langkah-langkah kecil mereka terbukti menjadi kerikil tajam bagi rezim penguasa. Membaca kita mereka menyadarkan kita untuk tidak perlu menunggu menjadi hebat dulu untuk bisa melakukan hal-hal hebat. Mirabal bersaudari menjadi berani setelah mencoba melakukan langkah-langkah kecil yang di kemudian hari terbukti menghasilkan pengaruh yang luar biasa. Kisah mereka adalah pengingat bahwa perjuangan harus tetap dikobarkan, apapun dan bagaimanapun, demi mendapatkan dunia yang lebih baik, lebih beradab, dan lebih adil.        

                Meskipun mengaku karyanya ini sebagai sebuah karya yang sekadar mereka-reka, yang separo-fiktif, dan tidak bisa menggambarkan dengan 100% tepat tentang apa yang sebenarnya terjadi di Republik Dominika lima puluh tahun yang lalu; harus diakui bahwa Alvarez berhasil menyajikan sebuah episode sejarah yang sangat indah dari sudut negeri Republik Dominika. Meskipun ia hanya mewawancarai Dede, namun kreativitas dan imajinasinya berhasil menghidupkan kembali sosok-sosok Mirabal yang pemberani dalam benak pembaca. Akan sangat sulit untuk tidak bersimpati pada empat wanita Mirabal ini setelah memnaca novel ini, bahkan walaupun sebelumnya kita belum pernah mengenal mereka atau bahkan tidak tahu di mana letak negara Republik Dominika. Satu hal yang jelas, pada tahun 1999, PBB telah menetapkan tanggal 25 November (hari terbunuhnya Mirabal bersaudari) sebagai Hari Internasional Bagi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Tiga perepuan muda dai sebuah pulau kecil menjadi simbol kemerdekaan perempuan—dan laki-laki-di mana saja. 



No comments:

Post a Comment