Ada perdebatan hebat terkait dengan pendukung buku cetak dan buku
digital (e-book).
Kedua kubu saling mengajukan klaim tentang mana yang terbaik, dan perdebatan
ini lama-lama menjadi membosankan. Seiring dengan semakin majunya zaman,
banyak yang mengklaim bahwa era buku cetak sudah berakhir. Keberadaannya akan
segera tergusur oleh keberadaan buku-buku digital yang memang lebih murah dan
praktis. Tergesernya buku cetak oleh buku digital ini memang mulai terasa
akhir-akhir ini, ditandai dengan semakin sering diadakan obralan buku di
toko-toko buku sebagaimana mengutip pendapat Yudhi Herwibowo, penulis Untung Surapati.
Bahkan, beberapa penerbit buku di Indonesia ada yang akhirnya gulung tikar,
entah dengan alasan merger atau karena menurunnya omset secara sangat drastis.
Menurunnya penjualan buku berarti kerugian bukan?
Membaca
ebook memang jauh lebih praktis, lebih murah (karena banyak ebook yang
bisa dengan mudah diunduh di Internet), lebih ramah lingkungan (hemat kertas),
dan lebih peka zaman—atau lebih modern kata anak zaman sekarang. Ini didukung
dengan semakin murahnya harga perangkat-perangkat pembaca elektronik seperti
ipad dan kindle dengan tampilan yang ramah mata, menjadikan membaca ebook jauh
lebih nyaman ketimbang hanya membaca di depan monitor PC. Dengan segala
kelebihan ebook terhadap buku cetak, wajar saja jika saat ini kita sering
menjumpai orang yang berkata: “Hari gini beli buku? Kan ada ebook yang
gratis dan murah?”
Lalu, benarkah nasib buku cetak sebentar lagi tamat? Dan, apakah memang sudah
bukan zamannya lagi membeli (atau membaca) buku cetak? Benarkah ebook dengan
segala kelebihannya sudah mampu mengalahkan buku cetak secara telak? Untuk
menjawabnya, kita juga harus mempertimbangkan pendapat lain dari pihak lain
yang bersikukuh untuk tetap membaca buku cetak. Tidak peduli secanggih apapun
perangkat pembaca ebook, hari ini masih ada saja (banyak malah) para pecinta
buku sejati yang tetap mencintai buku fisik ketimbang ebook. Alasannya
bermacam-macam, tapi cenderung lebih ke sisi emosional. Buku cetak, kata
mereka, terasa lebih nyata dan lebih bernilai. Buku cetak bisa dibawa kemana
saja, dibaca sambil tiduran atau duduk-duduk. Bagi mereka, proses membeli,
menimbun, membuka segel plastik, meraba cetakan timbul pada sampulnya,
membaui bau tinta yang masih baru, menyampulkan, dan kemudian bergadang
semalaman karena tenggelam dalam halaman-halamannya adalah sederetan proses
yang tak pernah bisa digantikan oleh buku cetak. Bagi para pembaca buku cetak,
memiliki dan membaca buku berarti memegang sebuah buku yang benar-benar nyata,
yang berjilid, bersampul, dan bertinta.
Dari sini, masing-masing kubu bersikukuh pada pendapat masing-masing. Dan,
kalau sudah begini maka tidak ada yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah.
Masing-masing berhak membela pilihannya. Ebook memang murah, praktis, dan
menghemat kertas; tapi pertimbangkan juga bagaimana seandainya buku cetak tidak
diterbitkan lagi dan para penerbit gulung tikar. Berapa banyak orang dan
keluarga yang kehidupannya bergantung pada penjualan buku cetak akan kehilangan
sumber penghidupannya. Sebaliknya, buku cetak memang terasa lebih nyata, lebih
ramah mata, dan bisa dibaca dengan gaya bagaimanapun tanpa takut layar pecah
atau kesetrum. Tapi, buku cetak juga cenderung mahal dan menghabiskan banyak
pohon di hutan. Pada akhirnya, pilihan untuk membaca buku cetak atau ebook
tergantung pada selera dan pilihan masing-masing. Baik membaca buku cetak
ataupun ebook
adalah sama-sama bagusnya. Yang jelek adalah mereka yang tidak mau membaca buku
apapun!
Mengapa saya memilih membaca buku cetak?
Dulu, saya memilih membaca
buku cetak ketimbang ebook karena
pertimbangan emosional semata. Yakni, karena memang dari dulu saya suka membaca
dan mengoleksi buku. Bagi saya, membeli buku itu wajib setiap bulan, sementara
membeli gadget adalah wajib kalau gadget lama sudah rusak. Pilihan ini memang
murni subjektif dan saya juga tidak menyalahkan jika ada orang yang lebih suka
membeli gadget ketimbang membeli buku. Sekali lagi, ini adalah pilihan dan
tidak bisa dipaksakan.
Walau demikian, kadang saya merasa sedikit minder menjadi bagian dari kelompok
minoritas diantara kelompok mayoritas yang selalu up date kalau
sudah urusan membeli gadget. Saya sempat down, merasa bahwa hobi
membeli/membaca buku cetak adalah sia-sia. Untungnya, saya dipertemukan dengan
Blogger Buku Indonesia, kelompok komunitas pecinta buku di mana kita memiliki
teman-teman senasib yang telah jatuh cinta pada dunia buku. Keyakinan saya
untuk tetap membaca buku cetak juga semakin menguat setelah membaca buku The Shallows karya
Nicholas Carr (Mizan, 2011). Carr telah membuka mata saya bahwa tidak ada
salahnya tetap membaca buku cetak di tengah gempuran internet dan ebook.
Membaca buku cetak, dalam beberapa hal, tidak akan pernah bisa
tergantikan oleh membaca ebook. Ingatkah kapan terakhir kali Anda
menyusuri rak-rak perpustakaan, menyusuri deretan judul buku satu per satu. Ada
perasaan syahdu dan menenteramkan di sana. Carr dalam bukunya menyebutkan bahwa
buku—tidak seperti internet—seperti selalu siap dan dengan sabar menunggu Anda
untuk menemukannya. Ada keheningan yang menyenangkan saat kita dikelilingi
buku-buku. Tidak seperti data di internet yang terus-menerus diperbarui, buku
akan tetap sama kecuali ada edisi terbitan ulang. Sadarkah Anda, momen-momen
ketika kita akhirnya berhasil menemukan buku yang tepat di perpustakaan rasanya
jauh lebih menggembirakan ketimbang ketika kita menemukan halaman situs yang
kita cari? Ada semacam keuletan agung saat kita sibuk berkutat
dengan buku-buku di perpustakaan, yang mana perasaan ini jauh lebih terasa luar
biasa ketimbang ketika kita tengah berkutat di depan monitor dalam bilik warnet
yang sempit, dikelilingi anak-anak ABG yang sedang bermain game online sambil
berteriak-teriak kurang sopan.
Dalam bukunya, Carr juga sempat mengutip sebuah ungkapan yang berbunyi
kira-kira begini: “Membaca buku ibarat mencari pengetahuan, membaca ebook
ibarat sekadar mencari informasi.”Tepat seperti itulah yang saya rasakan.
Membaca ebook—sebagaimana berselancar di dunia maya—terasa grusa-grusu atau
terburu-buru, melelahkan (mungkin karena saya membacanya di PC), dan sangat
berbau logam atau teknologi. Membaca buku cetak, sebaliknya, terasa
menenangkan, intim, natural dan sangat “kertas”. Bagi saya, membaca buku adalah
untuk bersantai bukan untuk mencari informasi (karena informasi dalam buku
pasti kalah up
date dengan informasi dalam surat kabar atau
internet).
Kini, ketika keberadaan ebook dan perpustakaan digital semakin menguat, fungsi
perpustakaan juga akan mengalami perubahan. Yang jelas, saya belum siap
kehilangan perpustakaan fisik untuk sepenuhnya digantikan oleh perpustakaan
digital. Tapi, membaca apapun itu selalu baik bagi saya. Seperti yang telah
saya kutip di atas, membaca buku cetak ataupun membaca buku digital (ebook), keduanya
sama baiknya, yang tidak baik adalah mereka yang tidak mau membaca.
gambar: typedesk.com
buku cetak tetap lebih bagus, bisa dipegang dan bisa dicium wangi kertasnya yang memabukkan itu hehe...
ReplyDeleteSetujuh
DeleteBuku cetak memang lebih enak dibaca, tapi lebih menguras kantong juga. Terutama buat saya yang hobi baca buku klasik non-terjemahan, jauh lebih susah cari buku cetak daripada ebook. :(
ReplyDeleteHarusnya Indonesia punya perpustakaan rakyat gitu ya, supaya buku bisa pinjam, ga usah beli. :( <-- ga modal
DeleteAku jg mau minjem kalo perpusnya byk fantasy
Untuk buku non-textbook (karena saya anak kuliahan), saya masih lebih senang membaca buku cetak daripada e-book. Karena buku cetak bisa dibaca sambil tiduran, dan tidak akan jatuh dari tempat tidur kalau kita sampai ketiduran, hihihi..
ReplyDeleteaku blm punya gadgetnya sih jd blm ngerasain enaknya
DeleteI loooove printed book.
ReplyDeleteBisa di pamerin kalo kebetulan ada yg mampir ke rumah dan lirik rak penuh buku. Bangga gitu.. XD
Iya bener, lebih kerasa nimbunnya
Delete"...membaca buku cetak ataupun membaca buku digital (ebook), keduanya sama baiknya, yang tidak baik adalah mereka yang tidak mau membaca."
ReplyDeleteSetuju!! :))
SETUJU SEJUTA :p
DeleteAku suka baca buku print, karena hal yang lain, mendukung si pengarang. Katakan ini hanya idealisme dari aku, cuma aku merasa ebook itu gampang dicari dan free. Aku rasa nyaris 90% pembaca ibuk semuanya dapat free, ga beli (hayo ngaku :P). Dan aku udah sering baca tweet maupun keluh kesah pengarang tentang ebook piracy. Terus terang aku merasa bersalah, dan memilih beli buku asli mereka... tapi tentu aja jika suka. Yup, aku ga nyangkal kalau aku sendiri juga ngumpulin ebook kok. I mean, its already become habit. Sulit dihilangkan. Bukan berarti aku munafik, karena ngelakuin dua-duanya (beli buku print dan donlod ebook), hohohoho :P
ReplyDeleteNgaku juga ah, aku baca ebook kalau bukunya mahal
DeleteEbook dan printed book ngga akan saling ngalahin kok, justru saling ngelengkapin satu sama lain. Yakin deh ngga bakalan semua orang pindah ke ebook, dan yakin juga ngga semua orang pindah ke printed book.
ReplyDeleteOrang yang sering pergi2, bakal lebih enak baca di e-readernya karena bawa2 buku printed bakal repot. Tapi kalo orang yang lebih banyak diem di ruangan, ya lebih enak printed. Yah intinya tadi itu, saling ngelengkapin. :D
Suatu saat, pasti akan muncul ereader yg benar2 ramah mata. Apakah itu saatnya buku cetak dimuseumkan? ow Tidakkkk
Deletebuku e-book juga praktis untuk seminar, presentasi dll ...ya cuma muuaaahhhaalll pool booknya, coba murah??
ReplyDelete