Search This Blog

Saturday, January 12, 2013

E-Book versus Printed Book





            Ada perdebatan hebat terkait dengan pendukung buku cetak dan buku digital (e-book). Kedua kubu saling mengajukan klaim tentang mana yang terbaik, dan perdebatan ini lama-lama  menjadi membosankan. Seiring dengan semakin majunya zaman, banyak yang mengklaim bahwa era buku cetak sudah berakhir. Keberadaannya akan segera tergusur oleh keberadaan buku-buku digital yang memang lebih murah dan praktis. Tergesernya buku cetak oleh buku digital ini memang mulai terasa  akhir-akhir ini, ditandai dengan semakin sering diadakan obralan buku di toko-toko buku sebagaimana mengutip pendapat Yudhi Herwibowo, penulis Untung Surapati. Bahkan, beberapa penerbit buku di Indonesia ada yang akhirnya gulung tikar, entah dengan alasan merger atau karena menurunnya omset secara sangat drastis. Menurunnya penjualan buku berarti kerugian bukan?

              Membaca ebook  memang jauh lebih praktis, lebih murah (karena banyak ebook yang bisa dengan mudah diunduh di Internet), lebih ramah lingkungan (hemat kertas), dan lebih peka zaman—atau lebih modern kata anak zaman sekarang. Ini didukung dengan semakin murahnya harga perangkat-perangkat pembaca elektronik seperti ipad dan kindle dengan tampilan yang ramah mata, menjadikan membaca ebook jauh lebih nyaman ketimbang hanya membaca di depan monitor PC. Dengan segala kelebihan ebook terhadap buku cetak, wajar saja jika saat ini kita sering menjumpai orang yang berkata: “Hari gini beli buku? Kan ada ebook yang gratis dan murah?”

                Lalu, benarkah nasib buku cetak sebentar lagi tamat? Dan, apakah memang sudah bukan zamannya lagi membeli (atau membaca) buku cetak? Benarkah ebook dengan segala kelebihannya sudah mampu mengalahkan buku cetak secara telak? Untuk menjawabnya, kita juga harus mempertimbangkan pendapat lain dari pihak lain yang bersikukuh untuk tetap membaca buku cetak. Tidak peduli secanggih apapun perangkat pembaca ebook, hari ini masih ada saja (banyak malah) para pecinta buku sejati yang tetap mencintai buku fisik ketimbang ebook. Alasannya bermacam-macam, tapi cenderung lebih ke sisi emosional. Buku cetak, kata mereka, terasa lebih nyata dan lebih bernilai. Buku cetak bisa dibawa kemana saja, dibaca sambil tiduran atau duduk-duduk. Bagi mereka, proses membeli, menimbun, membuka segel plastik,  meraba cetakan timbul pada sampulnya, membaui bau tinta yang masih baru, menyampulkan, dan kemudian bergadang semalaman karena tenggelam dalam halaman-halamannya adalah sederetan proses yang tak pernah bisa digantikan oleh buku cetak. Bagi para pembaca buku cetak, memiliki dan membaca buku berarti memegang sebuah buku yang benar-benar nyata, yang berjilid, bersampul, dan bertinta.

                Dari sini, masing-masing kubu bersikukuh pada pendapat masing-masing. Dan, kalau sudah begini maka tidak ada yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah. Masing-masing berhak  membela pilihannya. Ebook memang murah, praktis, dan menghemat kertas; tapi pertimbangkan juga bagaimana seandainya buku cetak tidak diterbitkan lagi dan para penerbit gulung tikar. Berapa banyak orang dan keluarga yang kehidupannya bergantung pada penjualan buku cetak akan kehilangan sumber penghidupannya. Sebaliknya, buku cetak memang terasa lebih nyata, lebih ramah mata, dan bisa dibaca dengan gaya bagaimanapun tanpa takut layar pecah atau kesetrum. Tapi, buku cetak juga cenderung mahal dan menghabiskan banyak pohon di hutan. Pada akhirnya, pilihan untuk membaca buku cetak atau ebook tergantung pada selera dan pilihan masing-masing. Baik membaca buku cetak ataupun ebook  adalah sama-sama bagusnya. Yang jelek adalah mereka yang tidak mau membaca buku apapun!

Mengapa saya memilih membaca buku cetak?
                Dulu, saya memilih membaca buku cetak ketimbang ebook karena pertimbangan emosional semata. Yakni, karena memang dari dulu saya suka membaca dan mengoleksi buku. Bagi saya, membeli buku itu wajib setiap bulan, sementara membeli gadget adalah wajib kalau gadget lama sudah rusak. Pilihan ini memang murni subjektif dan saya juga tidak menyalahkan jika ada orang yang lebih suka membeli gadget ketimbang membeli buku. Sekali lagi, ini adalah pilihan dan tidak bisa dipaksakan.

                Walau demikian, kadang saya merasa sedikit minder menjadi bagian dari kelompok minoritas diantara kelompok mayoritas yang selalu up date kalau sudah urusan membeli gadget. Saya sempat down, merasa bahwa hobi membeli/membaca buku cetak adalah sia-sia. Untungnya, saya dipertemukan dengan Blogger Buku Indonesia, kelompok komunitas pecinta buku di mana kita memiliki teman-teman senasib yang telah jatuh cinta pada dunia buku. Keyakinan saya untuk tetap membaca buku cetak juga semakin menguat setelah membaca buku The Shallows karya Nicholas Carr (Mizan, 2011). Carr telah membuka mata saya bahwa tidak ada salahnya tetap membaca buku cetak di tengah gempuran internet dan ebook.
Membaca buku cetak, dalam beberapa hal, tidak akan pernah bisa tergantikan oleh  membaca ebook. Ingatkah kapan terakhir kali Anda menyusuri rak-rak perpustakaan, menyusuri deretan judul buku satu per satu. Ada perasaan syahdu dan menenteramkan di sana. Carr dalam bukunya menyebutkan bahwa buku—tidak seperti internet—seperti selalu siap dan dengan sabar menunggu Anda untuk menemukannya. Ada keheningan yang menyenangkan saat kita dikelilingi buku-buku. Tidak seperti data di internet yang terus-menerus diperbarui, buku akan tetap sama kecuali ada edisi terbitan ulang. Sadarkah Anda, momen-momen ketika kita akhirnya berhasil menemukan buku yang tepat di perpustakaan rasanya jauh lebih menggembirakan ketimbang ketika kita menemukan halaman situs yang kita cari? Ada semacam keuletan agung saat kita sibuk  berkutat  dengan buku-buku di perpustakaan, yang mana perasaan ini jauh lebih terasa luar biasa ketimbang ketika kita tengah berkutat di depan monitor dalam bilik warnet yang sempit, dikelilingi anak-anak ABG yang sedang bermain game online sambil berteriak-teriak kurang sopan.

                Dalam bukunya, Carr juga sempat mengutip sebuah ungkapan yang berbunyi kira-kira begini: “Membaca buku ibarat mencari pengetahuan, membaca ebook ibarat sekadar mencari informasi.”Tepat seperti itulah yang saya rasakan. Membaca ebook—sebagaimana berselancar di dunia maya—terasa grusa-grusu atau terburu-buru, melelahkan (mungkin karena saya membacanya di PC), dan sangat berbau logam atau teknologi. Membaca buku cetak, sebaliknya, terasa menenangkan, intim, natural dan sangat “kertas”. Bagi saya, membaca buku adalah untuk bersantai bukan untuk mencari informasi (karena informasi dalam buku pasti kalah up date  dengan informasi dalam surat kabar atau internet).

                Kini, ketika keberadaan ebook dan perpustakaan digital semakin menguat, fungsi perpustakaan juga akan mengalami perubahan. Yang jelas, saya belum siap kehilangan perpustakaan fisik untuk sepenuhnya digantikan oleh perpustakaan digital. Tapi, membaca apapun itu selalu baik bagi saya. Seperti yang telah saya kutip di atas, membaca buku cetak ataupun membaca buku digital (ebook), keduanya sama baiknya, yang tidak baik adalah mereka yang tidak mau membaca. 

gambar: typedesk.com



15 comments:

  1. buku cetak tetap lebih bagus, bisa dipegang dan bisa dicium wangi kertasnya yang memabukkan itu hehe...

    ReplyDelete
  2. Buku cetak memang lebih enak dibaca, tapi lebih menguras kantong juga. Terutama buat saya yang hobi baca buku klasik non-terjemahan, jauh lebih susah cari buku cetak daripada ebook. :(

    Harusnya Indonesia punya perpustakaan rakyat gitu ya, supaya buku bisa pinjam, ga usah beli. :( <-- ga modal

    ReplyDelete
  3. Untuk buku non-textbook (karena saya anak kuliahan), saya masih lebih senang membaca buku cetak daripada e-book. Karena buku cetak bisa dibaca sambil tiduran, dan tidak akan jatuh dari tempat tidur kalau kita sampai ketiduran, hihihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku blm punya gadgetnya sih jd blm ngerasain enaknya

      Delete
  4. I loooove printed book.
    Bisa di pamerin kalo kebetulan ada yg mampir ke rumah dan lirik rak penuh buku. Bangga gitu.. XD

    ReplyDelete
  5. "...membaca buku cetak ataupun membaca buku digital (ebook), keduanya sama baiknya, yang tidak baik adalah mereka yang tidak mau membaca."

    Setuju!! :))

    ReplyDelete
  6. Aku suka baca buku print, karena hal yang lain, mendukung si pengarang. Katakan ini hanya idealisme dari aku, cuma aku merasa ebook itu gampang dicari dan free. Aku rasa nyaris 90% pembaca ibuk semuanya dapat free, ga beli (hayo ngaku :P). Dan aku udah sering baca tweet maupun keluh kesah pengarang tentang ebook piracy. Terus terang aku merasa bersalah, dan memilih beli buku asli mereka... tapi tentu aja jika suka. Yup, aku ga nyangkal kalau aku sendiri juga ngumpulin ebook kok. I mean, its already become habit. Sulit dihilangkan. Bukan berarti aku munafik, karena ngelakuin dua-duanya (beli buku print dan donlod ebook), hohohoho :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngaku juga ah, aku baca ebook kalau bukunya mahal

      Delete
  7. Ebook dan printed book ngga akan saling ngalahin kok, justru saling ngelengkapin satu sama lain. Yakin deh ngga bakalan semua orang pindah ke ebook, dan yakin juga ngga semua orang pindah ke printed book.

    Orang yang sering pergi2, bakal lebih enak baca di e-readernya karena bawa2 buku printed bakal repot. Tapi kalo orang yang lebih banyak diem di ruangan, ya lebih enak printed. Yah intinya tadi itu, saling ngelengkapin. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suatu saat, pasti akan muncul ereader yg benar2 ramah mata. Apakah itu saatnya buku cetak dimuseumkan? ow Tidakkkk

      Delete
  8. buku e-book juga praktis untuk seminar, presentasi dll ...ya cuma muuaaahhhaalll pool booknya, coba murah??

    ReplyDelete