Judul :
Jokowi, Si Tukang Kayu
Penulis :
Gatot Kaca Suroso
Penyunting :
Rayina
Korektor :
Siti Aenah
Sampul :
Apung Donggala—Ufukreatif Desain
Cetakan :
1, September 2012
Penerbit :
Ufuk Fiction
Buku ini
semacam novel inspiratif sederhana tentang seorang sosok bersahaja yang
akhir-akhir ini sering menjadi sorotan publik terkait dengan PILKADA Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 2012. Dialah Jokowi, mantan orang ndeso yang dengan gilang-gemilang berhasil menaklukkan rimba
ibukota. Orang Solo yang hampir secara aklamatif akan memimpin Jakarta
selama lima
tahun ke depan. Joko Widodo, atau yang lebih populer dipanggil Jokowi, adalah
sosok bersahaja yang apa adanya tapi juga ada apa-apanya. Begitu banyak
kualitas kepemimpinan dalam dirinya: kreativitas, mengayomi, mampu
mempersatukan banyak pendapat, dan tidak segan-segan melakukan tindakan yang
agak “tidak umum” namun ternyata memang berhasil. Semua kualitas inilah yang
menjadikan sosoknya begitu berbeda dan begitu menyedot perhatian publik
semenjak beliau menjabat sebagai Walikota Solo hingga kini menjadi Gubernur DKI
Jakarta.
Ada banyak hal yang turut
membentuk Jokowi yang sekarang. Dalam novel Jokowi
Si Tukang Kayu ini, pembaca akan
diajak bernostalgia ke Solo pada awal tahun 1970-an. Tentang masa kecil dan
remaja Jokowi, begitulah novel ini dimaksudkan. Semua bermula dari pengalaman
masa kecilnya yang dididik sebagai anak dari keluarga sederhana, bahkan keluarganya
pernah tinggal di bantaran Kali Anyar, Surakarta,
bersama para penghuni liar lainnya. Jokowi kecil hidup dengan begitu sederhana:
mandi di sungai, bermain layangan si sawah, sesekali bermain di terminal, atau
membantu bapaknya mencari kayu ke hutan. Semuanya biasa-biasa saja, tiada yang
istimewa. Yang Istimewa adalah bahwa Jokowi kecil mampu menghasilkan jiwa dan
sikap yang istimewa dari masa kecilnya yang sangat biasa itu.
Lingkungan yang kumuh tidak
menjadikan jiwa, hati, dan pikirannya turut kumuh. Dengan didikan Bapaknya yang
tukang kayu serta Ibundanya yang begitu sederhana serta bijak dalam mengarungi
hidup, Jokowi pun tumbuh sebagai anak yang terbiasa bekerja keras, bertanggung
jawab, dan juga cerdas. Ia begitu beruntung karena tumbuh dengan dikelilingi
oleh orang-orang yang bersahaja namun memiliki pandangan hidup yang luar biasa.
“Bapak, Ibu, maupun Mbah Harjo sama-sama pernah memberiku nasihat soal nrima
ing pandum, yang intinya rida, ikhlas
dengan yang diberikan Gusti Allah. Tapi nerima bukan sekadar nerima. Melainkan
dibarengi dengan ikhtiar semampunya. Adapun hasilnya, itu terserah kepada Yang Maha Kuasa” (halaman 125)
Sedari kecil, ia memang sudah
menunjukkan sifat-sifat yang sampai hari ini masih diperlihatkan hingga
sekarang, yakni aktif bertindak ketimbang sibuk berwacana. Ia membuktikan
prinsipnya ini dalam mencari SMA maupun kuliah. Walau gagal masuk di SMA
impiannya, SMA I Surakarta, Jokowi remaja tidak putus asa apalagi ngresulo (mengeluh). Ia berhasil membuktikan bahwa di SMA yang
bukan favorit pun ia bisa tetap juara dan mempertahankan prestasi bagusnya.
Setidaknya, dengan nekat, aku sudah berusaha mencapai
keinginanku, tidak merasa takut sebelum mencoba.” (halaman 100).
Dengan prinsip yang sama, Jokowi berhasil
diterima kuliah di universitas yang benar-benar menjadi favoritnya. Ia masuk
sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Ia tahu,
keluarganya tidak begitu berada, tapi orang tua Jokowi tetap mengedepankan
prinsip pentingnya pendidikan sehingga mereka bekerja keras demi membiayai
Jokowi.
“Tapi, kamu harus tanggung jawab ya. Kalau
sudah memulai sesuatu, jangn kamu tinnggal di tengah perjalanan, nanti Bapak
bantu sebisanya kalau kamu butuh apa-apa, seperti modal, karena jer basuki
mawa bea (untuk bisa berhasil harus ada
modal/biayanya).”
Jokowi pun demikian adanya.
Pembaca seharusnya kagum dengan semangat pemuda Jokowi, yang ngekos dengan duit sangat pas-pasan, di
mana ia juga harus bolak-balik Jogja-Solo setiap akhir pekan demi membantu
usaha orang tuanya. Jokowi tahu benar bahwa keluarganya telah berkorban banyak
demi kuliahnya, dan ia tidak akan menyia-nyiakan hal itu. Ia pun tumbuh menjadi
mahasiswa yang cerdas, aktif berorganisasi, dan memiliki pandangan maju.
Kualitas prima ini ia tunjukkan dalam program KKN yang ia ajukan bersama
kelompoknya. Bukan sekadar KKN biasa, program yang diluncurkan Jokowi ini berhasil
membangun masyarakat desa dengan berbasis kemandirian. Saat berpamitan, mereka
meninggalkan desa itu dengan perasaan bangga bahwa semua anak muda di desa itu
telah memiliki keterampilan dalam mengolah kayu menjadi mebel. Ia benar-benar
anak tukang kayu yang berpandangan ke depan.
Masih ada banyak lagi hal-hal
hebat yang bisa diambil dari masa kecil dan masa remaja Jokowi. Semuanya begitu
sederhana dan apa adanya, tapi sang penulis berhasil menyarikan nilai-nilai
kehidupan mellaui sudut pandang Jokowi yang apa adanya. Novel ini juga sedikit
menjawab tanya dan penasaran dari para pembaca, tentang bagaimana masa-masa
pacaran Jokowi muda, tentang bagaimana ia sangat suka dengan lagu rock, dan
tentu saja, bagaimana ia bisa mendapatkan nama Jokowi—yang ternyata berasal
dari seorang pengusaha asal Rusia.
Pun demikian, novel sederhana ini
belum mengekplorasi masa-masa dewasa Jokowi, yakni Jokowi sebagai pengusaha
mebel hingga akhirnya ia maju sebagai calon Walikota Solo. Seharusnya, bagian
inilah yang mendapat porsi lebih, namun sayangnya hanya dibahas sekelumit kecil
di penghujung novel. Tampaknya, penulisan novel ini lebih bertujuan untuk mengekplorasi
masa kecil dan masa remaja Jokowi. Walaupun begitu, ada begitu banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai teladan dan hikmah dari perjalanan seorang Jokowi dalam buku
sederhana ini. Paling tidak, buku ini mampu menjawab sebagian tanya tentang
sosok Joko Widodo yang akhir-akhir ini begitu rupa mewarnai layar kaca para
pemirsa.
Wow! langsung dihajar sama Mas Dion :)
ReplyDeleteAyo Jamal, mana resensimu
DeleteCepet bgt mas resensinyaaa
ReplyDeletesoalnya PR msh menggunung tinggi #eh
Delete