Search This Blog

Friday, June 22, 2012

Raise the Red Lantern, Persaingan Para Istri


Judul                : Raise the Red Lantern, Persaingan Para Istri
Penulis              : Su Tong
Penerjemah      : Rahmani Astuti
Penyunting        : Anton Kurnia
Pem. Aksara    : Dian Pranasari
Cetakan           : 1, November 2011
Penerbit            : Serambi Ilmu Semesta
           

Untung saja buku ini terbilang tipis, hanya 133 halaman, atau kalau tidak saya tidak tahu apakah saya sanggup menyelesaikan pembacaan dari karya yang begitu muram tentang rumah tangga yang berpoligami ini. Adalah Teratai, seorang mahasiswi berusia 19 tahun yang dipaksa oleh takdir dan keadaan untuk memasuki sebuah rumah seorang Tuan Besar yang  telah memiliki 3 orang istri. Alkisah, bisnis ayah Teratai bangkrut dan akhirnya ia bunuh diri karena tiak kuat menanggung utang dan malu. Karena tidak memiliki uang sepeser pun, Teratai kemudian memutuskan untuk menikah dengan Chen Zuoqhian, seorang saudagar kaya raya. Dengan menikahi orang kaya, Teratai merasa ia akan tercukupi kebutuhannya, meskipun demi itu ia harus rela dimadu dan menjadi istri keempat. Ketika ditanya alasan mengapa ia mau saja menikahi pria paruh baya yang tamak seperti Chen, Teratai menjawab:
           
“Apa itu status? Apakah status itu sesuatu yang dikhawatirkan oleh orang-orang sepertiku? Bagaimanapun aku sudah menyerahkan diriku kepadamu untuk dijual. Jika kau masih menghargai kasih sayang ayahku, juallah aku kepada seorang tuan yang baik.” (17).
          
            Di dalam rumah keluarga Zuoqhian, Teratai pun segera mendapat serangan dan tentanggan dari ketiga istri tua Tuan Besar. Sukacita, Mega, dan Karang; ketiganya memendam ambisi terpendam untuk saling menyingkirkan dan berupaya menjadi yang terbaik, tercantik, dan terseksi dalam memberikan “layanan” kepada si Tuan Besar. Tentu saja, karena Teratai adalah yang paling muda, ketiga istri tua itu menunjukkan ketidaksukaannya—baik secara terang-terangan maupun tersembunyi—kepada Teratai.
            
            Dan, dimulailah perang dingin dan perang batin di antara keempat wanita itu. Dalam persaingan yang digerakkan oleh asmara maupun kecemburuan, masing-masing istri saling beradu siasat, saling fitnah, bahkan menggunakan ilmu hitam untuk menyingkirkan saingan mereka. Bahkan, tidak jarang masing-masing istri menjelekkan istri yang lain demi mendapatkan perhatian utama dari Tuan Besar. Teratai yang awalnya memilih untuk diam dan tidak terlibat pun segera terseret dalam intrik dan persaingan yang menguras batin dan pikiran. Sampai-sampai, ia yang awalnya lebih logis dan berpendidikan pun kehilangan logika dan kecerdasannya. Perlahan, persaingan itu telah mengubahnya menjadi perempuan yang egois, yang labil, yang emosional, yang meledak-ledak, yang ikut menjelek-jelekkan saingannya. Dan, istri keempat pun menambah daftar masalah di rumah Tuan Besar.
            
            Novel Raise the Red Lantern diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1990. Judul awalnya adalah Wives and Concubines yang kemudian diubah menjadi Raise the Red Lantern sesuai dengan versi filmnya yang dibintangi oleh Gong Li sebagai Teratai. Dalam film yang disutradarai oleh Zhang Yimou itu, ada adegan pemasangan lampion merah setiap malam di depan kamar salah satu istri yang akan dikunjungi Tuan Besar Chen. Penulisnya, Su Tong, memang dikenal sebagai penulis yang suka mengambil tema yang tidak biasa dan bakan cenderung tabu. Dalam novel ini, ia rupanya hendak menyorot tentang tradisi poligami yang marak di China tempo dulu dan juga kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan (yang masih dianut kuat hingga saat ini). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Chen dan Teratai:
             
             “Jangan bercanda! Wanita tidak bisa lebih penting daripada pria.” (halaman 12).
            Anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan.” Pikir Teratai. “Siapa yang peduli apakah dia mengigit atau tidak.” (halaman 24).

Buku ini tipis, bahkan bisa selesai dalam sekali baca. Namun, isinya begitu berwarna sekaligus begitu muram sehingga pembaca akan mampu memahami penyebab dari perubahan besar yang menimpa Teratai. Segala intrik dan perseteruan antar istri digambarkan dengan begitu gamblang, yang menjelaskan penyebab mengapa pembaca sering kali kelelahan walau membaca buku tipis namun sangat muram ini. Saking muramnya sehingga buku tipis ini sendiri mampu membuat Teratai gila di halaman terakhir.

            Lewat kehidupan Teratai, Karang, Mega, dan Sukacita yang sepertinya begitu larut dalam dunia mereka yang sempit, yakni seputar kamar, taman, dan ruang makan, penulis seperti hendak mengkritik posisi perempuan yang (pernah) begitu direndahkan di China. Perempuan seolah tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu pria, bukannya sebagai rekan sehidup-semati. Menikah seolah begitu mudah bagi seorang Tuan Besar seperti Chen sehingga ia mudah saya mengambil empat-lima istri atau (maaf)  menggoda pelayannya. Borok rumah tangga yang hanya dibangun lewat nafsu dan ketamakan didedahkan semua dengan begitu muram. Bahwa apapun yang dimulai dan didasari oleh niat buruk semata memang tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik dan positif, termasuk dalam memilih istri dan memutuskan untuk berpoligami. Jika landasan dan alasannya kurang tepat, maka bencana lah yang akan datang.

            

No comments:

Post a Comment