Judul : Raise the Red Lantern,
Persaingan Para Istri
Penulis : Su Tong
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting : Anton Kurnia
Pem.
Aksara : Dian Pranasari
Cetakan : 1, November 2011
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Untung saja buku ini terbilang
tipis, hanya 133 halaman, atau kalau tidak saya tidak tahu apakah saya sanggup
menyelesaikan pembacaan dari karya yang begitu muram tentang rumah tangga yang
berpoligami ini. Adalah Teratai, seorang mahasiswi berusia 19 tahun yang
dipaksa oleh takdir dan keadaan untuk memasuki sebuah rumah seorang Tuan Besar
yang telah memiliki 3 orang istri.
Alkisah, bisnis ayah Teratai bangkrut dan akhirnya ia bunuh diri karena tiak
kuat menanggung utang dan malu. Karena tidak memiliki uang sepeser pun, Teratai
kemudian memutuskan untuk menikah dengan Chen Zuoqhian, seorang saudagar kaya
raya. Dengan menikahi orang kaya, Teratai merasa ia akan tercukupi
kebutuhannya, meskipun demi itu ia harus rela dimadu dan menjadi istri keempat.
Ketika ditanya alasan mengapa ia mau saja menikahi pria paruh baya yang tamak
seperti Chen, Teratai menjawab:
“Apa itu status? Apakah status itu sesuatu
yang dikhawatirkan oleh orang-orang sepertiku? Bagaimanapun aku sudah
menyerahkan diriku kepadamu untuk dijual. Jika kau masih menghargai kasih sayang
ayahku, juallah aku kepada seorang tuan yang baik.” (17).
Di dalam
rumah keluarga Zuoqhian, Teratai pun segera mendapat serangan dan tentanggan
dari ketiga istri tua Tuan Besar. Sukacita, Mega, dan Karang; ketiganya
memendam ambisi terpendam untuk saling menyingkirkan dan berupaya menjadi yang
terbaik, tercantik, dan terseksi dalam memberikan “layanan” kepada si Tuan
Besar. Tentu saja, karena Teratai adalah yang paling muda, ketiga istri tua itu
menunjukkan ketidaksukaannya—baik secara terang-terangan maupun
tersembunyi—kepada Teratai.
Dan,
dimulailah perang dingin dan perang batin di antara keempat wanita itu. Dalam
persaingan yang digerakkan oleh asmara
maupun kecemburuan, masing-masing istri saling beradu siasat, saling fitnah,
bahkan menggunakan ilmu hitam untuk menyingkirkan saingan mereka. Bahkan, tidak
jarang masing-masing istri menjelekkan istri yang lain demi mendapatkan
perhatian utama dari Tuan Besar. Teratai yang awalnya memilih untuk diam dan
tidak terlibat pun segera terseret dalam intrik dan persaingan yang menguras
batin dan pikiran. Sampai-sampai, ia yang awalnya lebih logis dan berpendidikan
pun kehilangan logika dan kecerdasannya. Perlahan, persaingan itu telah
mengubahnya menjadi perempuan yang egois, yang labil, yang emosional, yang meledak-ledak,
yang ikut menjelek-jelekkan saingannya. Dan, istri keempat pun menambah daftar
masalah di rumah Tuan Besar.
Novel Raise the Red Lantern diterbitkan
pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1990. Judul awalnya adalah Wives and Concubines yang kemudian
diubah menjadi Raise the Red Lantern sesuai
dengan versi filmnya yang dibintangi oleh Gong Li sebagai Teratai. Dalam film
yang disutradarai oleh Zhang Yimou itu, ada adegan pemasangan lampion merah
setiap malam di depan kamar salah satu istri yang akan dikunjungi Tuan Besar
Chen. Penulisnya, Su Tong, memang dikenal sebagai penulis yang suka mengambil
tema yang tidak biasa dan bakan cenderung tabu. Dalam novel ini, ia rupanya
hendak menyorot tentang tradisi poligami yang marak di China tempo dulu
dan juga kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki ketimbang anak perempuan
(yang masih dianut kuat hingga saat ini). Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
sendiri oleh Chen dan Teratai:
“Jangan bercanda! Wanita tidak bisa lebih
penting daripada pria.” (halaman 12).
“Anak laki-laki lebih baik daripada anak
perempuan.” Pikir Teratai. “Siapa yang peduli apakah dia mengigit atau tidak.” (halaman
24).
Buku ini tipis, bahkan bisa
selesai dalam sekali baca. Namun, isinya begitu berwarna sekaligus begitu muram
sehingga pembaca akan mampu memahami penyebab dari perubahan besar yang menimpa
Teratai. Segala intrik dan perseteruan antar istri digambarkan dengan begitu
gamblang, yang menjelaskan penyebab mengapa pembaca sering kali kelelahan walau
membaca buku tipis namun sangat muram ini. Saking muramnya sehingga buku tipis
ini sendiri mampu membuat Teratai gila di halaman terakhir.
Lewat kehidupan Teratai, Karang,
Mega, dan Sukacita yang sepertinya begitu larut dalam dunia mereka yang sempit,
yakni seputar kamar, taman, dan ruang makan, penulis seperti hendak mengkritik
posisi perempuan yang (pernah) begitu direndahkan di China. Perempuan seolah
tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu pria, bukannya sebagai rekan
sehidup-semati. Menikah seolah begitu mudah bagi seorang Tuan Besar seperti
Chen sehingga ia mudah saya mengambil empat-lima istri atau (maaf) menggoda pelayannya. Borok rumah tangga yang
hanya dibangun lewat nafsu dan ketamakan didedahkan semua dengan begitu muram.
Bahwa apapun yang dimulai dan didasari oleh niat buruk semata memang tidak akan
menghasilkan sesuatu yang baik dan positif, termasuk dalam memilih istri dan
memutuskan untuk berpoligami. Jika landasan dan alasannya kurang tepat, maka
bencana lah yang akan datang.
No comments:
Post a Comment