Judul : Ratu Seribu Tahun
Pengarang : Ardani Persada
Pencipta
Hikayat : Ami Raditya
Ilustrasi : Tim Ilustrasi Vandaria Wars
Tebal : 533 Halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ketika
cerita epos dijadikan hikayat, penulis dituntut untuk mampu membebaskan
elemen-elemen di dalamnya menjadi suatu fiksinisasi fantasi yang menawan.
Ardani Persada, dengan pengetahuannya yang kaya dan dipadu dengan
ketertarikannya pada ranah fantasi, berhasil menuliskan salah satu hikayat
pengisi lini masa di dunia Vandaria. Kelihaiannya membawa nilai-nilai lokal
dalam cerita fantasi dengan setting Vandaria telah menghasilkan alur cerita
tentang Ratu Narasoma yang kisah perjalanannya merentang sepanjang 1000 tahun
masa kehidupan manusia biasa. Dialah Narasoma, Ratu Seribu Tahun.
Kisah
dimulai ketika terjadi serbuan pasukan Kerajaan Arengka yang dipimpin oleh Raja
Rahwan ke negeri Madra. Negeri yang semula aman sentosa itu kini terancam oleh
ambisi sang raja lalim yang telah terlebih dulu melumat habis kerajaan-kerajaan
lain di daratan utama Vandaria. Setelah Hastin takluk, negeri Madra menjadi
target selanjutnya. Perang pun pecah, dengan masing-masing pihak mengerahkan
pasukannya dari bangsa manusia, djinn, maupun makhluk-makhluk mitos yang selama
ini hanya muncul di dunia epos: garuda dan jatayu. Elemen-elemen lokal yang
langsung membanjiri halaman-halaman awal novel inilah yang membuat Ratu Seribu Tahun berbeda dari fiksi
fantasi lokal kebanyakan yang seakan berlomba untuk mengusung nama-nama berbau asing.
Madra pun
terdesak sehingga sang raja terpaksa meminta bantuan kepada sosok djinn perkasa
bernama Murugan. Sang djinn bersedia membantu, tapi dengan syarat ia harus
menumbalkan putrinya, Narasoma, sebagai
wadah bagi Murugan supaya ia bisa mewujud di dunia nyata. Sang raja setuju dan pasukan Arengka pun
dapat dikalahkan. Murugan juga membuat mantra pelindung di sekeliling negeri
Madra sehingga negeri itu tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang bukan
penduduk Madra. Negeri itu pun aman sentosa walaupun harus terisolir dari luar
selama ribuan tahun. Tapi, putri Narasoma lah yang menanggung akibat paling
mengerikan. Walaupun Narasoma tetap bisa hidup seperti manusia biasa, dengan kesadarannya
yang sehat sepenuhnya, di tubuhnya kini bersemayam djinn Murugan—sosok djinn
yang paling ditakuti di Vandaria. Putri cantik itu kini juga memiliki dua
tanduk di kepalanya, dan ia hidup abadi.
Kutukan
keabadian inilah yang menyiksa Narasoma karena ia harus menjalani pergantian
abad demi abad, sementara dirinya tidak pernah menua. Selama hampir satu millennia,
ia mampu memimpin Madra dengan adil dan damai. Rakyat begitu memujanya. Namun,
yang namanya kutukan tetaplah kutukan. Keabadian itu serasa membelenggu jiwa
dan kehidupan. Sampai akhirnya, seorang Pejalan Cakrawala bernama Hekhaloth
mewujud di depannya, memerintahkannya agar melakukan perjalanan ke Barat untuk
menemukan Lembah yang Dijanjikan. Selama perjalanan, ia juga diperintahkan
mengamalkan dan menyerbarluaskan ajaran Rahwan, yang entah bagaimana selama
ratusan tahun kemudian raja bengis itu malah dikenang sebagai penyebar
kebaikan. Di Lembah yang Dijanjikan itulah Narasoma berharap bisa menemukan
jawab dari galau yang mendera hati dan pikirannya.
Sayangnya,
empat Raja Langit mengira bahwa perjalanan Narasoma adalah untuk berbuat
kejahatan—terutama karena iblis Murugan yang bersemayam dalam dirinya juga ikut
dalam perjalanan suci tersebut. Sekuat tenaga, empat frameless penjaga bumi Vandaria
itu pun bersatu menentang perjalanan Narasoma. Dipersiapkanlah pasukan demi
menghadang rombongan Narasoma.
Perjalanan
ke Barat pun dimulai. Beragam ujian dan penghalang tentu saja harus dilalui
oleh Narasoma. Untungnya, para dewa-dewi Vanadis memberkati perjalanannya
dengan kawan-kawan seperjalanan yang luar biasa. Adalah Kugo, seekor kera sakti
dari langit yang awalnya diutus Raja Surga untuk menghentikan perjalanan
Narasoma dan kemudian menjadi pengawal paling setia. Selain Kugo, ada juga
Vari—sang penyembuh, Hakka—seekor monster gorken yang kemudian mengabdi dan
menjadi murid Narasoma, serta Gojoh—pemburu terminus (semacam roh alam) yang
akhirnya juga menjadi murid Narasoma. Kisah selanjutnya adalah tentang
perjalanan suci Narasoma. Di mana mereka bertempur dengan berbagai makhluk,
mulai dari naga hingga kaum frameless. Pada akhirnya, perjalanan itu sendiri
adalah proses yang harus dijalani Narasoma agar ia mampu memahami ajaran Rahwan
yang telah diajarkan oleh Sang Ibu—dan kemudian diselewengkan oleh Rahwan. Di
akhir cerita, Narasoma menemukan bahwa Lembah yang Dijanjikan itu ternyata berada
begitu dekat dengan dirinya, dan bahwa pertemuan dan perjalanannya bersama
murid-muridnya demi menyebarkan ajaran cinta kasih itulah maksud dari
perjalanan suci sang ratu 1000 tahun ini.
“Karena itulah kedamaian yang sesungguhnya,
hanya bisa kita temukan di dalam hati. Lembah yang Dijanjikan sesungguhnya
sudah tersimpan di hati setiap umat-Nya. Kita hanya perlu membuka hati dan
menerimanya.” (483)
Novel Ratu Seribu Tahun, terlepas dari
kemiripan kisahnya dengan “Kisah Sun Go
Kong dan Perjalanan ke Barat”
mampu membawa angin segar dalam ranah fiksi fantasi dalam negeri. Bukan hanya
di bumi Vandaria, kisah rekaan Ardani Persada ini seakan hendak menegaskan
kembali bangkitnya muatan lokal dalam ranah fantasi dalam negeri. Sudah sejak
lama, fiksi fantasi kita—yang masih sedikit itu—dibanjiri dan diwarnai oleh
nama-nama asing serta legenda-legenda luar. Sudah tak terhitung berapa kali
pembaca kita kesulitan mengingat nama-nama yang (maaf) “tidak Indonesianis”
dalam ranah fiksi fantasi lokal. Serbuan produk luar begitu gencar sehingga kita
seolah lebih akrab dengan elf, kurcaci,
atau troll yang asli luar negeri
padahal hikayat-hikayat di nusantara sendiri sangat kaya akan elemen-elemen
fantasi yang menakjubkan. Ardani adalah salah satu yang pertama berhasil
menunjukkan bahwa istilah-istilah lokal seperti jatayu, garuda, dan djinn juga
mampu menawarkan petualangan yang tidak kalah serunya dibanding istilah-istilah
asing. Buku-buku fantasi terjemahan memang tengah menguasai pasaran, tapi bukan
berarti kita juga harus membebek dan ikut-ikutan memakai nama asing bukan?
Kelebihan
lain dari Ratu Seribu Tahun juga
terletak pada kekayaan wacana yang ditawarkan, kompleksnya konflik yang
diajukan, serta beragamnya karakter yang saling berjalinan di dalamnya, Lebih
dari itu, novel ini juga seperti mengajak pembaca agar lebih mengenal
tokoh-tokoh pewayangan yang namanya banyak diplesetkan dalam novel ini. Sebut
saja Rahwan, Duryuudan, Hastin, padang
Kurusethr, gunung Argobelah, Garuda, jatayu, dan aneka istilah lain yang
mungkin tidak akan terpikirkan oleh pembaca akan dapat muncul di dunia
Vandaria. Lebih kerennya lagi, Ardani mampu memasukkan unsur lokal dan karakter
pewayangan ini dengan begitu mulusnya sehingga kita tidak seperti sedang
membaca cerita wayang. Atau, mungkin bisa disebut demikian: membaca para
karakter di dunia wayang dalam cerita fantasi ala game yang beraroma petualangan kera sakti!
“Dan aku
percaya kekuatan inilah yang sejati. Kekuatan ini yang bisa menyebarkan cinta
kasih, kedamaian, dan menyebarkan kebenaran pada setiap manusia. Bukan, bukan
hanya manusia, tapi juga frameless, Gorken, dan manusia separuh frameless. Kita semua, dari berbagai macam
kerajaan, suku, ras, pandangan hidup, semuanya berhak atas kebenaran.” (hlm
482)
cek juga kisah lain dari Benua Elir di seberang daratan utama Vandaria dalam buku:
resensinya di sini.
bagus
ReplyDeleteTerima kasih ya
DeleteTerima kasih atas resensinya, Mas Dion. Bagus sekali :)
ReplyDeleteTerima kasih juga telah membaca
DeleteI'm not sure the place you are getting your info, however good topic. I must spend a while finding out much more or working out more. Thanks for great information I was searching for this information for my mission.
ReplyDeleteAlso visit my web-site :: laser cellulite treatment
Izin copas untuk pr ku ya bang :)
ReplyDelete