Search This Blog

Friday, March 30, 2012

Pecinan, Suara Hati Sang Wanita Tionghoa

Judul                : Pecinan, Suara Hati Sang Wanita Tionghoa
Penulis             : Ratna Indraswari Ibrahim
Editor              : Elis W dan  A. Elwiq Pr
Sampul            : Gobag Sodor
Tebal               : 246 halaman
Cetakan           : 1, Juli 2011
Penerbit           : Laksana (DIVA Press)



            Lely Kurniawati dan Anggraeni, dua wanita tegar yang berbeda jalan nasibnya. Jika yang satu memiliki jalan hidup yang lumayan lurus dan memudahkan, maka yang satunya lagi menjalani kehidupan dengan penuh perjuangan dan rasa sakit. Bagaimanapun, mereka berdua dipersatukan oleh hal yang sama, yakni keduanya sama-sama wanita keturunan Tionghoa yang menjadi korban tradisi dan keadaan. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, demikian ungkapan yang pas untuk menggambarkan perlakuan buruk yang mereka terima, bahkan untuk kasus Lely, tangga yang menimpanya itu seperti terbuat dari besi yang panas dan terus-menerus membakar kulitnya.
           
“Atik bilang, perempuan Cina yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki tidak berharga karena tidak bisa menurunkan marga.” (hlm 237)

Bayangkan saja, bagaimana menjadi anak perempuan Tognghoa yang selalu dinomorduakan setelah anak laki-laki. Betapa perlakuan diskriminatif sudah menjadi hal yang biasa bagi Lely, ketika anak laki-laki dijemput dari sekolah dengan becak, ia harus jalan kaki. Bahkan, setelah menikahpun ia serasa tidak dianggap oleh mertua dan diremehkan oleh suami dan iparnya.  Pun, ketika meletus Gerakan 30 September 1965, kondisi keduanya menjadi semakin terpojok. Sudah dinomorduakan oleh keluarga, mereka juga harus mengalami diskriminasi ras di zaman Orde Baru, padahal baik Lely maupun Anggraeni mencintai negeri ini dengan sepenuh jiwa mereka.

            Papi, kita kan orang Indonesia. Mbah buyut , kakak Papi, dan sepupu Papi orang-orang yang berjuang untuk Indonesia. Apa yang harus ditakutkan? “ (hlm. 46)

            “Tapi biarlah aku Cina, Yang penting, aku pun turunan dari prajurit Pangeran Diponegoro,” (hlm 221)

            Ketika meletus pemberontakan PKI pada tahun 1965, yang membuat pemerintah memiliki semakin banyak alasan untuk menindas etnis Tionghoa, baik keluarga Lely maupun Anggraeni kalut, ada sejumlah kerabat yang eksodus ke luar negeri. Ketika muncul tragedi lain yang lebih memilukan pada tahun 1998, di mana terjadi banyak kasus pemerkosaan pada wanita etnis Tionghoa, kedua wanita itu juga tetap memilih untuk tinggal di Indonesia. Mereka tetap berdagang, bersekolah, dan berjuang untuk melayani suaminya.

            “Kita adalah warga negara Indonesia. Apapun yang terjadi adalah risiko kita sebagai orang Indonesia.” (hlm 102).

            Dua sahabat ini pun bertemu lagi di Malang, pada masa kini. Keduanya sudah sama-sama memiliki keluarga. Anggraeni menikah dengan orang Jawa, sementara Lely menikah dengan pria keturunan Cina; di mana masing-masing rumah tangga memberikan ceritanya sendiri. Lely kemudian meminta sahabatnya agar menuliskan buku biografi tentang dirinya, tentang seorang istri dari sebuah keluarga keturunan Cina yang mengalami manis-asamnya kehidupan. Bahkan, di zaman modern seperti saat ini, kecenderungan mengistimewakan anak laki-laki ini masih begitu mengental dan mengakar kuat di masyarakat. Suami Lely yang begitu dibangga-banggakan keluarganya sebagai putra sulung pertama ternyata tumbuh menjadi pria manja yang selalu lari ke ibunya setiap kali ada masalah. Kecenderungan ini juga yang membuatnya merasa selalu benar dan Lely selalu salah, bahkan ketika sang suami jelas-jelas memiliki WIL (wanita idaman lain). Ini ditambah dengan Lely yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Sepertinya, segala jerih payahnya, pengorbanan tenaga dan hartanya, hingga kecintaannya yang tak terbagi kepada sang suami tidak bermakna apa-apa di mata suami dan ibu mertuanya.

            Anggraeni di lain pihak, juga harus menghadapi konflik dengan keluarga besarnya. Ia bersyukur mendapatkan suami yang baik dan pengertian seperti Rahman, namun sebagai wanita Cina yang seperempat Jawa, ia juga mengalami masalahnya sendiri. Tentang ibunya yang semakin cerewet, tentang anaknya yang mulai beranjak dewasa, tentang pilihan hidupnya sebagai pegawai negeri; semua itu cukup menyulitkannya juga—walaupun tidak seberat cobaan yang dihadapi Lely. Bagaimanapun, hidup memang tidak sempurna. Ada sejumlah keadaan ketika kita memang sebaiknya tidak menuntut macam-macam, tapi cukup dengan menjalaninya sebagai sesuatu yang bernilai ibadah. Misalnya saja, dalam menghadapi ibunya yang cerewet dan suka mengatur, memang inilah salah satu bentuk balas jasa kecil yang bisa kita persembahkan kepada orang tua karena tidak semua orang memiliki kesempatan yan sangat mulia ini.

            “Apabila kamu sudah kehilangan kedua orang tuamu. Kamu baru bisa tahu bagaimana senangnya meladeni mereka ketika mereka masih hidup. Serepot apapun urusan kita, luangkan waktu. (193).

            Novel Pecinan adalah novel sederhana yang berupaya mengangkat kehidupan dari kaca mata seorang wanita keturunan Tionghoa di Indonesia pada masa-masa ketika keadaan sepertinya sedang tidak berpihak kepada mereka. Kisah Lely dan Anggraeni memberikan pandangan baru tentang bagaimana sulitnya pilihan yang dihadapi oleh kaum Tionghoa pada masa-masa genting paska tahun 1965, penuh dengan tarikan antara nasionalisme dengan keselamatan diri. Terlebih dengan adanya peristiwa Mei 1998, pada masa-masa itulah nasionalisme mereka sebagai bangsa Indonesia benar-benar diuji.

 Dalam halaman-halamannya, buku ini juga menggambarkan kesetiaan seorang istri yang taat pada suaminya, terlalu taat hingga saat ia terus disiksa secara batin pun kesetiaannya sebagai istri tidak meluntur. Kita akan melihatnya dalam sosok Lely. Ketika seorang wanita sudah membulatkan tekad untuk hanya mencintai suaminya, mereka benar-benar mampu membuktikannya. Melalui Pecinan juga, akan terjawab tanya kita mengapa orang Cina gemar berdagang dan mengapa orang pribumi cenderung suka menjadi pegawai pemerintahan; semua diuraikan melalui sudut pandang dua orang wanita keturunan Tionghoa, yang walaupun sedikit subjektif namun masuk akal dan dijelaskan secara gamblang. Juga, tentang berbagai nasihat tentang rumah tangga, tentang berbisnis yang baik, tentang berbakti kepada orang tua, tentang persahabatan yang tak lekang waktu, tentang cinta yang luar biasa, dan tentang indahnya kota Malang tempo dulu. Semuanya bisa ditemukan dalam novel sederhana namun penuh makna ini. 

10 comments:

  1. jarang ya setahuku, novel yang mengangkat kehidupan perempuan tionghoa di indonesia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya jarang, aku nemu buku ini mojok di kantor ... pertama2 terpikat oleh covernya yg klasik :p

      Delete
  2. Whoaaa.. Review yang panjang! Dion tampak sangat menjiwai, hehe.. Aku suka gregetan sendiri kalo baca budaya yang seperti ini! Lely nya kuat banget ya! Salut..

    ReplyDelete
    Replies
    1. jiahahaha iya Lely kuat tapi bikin gemes ... kok mau ya dibegituin :p

      Delete
  3. bagus ihhh...bener banget tuh kalo tionghoa sampe sekarang masih mendewakan laki2 (pengalaman pribadi huahaha). mirip2 orang batak juga deh, patriarki ya (pengalaman probadi juga). wkwkwk apaan sih malah curhat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe kalo sudah budaya sih susah ya mbak *hadeh*

      Delete
  4. kayaknya buku ini bagus juga, suka sama cerita model begini :)
    nice review! langsung gatel pengen baca buku ini hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayuk dibaca hihihi, kalo susah nyarinya bisa nitip aku *promo

      Delete
  5. Wah review yang cukup panjang untuk sebuah novel. Setelah baca review ini, jadi pingin baca novelnya nih.
    Termasuk cerita yang bisa memberikan motivasi dan inspirasi mengenai perjuangan Hidup ya ....

    ReplyDelete