Search This Blog

Tuesday, January 17, 2012

Dead Girl Walking

Judul                : Dead Girl Walking, Masuk ke Tubuh yang Salah
Penulis            : Linda Joy Singleton
Penerjemah   : Maria Susanto
Penyunting    : Diksi Dik
Cetakan           : 1, Januari 2011
Tebal                : 382 halaman
Penerbit          : Atria


          Bayangkan mendapati dirimu mengalami semacam pengalaman “out of body experience” alias semacam mati suri sehingga bisa bertemu dengan nenek tercinta yang telah wafat.  Untuk membuatnya lebih mengerikan lagi, bayangkan ketika kamu masih diberi kesempatan untuk kembali ke tubuhmu, kamu malah memilih tubuh yang salah. Dan, untuk membuatnya lebih dramatis lagi, bayangkan dirimu terbangun dalam tubuh musuh besarmu di sekolah. Yah, kesialan kosmis inilah yang terjadi pada Amber Borden. Ketika Neneknya menunjukkan jalan kembali menuju tubuhnya, Amber malah salah berbelok. Dan, ia terbangun dari koma dalam tubuh Leah Montgomery—cewek paling populer di SMAnya. Sekali lagi, sebagaimana jerat takdir misterius dalam kehidupan manusia, kesalahan Amber ini ternyata juga memiliki konsekuensi dan pengaruhnya sendiri.

“Percayalah, kata Grammy Greta. “Aku bisa langsung melihat hikmah dari sisi lain dan mengetahui bahwa ada sesuatu yang besar pada masa depanmu.” (hlm 27)

        Terjebak di tubuh yang salah, dengan rambut yang pirang halus, tubuh yang langsing dan atletis, mata yang indah, serta kepopuleran yang tak tertandingi di sekolah justru membuat Amber merasa tidak bahagia. Segala yang dulu ia sesali, tubuhnya yang tidak langsing, rambutnya yang keriting, adik kembar tiganya yang ribut dan suka melemparkan mainan, semua keramaian dan kenormalan itu tidak bisa ia dapatkan di rumah keluarga Montgomery. Rumah itu besar dan mewah, tubuh itu sempurna dan indah, uang mereka banyak dan melimpah; tapi keluarga Montgomery adalah keluarga yang kosong. Dibalik popularitas mereka, ada Tuan Montgomery yang koruptor, istrinya yang pemabuk, dan adik laki-laki yang kriminal. Suka atau tidak, Amber harus tinggal dalam keluarga ini, dan mencoba memperbaiki apa yang bisa ia perbaiki.

           “Bukannya berterima kasih kepada orangtuaku atas banyak hal yang mereka lakukan untukku, aku malah mengeluh karena tidak punya banyak pakaian bagus dan harus mengurus si kembar tiga. Seharusnya ku tidak marah-marah kapanpun Cherry, Melonee, atau Olive merobek-robek PR-ku atau memainkan popok mereka yang kotor. Seharusnya aku memeluk dan mencium mereka. (hlm 234)

           Jika pembaca kemudian membayangkan Amber akan mampu menikmati semua kemewahan ini, Anda keliru. Tubuh leah sendiri ibarat penjara. Kesempurnaan itu begitu mengikat kuat dan harus dibayar mahal dengan hilangnya kebebasan. Mungkin itulah sebabnya tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna di dunia ini, agar dunia bisa berjalan dengan apa adanya. Upaya perbaikan yang dilakukan Amber melalui Leah begitu berat, kadang menyita air mata. Namun, tugas sebagai perantara ini—roh yang menempati tubuh orang lain selama orang tersebut berada dalam kepompong kosmis untuk merenungkan kesalahannya—hampir-hampir membuat Amber kehilangan harapan, sebelum akhirnya ia bertemu dengan sahabat-sahabat terbaik yang selalu ingin membantunya, entah saat ia benar-benar Amber atau si Leah yang Amber.

         Bukannya menghadirkan seorang konselor yang sempurna dalam diri Amber remaja, penulis menuliskan si Amber dalam Leah ini secara apa adanya. Tidak ada hasil waow bombastis yang mengubah kepribadian seperti di film-film. Amber tetaplah Amber, seorang remaja yang juga tengah mengalami perkembangan psikologis. Ia tidak bersikap sebagai dewi psikoanalisis yang mampu memperbaiki segala kerusakan di dunia.  Amber tidak mampu mengubah keculasan Tuan Motgomery, juga tidak mampu menghilangkan kecanduan si nyonya rumah pada alkohol. Tapi, dengan mengalami menjadi Leah—dengan memandang dari sudut pandang orang lain dalam cara yang benar-benar harfiah, Amber mampu mengetahui fakta bahwa orang yang merasa dirinya paling sempurna pun tidaklah sempurna, bahwa menerima dan menjadi dirinya apa adanya adalah hal terbaik yang bisa dilakukan oleh para remaja, dan bahwa dengan menjadi Amber saja dia bisa memiliki teman-teman yang mengasihinya. Dengan menjadi Leah yang Amber, dia juga bisa memperbaiki hubungan buruk antara Leah dengan adik, mama, dan para pembantunya. Bukan hal besar sih, tapi itu adalah langkah awal yang bagus untuk menyadarkan Leah yang asli.

           Dibalik berbagai ungkapan gaul khas dunia remaja yang mewarnai karakter Amber dalam buku ini, ada sebuah petuah mendalam yang wajib kita renungkan, yakni mensyukuri dan mencintai dirimu apa adanya. Bolehlah sesekali remaja berharap menjadi orang lain yang lebih populer, cantik dan terkenal; tapi wadah terbaik bagi kepribadian kita adalah tubuh yang telah diciptakan Tuhan untuk kita sejak lahir. Senantiasa mensyukuri diri sendiri dengan membantu orang lain, seperti Amber yang mendirikan Klub Keranjang Besar Keramahan untuk menyambut murid-murid baru di SMA, adalah cara untuk menyadari bahwa kita sudahlah sesempurna-sempurnanya kita. Lalu, apakah Amber akan berhasil kembali ke tubuhnya? Apakah ia juga akhirnya menemukan cowok yang mau mencintai dirinya apa adanya? Cobalah membaca buku yang dikisahkan dengan sangat bagus ini, walaupun endingnyaagak membuat saya garuk-garuk aspal menuju kelanjutannya (eh spoiler wkwkwk).

              Salut juga untuk sang penerjemah yang mampu mempertahankan rasa “remaja” dari novel yang gaul ini, misalnya dengan menciptakan frasa “fakir fashion” dan “Dustingintahu”. Sebagaimana kata Nenek Grammy Greta: “ Buku-buku terbaik tidak ditulis, tapi disampaikan.” (hlm. 53) dan buku ini adalah salah satunya.




4 comments:

  1. Apa tuh artinya "fakir fashion" ?

    Cerita dengan genre YA yang ini sepertinya cukup bagus deh. Emang ada sambungannya ya?

    ReplyDelete
  2. duh ngeri ngebayangin garuk-garuk aspal bro. hehehe

    ReplyDelete
  3. @annisa: ada, di versi Inggrinya ada embel2 #1

    @Helvry: hahaha ya udah garuk2 tembok

    ReplyDelete