Search This Blog

Friday, December 23, 2011

The Odessa File

Judul                : The Odessa File
Penulis              : Frederick Forsyth
Penerjemah      : Ranina B.Kunto
Penyunting        : Adi Toha
Tebal                : 507 halaman
Cetakan           : 1, November 2011
Penerbit            : Serambi Ilmu Semesta


Suatu bangsa sebenarnya tidaklah jahat, hanya pribadi-pribadi, individu-individulah yang jahat…Tidak ada dosa kolektif, tidak ada dosa bersama. (hlm 52).

            Peristiwa pembantaian 6 juta bangsa Yahudi di Eropa semasa Perang Dunia II seakan menjadi salah satu peristiwa sejarah yang menghasilkan banyak cerita. Terlepas dari benar atau tidaknya klaim tentang jumlah orang Yahudi yang menjadi korban, satu hal yang jelas: pembantaian terhadap etnis lain hanya demi paham chauvinisme sempit adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Adalah seorang wartawan Jerman bernama Peter Miller yang mencoba menelusuri kembali jejak sejarah kelam dari peristiwa Holocaust pada tahun 1940 hingga 1945 ini, dua puluh tahun kemudian. Berawal dari sebuah buku harian Salomon Tauber, saksi hidup dari peristiwa pembantaian 6 ribu Yahudi di kota Riga, Miller memulai upaya pencariannya yang berbahaya. Buku harian itulah yang akan mengantarkan Miller menyusuri ulang salah satu pelaku utama dalam rentetan peristiwa paling kontroversial dalam sejarah bangsa Eropa pada abad kedua puluh itu.

            Dari buku harian Tauber, dijelaskan secara mendetail bagaimana kekejaman dari pasukan SS Nazi dalam memperlakukan orang-orang Yahudi. Betapa kematian begitu biasa, betapa penyiksaan dan kekurangan makan adalah hiburan, dan betapa mengiring manusia ke ruang-ruang gas untuk kemudian dijagal secara massal sudah menjadi tugas rutin bagi para anggota divisi dari pasukan paling mematikan dan efisien milik bangsa Jerman itu. Betapa air mata dan kepiluan tak kuasa menetes membaca kisah tentang wanita dan anak-anak kecil tanpa dosa yang dibiarkan mati kelaparan atau terhimpit dalam gerbong-gerbong sempit, sebelum kemudian harus menghadapi ajal di tangan pasukan SS. Sungguh, atas nama kemanusiaan saya masih belum bisa mempercayai ada orang-orang sekejam itu, yang—walaupun dengan dalih mematuhi perintah atasan—tega melakukan hal-hal sekeji itu terhadap sesamanya.

            Kusaksikan segala kekejaman Roschmann dan kroni-kroninya tanpa mengedipkan mata. Aku telah menjadi kebal terhadap sesuatu yang bisa menyentuh jiwa  manusia dan apapun yang bisa menyentuh ragaku. (hlm 83)
            Perasaan yang sama mungkin telah memicu Miller untuk melacak sang aktor utama yang disebut oleh Tauber sebagai Jagal dari Riga, Eduard Roschmann itu. Satu demi satu, dengan penuh kesabaran dan ketelitian, ia melacak orang2 yang berkaitan dengan Roschmann yang kini telah berganti nama dan hidup dengan bebas di suatu tempat di Jerman. Intrik-intrik politik, pembicaraan rahasia, dilempar dari satu kantor ke kantor lainnya; semua itu menginsyaratkan satu hal bagi Miller, bahwa Roschmann bukanlah tokoh sembarangan. Banyak orang di Pemerintahan yang sengaja menutup-nutupi atau dengan sadar tidak mau terlibat dalam pencarian Miller.

            Namun, kegigihan Miller pun terbayar. Ia bertemu dengan agen Mosaad Israel yang juga berupa melacak jejak para jagal Jerman itu. Millerpun mendapat pelatihan singkat sehingga wartawan itu bisa masuk ke Odessa, organisasi mantan anggota SS atau Schutz-Staffel (sebuah organisasi bikinan Hitler yang memiliki kuasa besar di dalam negara Jerman). SS adalah bagian dari Nazi yang bertugas membersihkan Jerman dan Eropa dari semua unsur yang dianggap tak berharga bagi kehidupan, perbudakan abadi ras-ras rendah di tanah Slavia dan membinasakan  setiap orang Yahudi dari muka benua itu (hlm 7). Inilah yang mungkin membuat mereka mampu dengan gampang membantai ratusan ribu orang dengan seenaknya sendiri.

            Beragam aksi penyelidikan digambarkan dengan begitu mendetail dalam The Odessa File.Begitu pula pertemuan rahasia, perbincangan penting antar agen lewat telepon, hingga konspirasi-konspirasi internasional yang melibatkan banyak negara. Semua ini berpusar dan terpicu di sekitar Miller tanpa ia sendiri menyadarinya. Dan Miller memang beruntung. Penyelidikan mautnya ternyata berjalan cukup lancar sementara agen-agen dan pembunuh bayaran terus berupaya menguntit dan melacak jejaknya. Hingga akhirnya ketika ia menemukan sang jagal dari Riga, bahaya yang sesungguhnya pun baru benar-benar tampak di depannya. Akhirnya, pembaca bisa mengetahui motif apa yang melatar belakangi upaya ngotot Miller untuk mencari Roschmann, mengingat Miller bukanlah seorang Yahudi tapi murni ras Arya sebagaimana Roschmann. Rupanya di sinilah letak twist dari The Odessa File, yang membuat novel ini berputar 180 derajat dari sekadar novel konspirasi internasional menjadi novel konspirasi internasional yang asyik untuk disimak.

            Sebagaimana The Day of the Jackal, novel ini menawarkan aksi, metode, dan intrik yang tidak kalah seru. Forsyth sebagaimana biasa mampu membuai pembaca secara pelan tapi pasti untuk menyukai kisahnya. Datar di awal, tapi langsung menyergap benak pembaca ketika tiba di 20 halaman pertama. Ciri khasnya masih sama: ditulis dengan detail, kaya akan fakta dan data sejarah (walau belum bisa dipastikan keakuratannya), intrik yang dibangun dengan begitu lihai, narasi yang sekomplit berita surat kabar, serta bumbu-bumbu romantisme yang walaupun sedikit namun cukup memberikan warna. Di The Odessa File, penulis sekali lagi menunjukkan kesukaannya akan mobil, senjata, dan tetek bengek pemalsuan paspor. Bahkan, diungkap juga cara-cara memalsukan paspor. Saya hampir selalu lupa kalau novel ini ditulis pada tahun 1972 mengingat pola penulisan dan detailnya yang luar biasa mencengangkan. Benar-benar perpaduan menarik antara sejarah, fiksi suspense, dan bacaan yang menghibur. 

Sebagaimana kata kang Kholiq, melalui buku ini kita bisa memandang sejarah dalam bingkai yang berbeda. Bukan hanya dari satu sisi namun juga dari beragam sisi yang membuat pembacaan dan pemaknaan kita akan sejarah menjadi lebih utuh. Empat bintang untuk novel ini. 

5 comments:

  1. Ini lebih gampang dibaca dibandingin Jackal nda? :)

    ReplyDelete
  2. lebih simpel mbak, tp tetap lebih kerenan Jackal yg kaya akan detail itu :D

    ReplyDelete
  3. Ada bagian-bagian berulang-ulang aku baca.Karena suka pada bagian itu. Seperti saat Tauber bertemu dengan istrinya, saat istrinya tengah diangkut sebuah gerbong untuk dubawa ke suatu tempat. Bertahun-tahun Tauber tidak dapat mengartikan sinar mata istrinya saat memandangnya; marah, benci, atau bahkan kasihan. Betapa pintarnya Forsyth mempermainkan emosi pembaca.

    ReplyDelete