Judul : The Kane Chronicles, The Red Pyramid
Pengarang : Rick Riordan
Penerjemah : Aditya Hadi Pratama
Penyunting : Tendy Yulianes Susanto (SIlvero Shan)
Penyelaras ak.: Ananta A
Desain isi : elCreative
Cetakan : 1, September 2011
Tebal : 518 halaman
Penerbit : Mizan Publika
Rick Riordan dan dewa-dewinya kembali beraksi. Kali ini, penulis yang jago meramu adegan pertempuran seru ini menggunakan dewa-dewi dari negeri piramida ini untuk meracik sebuah saga pertempuran yang panjang, tebal, dan sangat “Mesir”. Sangat jarang lho seorang penulis terkenal dari Barat menggunakan mitologi dari dunia selain dari ranah Eropa dan Amerika, dan Riordan adalah salah satunya. Dan, Riordan terbukti tetap piawai dalam menuliskan saga ini dengan hebat dan asli. Tidak jauh berbeda dengan seri Percy Jackson yang hebohh itu, The Red Pyramid menawarkan perjalanan serta petualangan fantastis bersenjatakan jimat, mantera, dan kilauan huruf hieroglyph; begitu sarat dengan ledakan dan lemparan kekuatan. Adegan pertempuran magis yang disajikan dalamRed Pyramid benar-benar panjang, banyak, dan sangat memuaskan pembaca pecinta fantasi.
Red Pyramid berkisah tentang Carter dan Saddie, anak-anak dari seorang ahli perbakala Mesir yang sangat terkenal. (Pembaca mungkin ingat, nama Carter berasal dari Howart Carter, orang pertama yang membuka sarkofagus Raja Tuthakhamun yang terkenal itu). Dan Carter yang ini diceritakan mewarisi kulit ayahnya yang “tidak berkulit putih” , dia lebih mirip orang Mesir sementara adiknya, Saddie, secara fisik ikut ibunya yang ras kulit putih. Ketika suatu malam keduanya diajak mengunjungi British Museum, sebuah kecelakaan arkeologis terjadi. Entah bagaimana, ayah mereka telah meledakkan Batu Rosetta nan legendaris (batu yang memungkinkan orang modern bisa membaca huruf hieroglyph) yang sekaligus turut membebaskan 5 dewa utama Mesir kuno: Set (Dewa Kejahatan), Osiris (Raja para dewa), Isis (Istri Osiris), Horus (Dewa Ilmu Pengetahuan), dan Nephthys (Istri Set).
Dari sini, cerita mulai berjalan seru. Set bangkit dan berencana meneror dunia, membawa kekacauan ke Bumi di masa modern. Osiris masuk ke dalam tubuh ayah Carter, dan langsung dikurung dalam sarkofagus emas oleh Set. Lebih genting dari itu, Horus dan Isis masing-masing masuk ke tubuh Carter dan Saddie sebagai tubuh perantaranya. Ini benar-benar pertempuran antar-Dewa Mesir kuno. Setelah itu, semua peristiwa tak masuk akal mulai datang susul-menyusul, mulai dari kedua kakak beradik yang diajak menaiki kapal yang mampu menyeberang Samudra Atlantik dalam satu jam, bertemu seekor babun cerdas benama Khufu, buaya raksasa di kolam renang, hingga bertarung berdampingan dengan dewi kucing, Bast yang jago berkelahi sekaligus lucu.
Keunggulan Riordan dalam meramu mitologi dengan unsur-unsur dunia modern kembali dibuktikan lewat The Red Pyramid. Artefak-artefak Mesir kuno yang dibangun ulang di dunia modern secara cerdas diaplikasikan sebagai gerbang untuk berpindah tempat. Mulai dari piramida kaca di Museum Louvre, Paris, Cleopatra’s Needle di London, hingga Monumen Washington yang menyerupai obelisk; bangunan-bangunan tersebut mewarnai petualangan Carter dan Saddie. Mereka berdua juga harus menghadapi pasukan laba-laba, buaya raksasa yang lain, serta bertemu aneka dewa-dewi nyentrik Mesir kuno yang selama ini ternyata masih bertahan dan tersembunyi di balik gegap gempita kehidupan modern. Semua petualangan seolah saling berbaris, susul-menyusul menyergap kedua kakak beradik ini. Selain untuk menyelamatkan ayahnya, mereka juga mengemban tanggung jawab untuk menyelamatkan dunia dari kegilaan seorang dewa (eh?) bernama Set.
Ending The Red Pyramid tidak mungkin digarap lebih bagus dan lebih memuaskan lagi. Pertarungan yang terjadi, aksi sihir yang saling dilontarkan, serta aneka keseruan perang antar-dewa kuno bisa ditemukan dalam novel ini. Pokoknya para penggemar Rick Riordan tidak akan menyesal membaca buku ini. Rasa Mesirnya sangat komplet, perpaduannya dengan dunia modern sungguh menawan, dan aksi pertempurannya juga luar biasa seru untuk terus diikuti. Model penceritaan yang mengambil sudut pandang orang pertama juga membuat kita mampu melihat apa yang dipikirkan Saddie dan Carter (dan juga menyaksikan perseteruan mereka dengan dewa-dewi kuno yang terperangkap dalam tubuhnya). Celotehan Saddie yang ceplas-ceplos serta Carter yang cenderung formal dan kaku, menjadikan pembacaan bab-bab The Red Pyramid terasa begitu menyenangkan. Mirip seperti membaca diari dua orang kakak beradik yang sedang puber tetapi sudah mengamban tugas untuk melawan dewa-dewi Mesir kuno.
Lalu, bagaimana nasib ayah mereka? Apa rencana Set yang hendak membawa kekacauan kembali ke Bumi modern? Apa pula maksud dari Piramida Merah yang menjadi judul seri ini? Siapa pula Dewan Kehidupan yang konon dulu benar-benar pernah ada di Mesir kuno? Sedikit demi sedikit, petualangan kedua kakak beradik ini akan mengungkap berbagai fakta baru tentang masa lalu ayah dan ibu mereka. Siapa mereka sebenarnya, mengapa mereka cocok menjadi wadah wujud bagi para dewa-dewi Mesir kuno, serta bagaimana Saddie yang bocor habis itu bisa jatuh cinta kepada dewa Mesir kuno Anubis? Semuanya akan dijawab sendiri oleh Riordan melalui The Red Pyramid. Jika Anda penasaran bagaimana dunia dewa-dewi Mesir yang begitu kuno itu dapat dibangkitkan kembali oleh Riordan, cobalah membaca buku tebal namun cepat rampung dibaca ini. Sungguh, novel ini adalah sebuah karya fantasi legendaris yang sangat rugi jika tidak dibaca.
Hayoh lanjutkan ke The Throne of Fire !! Tambah seru petualangan Carter & Sadie. Tapi kok gambar Carter nya kurang keren yah! Hehehe :)
ReplyDeleteWaduh nunggu yang bahasa Indonesia saja secara pusing kalau baca e-book...iya kok Carternya kurus gt ya hahaha kalo bajunya sih sudah cocok
ReplyDeleteeh buku ini lagi rame dibahas ya..sebagus itu kah? setelah baca reviewmu hmmm saya agak tertarik sih *lirik tumpukan*
ReplyDelete