Search This Blog

Monday, November 7, 2011

Masyitoh

Judul               : Masyitoh, Drama Tiga Babak
Pengarang       : Ajip Rosidi
Tahun terbit     : 1962, Cetakan 2 tahun 2006
Gambar jilid    : Oesman Effendi
Tebal               : 144 halaman
Penerbit           : Pustaka Jaya


            Nama Masyitoh mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama umat muslim. Nabi Muhammad mengabadikan kesucian dan keteguhannya dalam sebuah hadits (yang walaupun tergolong hadits yang lemah atau dha’if) sehingga kisah hidupnya memang begitu menginspirasi dan luar biasa tak terlupakan dalam khazanah kisah religius Islam. Masyitoh sendiri adalah seorang wanita dari kalangan Bani Israil  yang hidup pada zaman Fir’aun di Mesir, kira-kira beberapa puluh atau ratus tahun setelah pemerintahan Nabi Yusuf dan beberapa selang waktu sebelum diturunkannya Nabi Musa. Kisah ini adalah tentang pengorbanan seorang hamba Tuhan yang begitu teguh memegang prinsipnya untuk hanya mengesakan Tuhan Semesta Alam dan mengabaikan ancaman Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.

            Kisah ini bermula dari ketidaksengajaan Masyitoh, yang saat itu bekerja sebagai seorang dayang dari putri Fir’aun bernama putri Taia. Ketika tengah menyisir rambut junjungannya, tanpa sadar sisir Masyitoh jatuh dan ia sontak berucap “demi Allah, celakalah, celakalah Fir’aun …!” (halaman 22). Putri Taia pun marah dan mengadukan hal ini kepada pendeta tinggi Mesir yang bernama Phator. Keduanya lalu memaksa dan mengancam Masyitoh agar ia meminta maaf dan berpaling dari Tuhannya Bani Israel untuk kemudian menyembah Fir’aun yang dikatakan sebagai titisan Dewa Ra. Tanpa gentar, Masyitoh tetap memegang prinsipnya untuk hanya menyembah Tuhan Allah yang satu.

            Sepulangnya dari istana, Masyitoh mengadukan hal ini kepada suaminya, Obed juga kepada sesepuh Bani Israel, Bapa Simeon. Waktu itu, bangsa Israel di Mesir memang tengah ditindas. Mereka diperlakukan semena-mena hanya karena dianggap menumpang di negeri orang dan tidak mau menyembah Fir’aun. Baik Obed maupun Bapa Simeon tetap mendorong Masyitoh agar jangan takut, karena Tuhan senantiasa melindungi hamba-hambaNya yang percaya. Pun demikian, ketika barisan pengawal Fir’aun menjemput Masyitoh sekeluarga untuk diadili di ruang peradilan, keluarga itu tetap memegang teguh keimanan mereka. Fir’aun bahkan mengancam akan menghukum seluruh keluarga Masyitoh, termasuk bayinya yang belum genap satu tahun.

Hukuman cambuk terbukti tidak berhasil. Baik Masyitoh, Obed dan kedua anaknya tidak takut untuk tetap mempertahankan prinsip mereka. Fir’aun pun marah besar. Diputuskanlah untuk mencemplungkan keluarga itu ke dalam belanga berisi timah yang mendidih. Dan, ancaman maut terbuti tidak menggoyahkan keimanan Masyitoh:


Daripada harus meninggalkan kepercayaan  hamba kepada Allah yang bersifat Rahman serta Rahim, yang telah menjadi sesembahan leluhur hamba, Ibrahim, hamba lebih baik memilih cairan timah mendidih…” (halaman 101)

Dan, inilah bentuk pengorbanan yang tiada taranya, luar biasa tak tertandingi di mana seorang hamba telah merelakan jiwa, raga, dan hartanya hanya kepada Tuhannya. Ini bukanlah sebuah kekonyolan, tapi bukti keteguhan hati seorang Masyitoh yang lebih memilih mempertahankan akidah ketimbang harus hidup menanggung malu dan pengkhianatan. Bukti keteguhan hati Masyitoh dan keluarganya itu muncul dalam bentuk yang sedemikian dahsyat, yang bahkan mampu membungkam mulut Fir’aun dan segenap antek-anteknya. Ketika Masyitoh hendak dicemplungkan ke dalam timah mendidih, bayi dalam gendongannya tiba-tiba berhenti menangis dan berkata:

“Ibu, Ayah, janganlah bimbang janganlah ragu”, kata bayi itu. “Sebab cairan timah tidaklah panas  kendatipun mendidih. Yang panas hanya dalam sangkaan, takkan terasa oleh orang yang sudah tunggal rasa, erat berpaut tauhid dengan Allah yang Mahaagung.” (halaman 102).

Luar biasa kecintaan Masyitoh kepada Tuhannya. Luar biasa pula seoang Ajip Rosidi yang mampu menceritakan ulang kisah tentang pengorbanan ini dengan begitu apik sekaligus klasik. Penggunaan kata-kata yang dulu pernah populer di tahun 1960-an, bukannya mempersulit, malah semakin membuat saya betah membaca buku kecil ini. Rasa klasiknya benar-benar terasa dengan penggunaan diksi dan struktur kalimat yang mungkin hanya bisa kita baca dalam roman-roman angkatan 45 ke bawah.

Penggambaran cerita juga begitu hidup, lengkap dengan aneka nasihat yang mungkin sengaja ditambahkan oleh pengarang sebagai “bonus” kebijakan yang hendak ia bagi dengan pembaca. Hal ini tampak dalam bagian ketiga, ketika Bapa Simeon tengah membahas tentang Bani Israel agar berani bertindak melawan penindasan yang mereka terima dari bangsa Mesir. Bahwa pertolongan Tuhan (diutusnya Nabi Musa) hanya akan datang ketika bangsa Israel mau berjuang dan berupaya untuk mengubah nasibnya terlebih dahulu. Sebuah buku yang luar biasa dan wajib dikoleksi sebagai bagian dari khazanah kekayaan sastra-religius bangsa ini.

6 comments:

  1. aku kenal cerita tentang Masyitoh ini sejak masih keciiiil banget, pas jaman masih ngaji bareng anak2 kampung... jadi pengen baca buku ini, minimal buat mengenang masa cilik :P

    ReplyDelete
  2. Waaa aku baru tau kalo Ajip Rosidi menceritakan ulang kisah ini..

    ReplyDelete
  3. @penikmatbuku: iya, kisah ini memang begitu legendaris. Kudu baca dan kudu punya, secara Bpk Ajip Rosidi mampu menuliskannya kembali dgn begitu indah, sastra banget ...<<< colek @annisaanggiana

    ReplyDelete
  4. rasanya pernah liat filmnya dulu banget. yang paling 'miris' emang waktu sekeluarga itu masuk ke dalam panci isi timah panas...

    ReplyDelete
  5. Huum, tp mereka bisa nyemplung dengan kepala tegak, mereka telah menang thd godaan duniawi. Subhanallah, apakah kita bisa menyamai keteguhan hati seorang Masyitoh *salut

    ReplyDelete