Judul : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yoshici Shimada
Kord. Penerj : Mikihiro Moriyama
Penerjemah : Indah S.Pratidina
Penyunting : Tim Kansha
Tebal : 245 hlm
Cetakan : 1, April 2011
Penerbit : Kansha Books
Dari segelintir novel Jepang yang berhasil menarik penerbit Indonesia untuk menerbitkannya, Saga no Gabai Bachan ini adalah salah satu yang paling menarik. Tema yang ditawarkan adalah mengenai kemiskinan, sebuah tema yang mungkin sudah umum kita jumpai dalam ranah fiksi dalam negeri. Tapi, novel ini menawarkan kemiskinan dalam bentuk yang berbeda, miskin yang ceria kata nenek Osano. Novel ini sendiri merupakan memoar luar biasa dari penulis yang menghabiskan waktu SD dan SMPnya di kota Saga.
Kisahnya dibuka dengan keadaan pilu paska dijatuhkannya bom atom di Jepang, di mana bangsa ini kemudian mengalami kebangkrutan dan kelesuan ekonomi yang luar biasa, keluarga Shimada adalah salah satu yang terkena dampaknya. Begitu miskinnya mereka, sehingga ibunya menitipkan Yoshici ke tempat neneknya di kota Saga, dalam gubuknya yang bahkan jauh lebih reyot dari rumahnya. Namun, siapa sangka, di rumah reyot inilah ia dididik oleh seorang nenek hebat yang akan mengajarkan berbagai permata kehidupan yang terserak dalam apa yang selam ini disebut sebagai kemiskinan.
Miskin muram dan miskin ceria.
Kita ini miskin yang ceria.
Sosok nenek Osano mungkin merupakan tokoh sentral yang disorot dalam novel ini. Pandangannya yang polos dan jujur tentang kemiskinan berhasil mengobrak-abrik pemahaman pembaca tentang apa itu kemiskinan, bahwa kemiskinan tidak selalu identik dengan ketidakbahagiaan. Ketika kita selalu bahagia, maka miskin atau kaya adalah tipis bedanya. Dikisahkan, nenek Osano selalu menyeret sebuah magnet yang ditalikan pada pinggangnya setiap kali ia pergi ke pasar atau ke tempat bekerja. Nah, ingin tahu apa yang menjadi alasan nenek melakukan hal ini:
“Sungguh sayang kalau kita sekadar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya” (hlm 41)
Begitu kata nenek sambil memperlihatkan paku atau sampah logam lainnya. Oleh nenek, paku dan sampah logam ini akan dikumpulkan untuk kemudian dijual kembali. Sungguh, baru kali ini saya mendengar ada teknik berjalan pulang sambil mengumpulkan uang seperti ini. Ada satu lagi kebiasaan nenek yang membuat pembaca terhibur, nenek selalu mengapungkan sebatang galah dengan posisi menyilang sedemikian rupa sehingga kayu-kayu atau ranting yang hanyut bisa tersangkut dan terkumpul. Kayu dan ranting inilah yang oleh nenek Osano kemudian digunakan sebagai kayu bakar.
“Selain sungai jadi bersih, kita mendapatkan bahan bakar secara cuma-cuma. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. (43)
Selain kayu, di galah itu juga sering tersangkut sayur seperti lobak atau mentimun yang tidak laku dijual. di hulu, memang ada sebuah pasar dan sering kali pedagang sengaja membuang sayur yang jelek atau kurang laku di sungai. Sayuran ini kemudian hanyut dan tersangkut di galah nenek, ibaratnya bahan makanan segar mendatangi. Inilah yang membuat nenek Osano menjuluki sungai itu sebagai supermarket, Malah dengan pelayanan ekstra katanya, “belanjaan kita langsung di antar”.
Luar biasa, dalam kesederhanaannya, nenek hebat dari Saga ini telah mengajarkan kepada kita mengenai arti dari bersyukur dan bersikap ikhlas. Tidak ada orang yang ingin menjadi miskin, namun ketika keadaan memaksa demikian, maka manusia harus menerimanya dengan lapang dada sambil terus berupaya. Nenek Osano juga membuktikan kebenaran bahwa Tuhan Penguasa Alam senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur. Kiriman gratis dari sungai ibarat kiriman rahmat yang tak terkira. Memang, ketika kita senantiasa memandang segala sesuatunya secara positif, maka hidup akan terasa ringan dan menyenangkan.
Sebagai buku yang ditulis pada masa-masa kebangkitan ekonomi Jepang, buku ini memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana mental dan prinsip rakyat Jepang yang terkenal tekun itu. Meskipun telah dijatuhi bom atom hingga porak-poranda, rakyat Jepang tetap optimis dengan kehidupan mereka. Dari Nenek Osano, kita belajar banyak tentang cara menjalani kehidupan dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Empat bintang untuk buku tipis namun luar biasa mencerahkan ini. Berikut ini beberapa nasihat sekaligus prinsip dari sang nenek hebat dari saga:
Pelit itu payah, hemat itu jenius!
Kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.
Berhentilah mengeluh “panas” atau “dingin”. Musim panas berutang budi pada musim dingin, demikian pula sebaliknya.
*Pantas jika buku ini telah terjual sebanyak 100.000 eksemplar di Jepang hanya dalam waktu kurang dari satu tahun
No comments:
Post a Comment