Judul : Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
Pengarang : Leo Tolstoy
Penerjemah : AttaVerin
Penyunting : Anton Kurnia
Pemeriksa aks : Dian Pranasari
Cetakan : 1, Februari 2011
Tebal : 197 halaman
Penerbit : Serambi ilmu semesta
Mendengar kata “Rusia”, dua hal yang langsung muncul dalam pikiran kita adalah “salju” dan “komunis”. Dalam kitab klasik karya maestro sastra dunia ini, hanya kata pertama saja yang muncul. Sungguh sulit membayangkan, terutama bagi mereka yang awam akan sejarah negeri Rusia, bahwa ada sebuah kumpulan cerpen yang isinya begitu religius, begitu meneguhkan keimanan, dan begitu orthodoks yang ditulis di luar tembok-tembok dinding Kremlin nan dingin itu. Namun, seorang Leo Tolstoy telah membuktikan bahwa iman dan cinta juga bisa lahir dari negeri bersalju yang lama didera ketidakepercayaan kepada Dzat yang Maha Tinggi. Inilah karya yang berhasil menjajarkan nama sang penulis dengan para penulis agung dunia
Di Mana Ada Cinta, di Siana Tuhan Ada merupakan kumpulan cerita pendek karya Tolstoy yang mengusung tema iman kepada Tuhan. Walaupun dalam kisah-kisahnya ia banyak menggunakan unsur-unsur Katholik Orthodoks, namun sesungguhnya kisah-kisah tersebut begitu universal dan mampu meneguhkan iman orang-orang yang beragama. Kisah pertama, yang juga menjadi judul dari buku ini, mengisahkan tentang seorang tukang sepatu yang hampir saja kehilangan pengharapan kepada Tuhan ketika Tuhan mengambil anaknya. Puji Tuhan, si tukang sepatu masih diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang lurus, di mana ia berjanji untuk bertobat agar bisa bertemu dengan Tuhan. Ia lalu mendapat mimpi. Dalam mimpinya, si tukang sepatu disuruh meneggok keluar jendela esok hari jika ingin bertemu dengan-Nya. Dan, siapa sangka bahwa esoknya ia bertemu dengan orang-orang yang sedang kesusahan, kedinginan, dan tidak punya makanan. Belas kasih lah yang kemudian menuntun tangannya untuk menolong mereka. Lalu, apakah ia bertemu dengan Tuhan? Jawabannya ada dalam sebuah ayat dalam al-kitab: “Aku pernah menjadi seorang yang lapar dan kau memberiku daging; aku pernah kehausan dan kau memberiku minum; aku pernah menjadi seorang asing dan kau mengajakku masuk” .(hlm 31).
Tolstoy begitu piawai dalam menggunakan alegori sederhana untuk mengangkat tema-tema yang begitu berat dan luar biasa. Cerita lain yang juga begitu menyentak pembaca adalah cerita Tiga Pertapa. Kisah ini begitu sederhana, namun mampu membuat pembaca terkagum-kagum dengan kehebatan sang penulis dalam mengkritik moralitas kita. Konon, seorang uskup tengah mengunjungi pulau terpencil, di mana di situ tinggal 3 orang pertapa. Ketiga pertapa tua itu begitu mencintai Tuhannya, namun mereka tidak mengetahui bagaimana cara beribadah dan berdoa yang benar sesuai dengan ajaran Katholik. Sang uskup pun membimbing ketiganya tentang tata cara berdoa hingga mereka hafal. Ketika yakin ketiganya sudah hafal, sang uskup pamit dan kembali naik ke kapal. Namun, peristiwa yang kemudian dilihatnya begitu kapal itu berlayar di tengah lautan sangat membungkam kata. Ketiga pertapa itu berlari di atas air seolah-olah berada di daratan. Ketiganya berlari menyeberangi lautan hanya untuk berkata bahwa mereka lupa dengan doa yang ia ajarkan.
Sang uskup langsung tersadar, “ Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini.” Dalam kepercayaan orang Rusia, hanya orang-orang suci yang dicintai Tuhanlah yang mampu berjalan di atas air. Inilah dia, kisah singkat namun begitu rupa mampu menusuk kebanggaan kita yang sering kali merasa lebih beriman dan lebih suci daripada orang lain. Dan, Tolstoy mampu menguraikannya melalui sebuah kisah yang luar biasa dahsyat. Kisah ini juga pernah menyulut sebuah kontroversi, terkait dengan cerpen karya Seno Gumira Ajid Dharma yang terpilih sebagai juara pertama cerpen Kompas tahun 2010, karena kemiripan tema dan kisah.
Masih ada 3 cerita luar biasa lagi dalam buku ini, yakni Tuhan Tahu tapi Menunggu, Majikan dan Pelayan. Serta Dua Lelaki Tua. Ketiga kisah tersebut akan mampu membawa pembaca ke Rusia di penghujung abad 19 dan awal abad 20, begitu bersalju dan begitu penuh dengan pengharapan kepada Tuhannya. Terlepas dari nilai-nilai orthodoksnya yang begitu kental, kisah-kisah ini mengusung tema yang begitu universal dan luar biasa mencerahkan, yang niscaya akan semakin memperbesar keimanan kita kepada Tuhan. Karena Tuhan memang selalu mencintai hamba-hamba yang mencintai-Nya.
Baru tahu kalo kisah Tiga Pertapa itu ada kemiripan dengan cerpen Seno Gumira...
ReplyDeleteReviewnya dalem banget, Dion, sip!