Search This Blog

Friday, June 24, 2011

The Forest of Hands and Teeth

Judul               : The Forest of Hands and Teeth
Penulis             : Carrie Ryan
Penerjemah      : T. Dewi Wulandari
Tata Letak       : Tim Desain Kubika
Tebal               : 392 hlm
Cetakan           : Pertama, 2010
Penerbit           : Kubika



            Kehidupan Marry—dan juga seluruh penduduk desa—hanyalah ada dan berkutat di belakang pagar pengaman yang membatasi desanya dari Belantara Tangan dan Gigi. Sebuah pagar tinggi berjeruji yang melindungi seluruh wilayah desa dari jangkauan para Ternoda yang menguasai belantara pekat yang mengepung desa itu, sekaligus membatasi mimpi-mimpi dan pengharapan para penduduk desa. Perhatian bagi para pembaca, ini adalah buku tentang zombie, tentang mayat-mayat berjalan dengan rasa lapar tak terpuaskan akan daging manusia segar, tentang mereka yang telah mati namun “hidup” kembali dengan rasa lapar tak tertanggungkan. Anda yang penakut, mohon mundur beberapa langkah.

            Alkisah di suatu masa, entah masa depan atau masa lampau, berdiri sebuah desa kecil yang dikelilingi belantara kelam yang sepekat kematian. Entah karena virus atau percobaan ilmiah apa, manusia terinfeksi oleh sesuatu yang sangat mematikan. Lebih buruk lagi, mereka yang telah mati karena terinfeksi, akan kembali “hidup” sebagai zombie yang lapar akan daging manusia. Merekalah yang kemudian disebut sebagai para Ternoda, orang-orang mati yang bangkit pada masa Kembali. Tidak ada yang tahu persis kapan masa Kembali itu dimulai, yang jelas Marry dan penduduk desa lahir dan dibesarkan di dalam desa yang terlindungi oleh pagar tinggi, yang memagari desa dari para Ternoda yang menguasai Belantara Tangan dan Gigi. Satu gigitan dari Ternoda, sudah lebih dari cukup untuk menginfeksi seorang yang sehat dan menjadikannya calon zombie.

            “Semua jarinya patah; sebagian memperlihatkan tulang yang menembus kulitnya. Tangannya putus, tapi dia tetap menatapku dengan gairah (akan daging manusia) yang takkan berakhir sampai tubuhnya tidak sanggup berdiri, dan dia tetap berusaha merangkak.” (hlm. 171)

            Awalnya, kehidupan di desa itu berjalan sebagaimana biasa. Orang-orang bekerja dan melakukan segala aktivitas di dalam pagar pelindung dengan suara rintihan para Ternoda yang menggapai-gapai di balik pagar. Tragedi itu dimulai ketika Marry tak kuasa mencegah ibunya sendiri menjadi Ternoda untuk menyusul ayahnya yang sudah terlebih dulu menjadi milik Belantara Tangan dan Gigi. Setelah insiden itu, Marry pun dipaksa menjadi biarawati di katedral, satu-satunya penguasa sesungguhnya dari desa itu. Marry juga dipaksa menikah, walau sekuat tenaga ia terus diguncang kebimbangan untuk memilih pria yang ia cintai atau pria yang mencintainya.

            Lalu, awal bencana itu terjadi. Seorang gadis berompi merah datang dari jalur rahasia berpagar yang mengarah dari belantara. Gadis misterius itu kemudian “diamankan” oleh para biarawati ke katedral. Beberapa hari berikutnya, Marry mendapati bahwa gadis itu telah menjadi salah satu Ternoda yang mengapai-gapai di balik pagar. Saat itulah, Marry mulai memahami dua keburukan fatal dari para biarawati yang menguasai desa: kekejaman dan fanatisme berlebihan yang telah membutakan akal sehat dan rasa kemanusiaan. Dan bencana pun datang. Mantan gadis berrompi merah itu menjadi Ternoda yang tercepat dan terkuat, ia mampu berlari dan mendobrak pagar—sementara Ternoda yang lain hanya bisa berjalan tersaruk-saruk.

            Dan ketika pagar itu akhirnya jebol, dan para Ternoda menerobos desa, warga desa pun harus membayar mahal kepengecutan, ketidak manusiawian, dan ketidaktahuan mereka. Yang Tercepat begitu kuat sehingga mengigiti banyak warga dan menciptakan pasukan Ternoda yang semakin banyak. Marry bersama sekelompok orang yang masih selamat pun melarikan diri melewati jalur pengaman yang digunakan gadis berompi merah dulu. Sebuah jalur yang entah akan membawanya menuju suatu tempat yang baru dan bebas dari para Ternoda, ataukan hanya akan membawa mereka ke jantung dari Belantara Hutan dan Gigi—untuk memenuhi takdir mereka sebagai calon-calon Ternoda. Sebuah jalan yang akan mencobai mereka, tidak hanya dengan rintihan dan cakaran para Ternoda, namun juga membombardir mereka dengan serangan psikologis nan tak tertanggungkan.

            Novel bergenre horor psikologis ini akan mengingatkan Anda pada film Resident Evil yang masyhur itu. Yakni tentang infeksi yang membunuh dan mengubah manusia menjadi zombie-zombie yang haus darah. Namun, novel ini juga menawarkan konflik psikologis yang luar biasa. Penulis mampu mengangkat sisi kelam manusia ketika hal itu berkaitan dengan hidup-matinya. Kita akan diajak oleh Marry untuk merasakan bagaimana sulitnya membunuh orang-orang yang  ia cintai, yang sebenarnya sudah mati dan menjadi zombie. Seluruh isi buku ini menawarkan kengerian tak kenal henti, hingga membacanya seperti adrenalin kita dipaksa meluap-luap bercampur baur dengan pikiran yang geregetan, membuat kita seolah terjungkal dan tersandung sementara para Ternoda mengapai-gapai di balik pagar. Namun, sebagaimana biasa, di dalam buku ini terselip pesan tentang kuatnya cinta dan harapan, dua hal yang tidak akan pernah rusak dan terinfeksi oleh gigitan para Ternoda:

            “Ini bukan soal bertahan hidup. Ini seharusnya tentang cinta. Ketika kau mengenal cinta … itulah yang membuat hidup ini menjadi berarti. Yakni ketika kau hidup dengannya setiap hari. Bangun dengan cinta, juga berpegang pada cinta di masa-masa sulit. Ketika cinta menjadi perlindungan dari kematian yang mengelilingi kita ….” (hlm. 195)

            Selamat membaca dan merinding! Hehehe J

1 comment: