Search This Blog

Wednesday, March 30, 2011

REVIEW ANAK ARLOJI


Judul         : ANAK ARLOJI
Penulis      : Kurnia Effendi
Penyunting: Endah Sulwesi
Pewajah Isi: Dinar Ramdhani
                   Nugraha
ISBN           : 978-979-024-351-4
Halaman     : 237
Harga         : Rp 35.000
Penerbit      : Serambi
Cetakan      : I, Maret 2011


           

             Menulis cerpen, apalagi kumpulan cerpen, tidak bisa dilakukan sambil lalu. Diperlukan ketelitian, pengamatan nan jeli, ketajaman nalar dan mata batin untuk mencari ide di sekitar dan mengungkapkannya dalam bahasa tulis. Kerja keras dan kesabaran mutlak menjadi teman setia sebelum bisa menghidangkan sebuah kumpulan cerpen yang berwarna-warni seperti Anak Arloji, dan Kurnia Effendi melakukannya dengan begitu brilian.

           Anak Arloji sendiri merupakan kumpulan dari 14 cerita pendek yang pernah dimuat di berbagai media massa nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Matra, Suara Merdeka, Femina, dan Media Indonesia. Fakta itu saja sudah menjadi jaminan kalau Anak Arloji  bukan sejenis buku kumpulan cerpen biasa yang sering dijumpai di rak-rak sepi pembeli. Pemilihan cerpen Anak Arloji sebagai judul buku juga pastinya telah melalui berbagai pertimbangan. Selain judulnya yang unik dan begitu mengundang imajinasi, cerpennya pun begitu realistis namun sangat imajinatif, perpaduan antara dua hal yang seharusnya saling bertentangan tapi malah bersinggungan.

            Macam-macam jiwa bisa ditemukan dalam kumcer Anak Arloji. Sedikit keberanian dalam membuka ketelanjangan manusia—dalam arti fisik maupun jiwa—dapat dilihat pada cerpen Aroma Mawar, La Tifa, Tetes Hujan Menjadi Abu dengan diksi-diksi yang berani namun tetap disampaikan secara elegan dan penuh pemaknaan. Pengambaran organ pribadi manusia diwakilkan secara halus lewat jalinan 26 huruf dalam alphabet. Bukannya menimbulkan kesan jorok, topik-topik panas dan miring itu seolah tersugguhkan dengan begitu elitnya.
Ada pula cerpen  Kuku Kelingking, yang cukup menyinggung sisi fantasi pembaca. cerpen ini bercerita tentang jari seorang bidadari yang membuat sepanci sup menjadi lezat tak terkira. Kisah ini sedikit mengingatkan saya dengan Raja Boko—ayah Lorojonggrang—yang konon gemar memangsa manusia setelah mencicipi sayur pepaya muda yang secara tak sengaja tercampur dengan darah dari jari ibunya yang terluka saat mengiris pepaya. Cerpen tsunami, Laut Lepas Kita Pergi juga begitu mengharukan dan di saat yang sama, mengingatkan kita kembali akan tanggung jawab dari menjadi seorang manusia dewasa.

           Percik romantisme juga bisa diintip lewat cerpen Sepanjang Braga dan Noriyu. Sepanjang Braga begitu apik merangkum gelisah kisah cinta seorang suami yang dulu pernah menemukan “lukisan hidup”nya di jalan legendaris di kota Bandung itu. Saya paling terkesan dengan Panggilan Sasha. Cerpen ini begitu sederhana namun mampu mengingatkan kita kembali apa makna dan tujuan dari kehidupan. Bukankah kita bekerja untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang terdekat? Lalu, kenapa selama ini kita malah mengabaikan mereka demi lemburan atau uang tambahan? Hiks … inilah ironi kehidupan.

           Simak pula gejolak masa muda yang seolah tanpa batas dan tak kenal kata mundur. Cerpen Pertaruhan yang begitu mengebu-ngebu ini seolah diluapi oleh cairan adrenalin yang mungkin sengaja dituangkan lewat untaian huruf dan kata. Ironi jiwa muda yang masih penuh gejolak namun terkadang kurang pertimbangan terpotret dengan begitu samar dalam cerpen ini. Sejauh ini, tinggal cerpen Penggali Makam dan Jalan Teduh Menuju Rumah yang belum saya baca. Dan, mengingat keeksotisan 12 cerita pendek sebelumnya, saya tidak ragu lagi untuk menyambut hamburan imaji dan kejutan tak terduga dalam kedua cerita tersebut.

Saya memang belum mengenal  sosok Kurnia Effendi secara langsung, tapi saya yakin, aura kreativitas beliau sewarna bianglala, begitu berwarna dan tidak bisa terabaikan mata.

 ·  · Bagikan · Hapus

1 comment: