Pengarang: Shel Silverstein
Tebal: 54 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2014
Penerbit: Atria
The Giving Tree sejauh ini adalah buku
yang paling cepat saya baca, kurang lebih satu sampai dua menit. Rekor ini
menumbangkan pembacaan buku Rhyme karya
Roadl Dahl yang membutuhkan waktu 10 – 15 menit sekali baca. Pertama membuka
halaman-halaman The Giving Tree, saya
menyeletuk, Kok dikit banget sih? Mana
tulisannya kecil dan halamannya kosong banget. Ceritanya pun sangat simpel,
saya bacanya sambil lalu, sekali duduk istirahat gitu sambil mengabaikan
pekerjaan. Setelah selesai, saya sudah bisa menangkap isi dan pesan di
balik penulisan buku ini. Ya, kira-kira begitu deh. Untuk buku anak, saya kasih 4 bintang untuk buku ini. Karena cerita ini simpel namun menyadarkan kita, dan
pasti akan menimbulkan sesuatu yang mengesankan kalau dibacakan untuk
anak-anak.
Kemudian
saya membuka Goodreads, saya tertarik
membeli ini karena melihat banyak yang memberi bintang lima ke buku ini, sama
sekali saya belum pernah membuka buku fisik atau ebooknya. Salahkan goodreads
karena saya paling tidak tahan kalau melihat ulasan buku bagus, maunya beli
aja. Karena itu, ketika buku ini diterbitkan Atria, buku ini langsung masuk wistlist.
Setelah selesai membacanya, saua baca kembali review teman-teman di
goodreads. Saya juga langsung mengajak diskusi temen-temen kantor yang ikut
baca buku ini (dasar pada maniak gratisan!), saat itu saya baru tahu kalau
membaca buku ini telah menghasilkan penyimpulan yang berbeda-beda. Satu pohon
tapi bisa bermakna berbeda-beda untuk setiap pembaca yang tidak sama.
The Giving Tree secara simpel
mengisahkan tentang persahabatan seorang anak dengan sebatang pohon apel. Sejak
kecil, anak itu sudah dekat sekali dengan sang pohon. Dia berayun di dahannya,
berteduh dalam kerimbunan daunnya, memetik apel-apelnya yang manis, memanjati
batang pohonnya. Begitu sayangnya si anak kepada sang pohon, dan pohon pun
menyayanginya. Pohon itu begitu bahagia menjadi sahabat sang anak. Kemudian,
anak itu tumbuh remaja. Dan, seperti yang bisa kita tebak, dia mulai melupakan
pohonnya. Teman-teman baru, pacar, dan kesibukan baru membuatnya mulai jarang
mengunjungi pohon apel itu. Sang pohon merindukan sahabatnya, tapi si anak
remaja sudah sibuk entah dimana. Tapi sang pohon tetap setia.
Waktu
berlalu dan si anak tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Akhirnya, dia
mendatangi sang pohon dan meminta uang. Sang pohon tidak punya uang tentu saja,
tetapi dia menawarkan seluruh apel yang ada di dahannya untuk dijual. Dan dari
situ, pria itu mendapatkan uangnya. Pohon pun bahagia. Setelah itu, pria itu
membutuhkan rumah, dan pohon dengan senang hati memberikan kayu dan batangnya
untuk ditebabg sebagai bahan pembuat rumah. Dan pohon pun bahagia. Ketika usia
tua menjelang dan tak ada lagi yang dibutuhkan oleh si anak yang sekarang sudah
tua selain tempat untuk duduk dan beristirahat, si pohon pun mempersilakan
tunggulnya untuk dijadikan alas duduk. Dan, pohonmu selamanya bahagia.
Sebuah
kisah pengorbanan pohon yang sederhana, namun sarat makna. Buku ini begitu
tipis dan cepat dibaca, tetapi bila jika dibaca ulang dan direnungkan, ada
begitu banyak pelajaran hidup di dalamnya. Tentang pengorbanan si pohon,
tentang manusia yang selalu meminta, tentang kita yang sering kali abai pada
yang lama ketika datang sesuatu yang baru. Siapa sebenarnya sang pohon dalam
cerita ini? Bagi saya, si pohon adalah perlambang masa kecil, bagi yang lain
melambangkan alam. Teman saya mengatakan pohon sebagai lambang Tuhan, sementara
pembaca yang lain mungkin bilang si pohon sebagai orang tua. Luar biasa, satu
cerita tapi bisa memunculkan berbagai persepsi. Satu cerita tapi mengingatkan
akan sebuah pelajaran kehidupan yang tak lekang dimakan zaman: pengorbanan.
Dan
dengan membaca ini, setiap pembaca akan mendapatkan kisahnya sendiri,
pelajarannya sendiri, sesuai dengan pengalaman kehidupannya masing-masing. Satu
cerita dengan sejuta penafsiran. Begitulah sebuah buku yang hebat dibuat.
Sumber gambar: https://likestrawberryteadotcom.files.wordpress.com/2013/01/hp-062_2z1.jpg
Sumber gambar: https://likestrawberryteadotcom.files.wordpress.com/2013/01/hp-062_2z1.jpg
Seperti kata Lord Henry kepada Dorian Gray:
ReplyDelete"Sesungguhnya, seni lebih merupakan pantulan dari para penikmatnya, alih-alih pantulan dari kehidupan."
Tapi kayaknya saya yg paling nggak jelas. Yang muncul malah perasaan emosi. Si pohon inih mau2nya sih ngorbanin semuanya...
<("o")>
Haghaghag... >_<